🍻 29. Mengelak 🍻
Malam, temans. Pak Mahesa rindu denganmu, dong. Mbaca hyuukk💃
Prasasti meninggalkan kediaman Dewi setelah ditampar kenyataan tak terbayangkan sebelumnya. Perempuan yang disangka orang ketiga dalam pernikahannya, nyatanya bukan hanya sekadar cinta sesaat bagi Mahesa. Justru dialah sosok tak terganti dan dengan hebatnya terus menutup hati suaminya dari perempuan lain.
Masih jelas dalam ingatannya, sorot penuh kemenangan yang terpancar di mata Dewi. Bagaimana dengan bangganya perempuan itu mengatakan bahwa dialah istri yang dinikahi Mahesa sejak tiga tahun lalu. Pikirannya bekerja cepat kalau itu hanyalah akal bulus Dewi untuk menghalalkan segala cara demi mulusnya hubungan dengan Mahesa. Namun, keterdiaman Mahesa yang tak lagi bisa menyangkal kata demi kata seolah membenarkan segalanya.
Dengan kenyataan tak terbantahkan itu, Prasasti kehilangan kata-kata. Perasaan dibohongi membuatnya berbalik dan pergi. Dalam perjalanannya menjemput Rifky, pikirannya mengembara, menganalisis segala hal yang telah terjadi. Dia merasa telah membuat kesalahan dengan menerima pernikahannya dengan Mahesa. Sebuah pernikahan yang membuatnya berbakti di ujung usia orang tuanya justru membuatnya menderita.
Mahesa, pria yang dipilih orang tuanya bukanlah perjaka seperti yang disangka Prasasti. Tak hanya itu, tanpa sepengetahuannya, Mahesa sudah memiliki istri. Ketika semuanya tetap terjadi, tidak ada hal yang bisa dipikirkan selain bahwa dirinya telah dibodohi.
Sampai di toko, Prasasti juga tidak terlalu banyak bicara. Dia hanya mengucapkan terima kasih pada Shery dan membawa anaknya yang sudah tertidur ke taksi online, lalu pulang. Sepanjang jalan, pikirannya menerawang entah ke mana. Sesekali matanya memandangi wajah Rifky yang tenang dalam tidur. Hampir dua tahun menjadi istri Mahesa, anak inilah satu-satunya yang dekat dan mengikuti hampir semua kata-katanya tanpa konfrontasi.
Prasasti tak memperhatikan jalanan sampai sopir taksi mengatakan kalau mereka sudah sampai. Tangannya kembali mendekap Rifky dalam pelukan, lalu turun setelah mengucapkan terima kasih. Sasmito membuka pintu, berusaha menolong menantunya, tetapi ditolak halus dengan alasan kamar anaknya tidak jauh.
“Capek kamu, Sas, kalau menggendong Rifky terus. Kalian pulang terlambat, pasti lelah sekali.”
“Tidak apa-apa, Yah. Memang sudah biasa kalau akhir pekan seperti ini, ‘kan? Lagi pula, Sasti bahagia dengan ini semua.”
Prasasti meninggalkan Sasmito menuju kamar Rifky. Setelah meletakkan anaknya di tempat tidur, Prasasti mengganti pakaian si anak dengan baju tidur supaya lebih nyaman. Selesai dengan urusan Rifky, Prasasti masuk kamarnya. Dia membersihkan diri seperti biasa. Sampai selesai merawat kulit, Mahesa belum juga pulang. Tak ambil pusing, tangannya mematikan lampu, lalu rebah di tempat tidurnya.
"Sas, bangunlah! Aku tahu kau belum tidur." Suara pintu terbuka disusul kemunculan Mahesa dan dua kalimat yang diucapkan dengan nada pelan itu sukses membuat Prasasti urung memejamkan mata.
"Butuh apa?" tanya Prasasti tanpa basa-basi.
Mengherankan kalau Mahesa pulang dan masih membutuhkan dirinya. Hubungannya dengan Dewi sudah diketahui, mestinya tak ada lagi ganjalan di hati mau pulang atau tidak. Lagi pula, apa iya perempuan itu mau ditinggalkan? Bukankah keinginannya untuk tak sembunyi-sembunyi sudah terkabul?
"Siapkan makan malam untukku!" pinta Mahesa. "Aku mau mandi dulu."
Prasasti jengkel. Mahesa meminta seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka. Ke mana akal sehat suaminya? Memangnya ada istri yang tetap manis setelah mengalami kejadian seperti dirinya? Memangnya Dewi tak menyiapkan makanan?
