🍻 3. Pulang 🍻
Malam, temans. Ketemu Mahesa hyuukk😁
Hampir jam sepuluh malam ketika Prasasti membuka pintu untuk Mahesa. Seperti yang sudah diduga, suaminya pulang dengan wajah masam yang benar-benar tidak enak dilihat. Pria itu melewati pintu tanpa sepatah kata. Jangankan sepatah kata, menatapnya pun tidak.
Prasasti membiarkan Mahesa masuk. Hari ini, dia juga sedang tidak ingin bermanis-manis. Biar saja suaminya itu bertingkah seperti anak kecil yang mainannya diambil. Sekali-kali, pria itu menghadapi ayahnya sendiri. Bukankah sudah biasa ayah dan anak berinteraksi?
Mahesa masuk dapur tepat ketika Prasasti sedang mengaduk segelas kopi. Dia hanya melirik sekilas sang suami sebelum menyajikan kopi buatannya. Usai meletakkan gelas, Prasasti duduk di salah satu kursi.
Tak berniat memulai percakapan, Prasasti meraih sebuah alpukat. Dibelahnya buah itu menjadi dua sebelum menikmatinya dalam diam. Keheningan yang melingkupi sama sekali tak mengganggunya.
"Mengapa kau harus meneleponku, Sasti?" tanya Mahesa seraya meniup tepian gelas dan menyeruput kopinya sedikit. "Bukankah kau tahu kalau aku tak suka diganggu ketika sedang bekerja?"
Prasasti berkedip malas. Memangnya Mahesa mau sesibuk apa lagi? Sebagai suami, mestinya pria itu tahu kalau ada anak dan istri yang menunggu di rumah. Lagi pula, sampai kapan mau sibuk seperti itu terus?
"Bukankah Mas Hesa sudah dengar kalau Ayah yang mau?"
"Sebagai istri, mestinya kau mendukung suami, Sas. Tenangkan Ayah biar tidak begitu kepikiran."
Memangnya siapa yang kepikiran? Sebagai anak, Mahesa jelas sudah gagal memahami ayahnya. Bukankah titah yang diterimanya itu merupakan wujud dari rasa tidak suka? Bukankah komplain yang disampaikan itu merupakan ungkapan dari kejengkelan? Kalau tak mengerti juga, Mahesa perlu dilahirkan kembali supaya bisa mengenali ayahnya dengan baik.
"Kapan aku pernah menentang Mas Hesa sejak pernikahan kita?" Prasasti mengerti akan tanggung jawabnya sebagai istri, tetapi dituduh atas sikap yang tidak dilakukannya jelas merupakan hal yang tidak bisa diterimanya.
"Meneleponku beberapa jam lalu itu kategori tidak mendukung suami."
Prasasti tidak menjawab kalimat Mahesa. Dia memilih menikmati alpukat di tangannya. Repot menghadapi suami yang ternyata tidak mau tahu kalimat.
"Jangan diam saja, Sas!" Suara Mahesa sedikit keras. "Aku tidak ngomong dengan robot, 'kan?"
Alis Prasasti bertaut. Heran, mengapa suaminya menjadi pria yang tidak sabaran? Setahun ini, meski Mahesa bukanlah tipe pria hangat dan penuh perhatian, apa pun yang terjadi, tidak pernah ada nada tak semenyenangkan ini.
"Sampai kapan Mas Hesa menjadikanku tameng jika sesuatu berurusan dengan ayah?" Biarkan saja Mahesa marah, yang penting Prasasti bisa mengungkapkan isi hatinya. Menunggu waktu luang suaminya sama saja seperti menunggu jamur di musim hujan.
"Aku tidak suka cara berpikirmu, Sas!" Mahesa meletakkan gelasnya yang terlihat masih mengebul. "Tugasmu adalah patuh pada suamimu."
"Bagian mana aku tidak patuh padamu, Mas?" tantang Prasasti. "Sebutkan saja maka aku akan memperbaiki kelakuan burukku."
"Prasasti, kau ini benar-benar susah diberitahu. Mau mulai jadi istri pembangkang? Tidakkah kau pernah diajari bagaimana harus—"
"Jaga ucapanmu, Mahesa!" Suara berat yang tiba-tiba terdengar menghentikan kalimat Mahesa. Sasmito datang ke ruangan itu, langsung duduk di samping putranya. "Buatkan ayah wedang jahe, Sas!" pintanya dengan suara lembut.
"Ayah, aku ...."
"Aku apa? Lembur dan istrimu sudah mengganggu jam kerjamu hanya karena permintaan Ayah?" cecar Sasmito. "Jadi, begitu kelakuanmu pada istrimu di belakang Ayah? Tidak menghormatinya dan tidak memperlakukannya dengan baik?"
"Ayah tidak begitu. Sebenarnya—"
"Sebenarnya kau hanya ingin berhura-hura. Bebas dan lepas tanggung jawab seolah kau adalah pria lajang yang bisa melakukan apa saja."
"Yah, bukan begitu. Semua tidak seperti yang Ayah tuduhkan."
