🍻 30. Ayo Bercerai Saja 🍻
Malam, temans. Ciee yang langsung senyum karena ada Mahesa😁
Prasasti membuka mata, lalu duduk di tepi pembaringan. Kepalanya terasa pening, efek baru bisa memejamkan mata pada pukul tiga dini hari, mungkin. Dengan langkah berat, Prasasti menuju kamar mandi dan membersihkan tubuh dengan cepat.
Pekerjaan pertamanya di pagi hari adalah menyiapkan sarapan. Dia tidak boleh terlambat atau anaknya tidak sempat sarapan. Memang bisa beli, tetapi dia tidak membiasakan itu untuk Rifky.
"Kesiangan, Mbak Sasti?" Simbok menyeduh teh hijau untuk Prasasti tepat ketika perempuan berbaju biru itu masuk dapur.
"Loh, kapan Simbok datang?" Prasasti heran, perempuan itu mengatakan akan kembali setelah dua minggu dan dia sudah kembali hanya dalam waktu tak sampai seminggu.
"Kemarin sore," sahut Simbok sambil menyajikan teh. "Maaf, Simbok tidak menunggu Mbak Sasti pulang. Terlalu lelah di perjalanan. Maklum, Mbak Sas, badan tua."
"Nggak apa-apa, Mbok." Prasasti meneguk teh-nya sedikit demi sedikit. "Mbok istirahat saja, biar badannya lebih segar."
"Mana bisa begitu, Mbak Sasti. Yang ada justru makin capek kalau kebanyakan tidur." Simbok berjalan ke belakang Prasasti, lalu mulai memijat leher dan bahunya. "Tak pijitin sebentar. Wajahmu pucet, jangan-jangan hamil?"
Prasasti memang pernah berharap untuk bisa hamil, tetapi itu dulu ketika dia pikir hadirnya seorang anak bisa melengkapi kebahagiaan berumah tangga. Namun, sekarang tidak lagi. Keputusan Mahesa untuk tidak mengabulkan permintaannya adalah benar. Dia mengerti itu sekarang. Seorang anak harus lahir dalam cinta kedua orang tuanya dan bukan dalam pernikahan aneh seperti yang dimilikinya.
"Ngarang, Mbok. Simbok, 'kan, tahu kalau Mas Hesa belum mau nambah momongan." Prasasti menikmati pijatan Simbok. Kepalanya tak sesakit tadi dan lehernya pun sudah tidak kaku. Pijatan yang benar-benar handal dan tepat sasaran.
"Simbok lihat duit belanjanya di lemari masih utuh." Simbok memegang seikat kecil rambut di kepala bagian atas kepala dan menariknya hingga berbunyi. "Belanja pakai duit Mbak Sasti pasti. Habis ini, Simbok mau ke pasar.”
"Sudah cukup, Mbok." Prasasti berdiri setelah berterima kasih dan mulai membuka lemari es.
"Jangan bikin apa-apa, Mbak Sas! Simbok sudah siapkan nasi goreng. Tinggal panaskan lagi kalau Mas Mahesa mau makan. Bapak ke masjid. Katanya balik setelah pengajian."
"Baiklah, simbok ke pasar saja kalau begitu. Keburu habis lupisnya nanti."
"Mbak Sasti mau lupis, to?" Simbok mengambil tas belanja di loker bawah. "Nanti tak belikan."
Prasasti hanya mengangguk. Untung ada Simbok, jadi dirinya tak harus mengalami sakit kepala sepanjang hari. Perasaannya masih tak menentu, malas mengerjakan apa-apa. Rasanya hanya ingin tidur saja seharian. Yang nyenyak dan tanpa gangguan.
"Buatkan aku kopi, Sas!" Mahesa muncul dengan tampang tak rapi. Piyamanya bahkan tak terkancing. Heran, tumben berpenampilan kacau begitu. Biasanya cerewet ampun-ampunan hanya karena baju yang sedikit kusut.
Prasasti mengerjakan permintaan Mahesa tanpa menjawab. Sebentar saja, secangkir kopi sudah disodorkan untuk pria yang membuatnya merasa sakit kepala. Sesudah itu, dia menikmati kembali tehnya yang sudah mendingin.
Mata cantik Prasasti mengamati Mahesa. Dalam diam, hatinya terus mengakui bahwa sebenarnya tidak sudah mencintai pria seperti itu. Namun, ketika rasa tak pernah berbalas bahkan ternodai oleh kebohongan dalam waktu lama, kecewa pun muncul.
"Mas ... ayo, bercerai saja!"
Mahesa meletakkan cangkir kopi yang isinya baru diteguk beberapa kali. Matanya menyiratkan keterkejutan, tetapi selebihnya adalah kemarahan. Emosinya muncul begitu cepat dan berusaha ditahan sekuat tenaga.
"Tak akan ada perceraian."
Prasasti tertawa sinis. "Tak ada perceraian katamu?" Duduknya berputar menghadap Mahesa. "Apa yang akan kudapatkan dari sebuah pernikahan bobrok seperti ini?"
"Jaga bicaramu, Sas!"
"Aku sudah menjaga bicaraku sejak jadi menantu di rumah ini ... aku sudah menerima perjodohan ini meski tak mengenalmu sama sekali. Aku menghormatimu dan mencintai keluarga baruku seperti yang seharusnya."