"Ayah tidak mendengar ucapan orang lain," tukas Sasmito seraya menerima wedang jahe buatan menantunya. "Baru saja ayah mendengar sendiri dan lihatlah!" Sasmito mengarahkan jari tengah dan telunjuknya pada Mahesa, "Wajahmu itu tidak ada manis-manisnya. Apa pernah Ayahmu ini memasang tampang seperti itu pada Ibumu? Jawab!"
Prasasti hanya kembali duduk, diam, dan mendengarkan bagaimana ayah mertuanya berbicara panjang lebar. Setahun berada di rumah ini, belum pernah dia melihat Sasmito begitu banyak bicara seperti hari ini.
Dari apa yang diceritakan asisten rumah tangga, Sasmito adalah orang yang banyak mengalah kepada mendiang istrinya. Meskipun tegas, pria itu memilih untuk menyerahkan segala sesuatu pada istrinya. Dari situ Prasasti tahu bagaimana mertuanya saling menyayangi. Bagaimana Mahesa dididik, Sasmito hanya memantau dan menegur ketika merasa putranya melakukan hal yang tidak benar.
"Kenapa diam?"
"Maaf, Yah." Meskipun meminta maaf, wajah Mahesa terlihat datar saja. Prasasti memperhatikan sikap suaminya dan itu bukanlah permintaan maaf yang muncul dari hati. Semua hanya demi rasa hormat yang dipaksakan, begitu yang dia pikirkan.
"Ayah tak butuh maafmu! Lagi pula, jangan gampang mengumbar kata maaf, tapi kelakuan tetap saja. Sebenarnya, apa pekerjaanmu sampai lemburmu tak tahu waktu begitu?"
"Banyak pekerjaan yang harus kupantau sendiri setiap prosesnya, Yah. Aku ingin klienku puas dengan hasil kerja tim-ku."
"Naik pangkat itu, 'kan, seharusnya pekerjaan jadi lebih ringan. Kamu punya anak buah yang mengerjakan setiap detail keinginan klien, sementara kamu hanya memantau saja."
Prasasti tahu kalau Mahesa sedang menatap ke arahnya. Jelas meminta pertolongan supaya mengalihkan perhatian ayahnya dan berhenti mengeluarkan semua unek-unek yang bagi suaminya pasti merasa sedang dihakimi. Kasihan juga melihat Mahesa yang sedang tertindas begitu.
Sasmito yang terus memberikan omelan panjang lebar membuat Mahesa tidak berdaya. Sejujurnya Prasasti merasa tidak tega, tetapi perasaan sebagai istri yang diabaikan suami mulai muncul di hatinya. Mahesa memang mencukupi segala kebutuhannya. Namun, kebutuhan seorang istri tak sebatas kebutuhan finansial saja, bukan? Dia juga ingin diperhatikan suaminya, sekali-kali diajak jalan walaupun tak membeli apa-apa.
"Baiklah." Entah benar atau hanya sebagai kata penghiburan untuk ayahnya, Mahesa melunak. "Akan aku usahakan, Yah. Jadi, apa yang ayah inginkan sampai meminta Sasti menelepon?"
"Kamu lupa kalau hari ini Ayah ada janji kontrol ke dokter?"
Mahesa menarik napas panjang. "Kalau hanya untuk kontrol, mestinya Prasasti bisa mengantar Ayah." Ada ekspresi tidak suka yang kembali muncul di wajah Mahesa. Tatapannya garang tertuju pada Prasasti. "Apa hal begitu saja kau tidak bisa, Sas?"
"Bi—"
"Berhenti menyalahkan orang lain!" sela Sasmito. Suaranya kembali meninggi dengan mata menyorot tak kalah garang pada Mahesa. "Apa-apa Prasasti. Anak sudah diurus Prasasti. Rumah, makan, dan obat Ayah, semuanya Prasasti. Belum lagi dia mempunyai pekerjaan yang tak bisa ditinggal. Sebenarnya kau itu anak Ayah atau bukan?"
"Prasasti, 'kan, bisa menolong sekali-kali, Yah?" Mahesa tak mau kalah.
"Prasasti itu istrimu, menantu Ayah. Bukan babysitter Ayah."
"Prasasti nggak apa-apa kalau harus mengantar Ayah. Rifky, 'kan , penurut. Jadi tidak masalah kalau ditinggal sebentar." Tak ingin kesehatan mertuanya terganggu, Prasasti memberikan usul yang pasti bisa dianggap sebagai solusi.
Sasmito menatap Prasasti. "Apa-apa kok kamu? Bagaimana kalau dibalik? Prasasti yang kerja penuh dan kau, Mahesa ... urus semua pekerjaan rumah yang dikerjakan oleh istrimu setiap harinya." Sasmito meneguk wedang jahenya hingga tandas dan bangkit. "Tidak ada alasan, ayah perlu kontrol ke dokter besok. Dokter itu sudah menyetujui untuk memeriksa ayah di hari liburnya. Gara-gara ulahmu semua kacau. Memangnya kamu ini orang penting sampai tak sempat melakukan apa pun?"
Yang bengkelin sebenernya tuh bapak e apa anak e, sih?
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top