"Pertahankan seperti itu! Karena kau sudah tahu keadaannya, aku tak perlu membuat alasan lagi."
"Alasan." Prasasti tersenyum sinis. Enteng sekali cara Mahesa berbicara. "Aku tak melihat ada keuntungannya buatku."
"Jangan bicara untung rugi,Sas. Dalam berumah tangga, masalah itu selalu ada."
"Masalah yang terus ada sejak awal pernikahan kita," tukas Prasasti. Meskipun suara Mahesa melunak, dia tidak terpengaruh. "Aku bahkan lupa kapan merasa diuntungkan dalam pernikahan ini jika berurusan denganmu."
Prasasti tertegun dengan ucapannya sendiri. Sedemikian butakah dirinya yang terus berusaha membuat pernikahannya berhasil sementara tidak ada usaha yang sama dari sisi Mahesa? Sebegitu bodohkah dirinya sampai terus memberikan pengertian yang nyatanya tak lebih dari kebohongan belaka? Sebegitu tak berhargakah dirinya sampai tetap harus diam bahkan setelah alasan semua kepahitan itu terungkap?
Yang lebih parah, Prasasti masih terus berpikir positif dengan terus memberikan pemakluman. Pikirannya selalu mengatakan bahwa tak mudah menikah dengan orang yang sama sekali tidak dikenal. Begitu sulit berbagi segala sesuatu dengan istri yang dinikahi tanpa cinta. Dia memberikan waktu yang nyatanya sia-sia. Mahesa bukannya tidak bisa mencintainya, tetapi pria itu memang tidak mau membuka hati untuk Prasasti.
"Kita tidak pernah ada masalah, Sas." Mahesa meraih sendok kecil, menggunakannya untuk mengaduk kopi. Mungkin untuk mengalihkan pikiran. Bisa juga Prasasti mengaduknya kurang lama sehingga gulanya belum larut. "Kecuali hal-hal kecil tentang jam kerja yang kamu tuntut itu."
Prasasti mendengkus tak senang. Apa Mahesa bilang? Tidak pernah ada masalah? Yang benar saja. Dia bahkan mengingat dengan baik bagaimana diturunkan di tepi jalan hanya karena suaminya tidak bersedia mengantarkannya pergi bekerja. Mahesa menuduhnya lambat hanya supaya dia mempercepat belanja. Belum lagi urusan salah paham tentang pengasuhan anak dan perawatan Sasmito. Pria itu kira hatinya batu sehingga tidak merasakan kecewa dan sakit hati setelah semua tuduhan dan perlakuannya.
"Bukan hanya gigimu yang tumpul. Kurasa, ingatanmu pun begitu."
"Apa pun katamu, Sas. Tolong buatkan sarapan!"
Seenaknya saja menyuruh ini dan itu seolah tak terjadi apa-apa. Dasar tak punya hati. Prasasti merasa berhak memaki Mahesa. Mudah bagi pria itu melupakan apa yang terjadi di antara mereka, tetapi tidak untuknya.
"Aku tetap pada pendirianku untuk berpisah."
"Aku sudah bilang tak ada perpisahan."
Setelah hampir dua tahun dalam pernikahan tanpa cinta, Mahesa ingin mempertahankan pernikahan mereka. Apa yang mendasari keinginan itu? Bukankah sudah cukup kepura-puraan ini? Pria itu bisa hidup dengan perempuan yang dicintainya dan itu jelas bukan dirinya.
"Aku yang tak ingin di sisimu lagi." Prasasti bersikeras.
"Jangan seperti anak-anak, Sas! Menurutlah seperti biasa!"
"Tak ada yang bisa dipertahankan dari sebuah pernikahan yang dimulai dengan kebohongan. Lagi pula, sudah cukup aku menjadi bulan-bulanan emosimu."
"Sas, itu—"
"Untuk apa bertahan dengan perempuan yang tak pernah kau anggap ada?"
"Sas, aku—"
"Berpisah denganku akan membuatmu bebas mencintai Dewi. Bukankah itu maumu?"
"Sasti, ini tidak—"
"Aku capek menjadi samsak omonganmu yang setelah kusadari tak lebih dari sesuatu tak berguna dan memuakkan," jerit Prasasti.
Emosi yang terus dia redam selama menjadi istri Mahesa pun tumpah. Harapannya sia-sia. Pengertiannya berbalas tuba dan cukup sampai di situ saja. Sekejap pun, Prasasti tidak ingin lagi ada di sisi Mahesa.
"Jangan berteriak!" geram Mahesa. "Tetaplah di rumah ini karena di sinilah seharusnya kau berada. Tak ada perceraian sampai kapan pun."
“Suaramu terdengar sangat percaya diri,” sindir Prasasti. Tatapannya meremehkan Mahesa yang entah kenapa terlihat murka melebihi yang sudah-sudah. “Memangnya siapa yang tetap mau di sampingmu sedangkan perangaimu begitu buruk. Ingatkah kau saat menurunkanku di jalan?”
“Itu tak mengubah apa pun. Sas.” Mahesa keras kepala dan tetap pada pendiriannya. “Kau istri yang kunikahi dengan layak dan tak akan pernah ada kata talak. Ingat itu!”
Gimana, gimana? Manis, 'kan, Mahesa😝
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top