Baiklah, demi ketentraman rumah ini Prasasti bangkit. Dia meninggalkan kamar menuju meja makan. Hanya ada nasi di pemanas. Apa yang akan diberikan untuk Mahesa? Otaknya berpikir cepat sembari membuka kulkas. Matanya menyapu seluruh yang ada di sana. Hanya ada bahan-bahan sederhana yang mungkin tidak disukai Mahesa. Meski begitu, tangannya tetap meraih beberapa bahan dan mengolahnya.
"Makanku sudah siap?" Mahesa muncul beberapa saat kemudian tepat saat Prasasti selesai membuatkan makan malam.
"Sudah," sahut Prasasti sambil memindahkan cobek kayu berisi sambal mentah ke meja makan. Sepiring nasi menyusul dengan piring lain berisi tahu dan tempe goreng serta telur ceplok.
"Kau tidak makan?"
"Tidak." Tumben menawari, biasanya juga langsung makan tanpa ada basa-basinya. Sesekali menawarkan, itu pun kalau suasana hatinya sedang bagus.
"Makan di mana?"
"Di mal. Di restoran cepat saji depan toko baju punya artis."
Prasasti menangkap tatapan Mahesa setelah kalimatnya selesai. Dia tersenyum sinis. Suaminya pasti mengerti apa yang tersirat. Pria itu ada di sana, merangkul bahu Dewi begitu mesra. Hal yang tidak pernah dia dapatkan dalam pernikahan mereka.
"Apa Rifky ...." Mahesa tidak melanjutkan ucapannya. Dia menyuap makanannya dan mengunyah pelan-pelan.
"Kalau pertanyaanmu adalah apa Rifky melihat papanya memeluk gurunya maka jawabannya adalah tidak. Aku tidak akan meracuni pandangan anakku dengan hal-hal yang bisa membuatnya banyak tanya lalu berpikir buruk."
"Telur ceploknya keras," keluh Mahesa. Diraihnya segelas air, lalu menandaskannya dalam sekali teguk.
"Gigimu sudah tumpul barangkali," hina Prasasti. "Setengah matang itu."
Walaupun protes, Mahesa makan dengan lahap. Punya istri dua, masih kelaparan juga. Memangnya kamu nggak dapat makan di sana? Istrimu yang lain hanya bisa berdandan? Prasasti patut mempertanyakan banyak hal mengingat selera makan Mahesa setelah pulang kerja. Dari situ saja sudah jelas kalau tidak ada yang dimakan selama berada di rumah simpanannya.
"Tumben sambalmu pedas sekali, Sas," ujar Mahesa setelah menandaskan segelas air untuk kesekian kalinya.
"Biar imbang sama pedesnya mulutmu," balas Prasasti.
Prasasti mengira kalau Mahesa akan membicarakan tentang perceraian. Sekalian saja dia membuat gara-gara dengan menghaluskan banyak cabai di sambalnya. Kalau sebelumnya dia berniat untuk menjadi istri yang baik, sekarang tidak lagi. Segalanya harus berjalan sesuai jalur dan poligami bukanlah sesuatu yang diinginkannya.
"Tapi ini enak. Tolong gorengkan tahu sutra lagi! Buat menghabiskan sambal."
Tidak tahu malu. Protes, tetapi minta tambah. Dikira sedang makan di warung minta apa-apa dan langsung disediakan. Meski menggerutu dalam hati, Prasasti bangkit dan menuruti permintaan Mahesa. Dia berpikir kalau perutnya kenyang, akan mudah bagi suaminya untuk berbicara. Salah, bukan suaminya, tetapi calon mantan suaminya.
Mahesa benar-benar menghabiskan sambal dan sepuluh tahu goreng yang dibuatkan Prasasti. Dia juga menambah nasi yang untunglah persediaannya cukup. Heran, dari sekian waktu ... baru hari ini Mahesa terlihat menikmati makanan buatan Prasasti.
Selesai membereskan piring kotor, Prasasti kembali ke kamar. Mahesa mengikuti tak jauh di belakangnya. Sesampainya di kamar, dia duduk di tepi tempat tidur. Tatap matanya memaku Mahesa yang seketika terlihat tak tenang.
"Jadi, apa yang mau Mas Hesa katakan padaku?" tanya Prasasti tegas.
"Tidak ada," jawab Mahesa tanpa pura-pura tak mengerti. "Tidurlah, Sas! Aku juga lelah."
Rasanya ingin memukul kepala Mahesa. Bagaimana mungkin pria itu masih bisa sok memerintah padahal perasaan Prasasti sedang campur aduk. Ada rasa marah karena merasa menjadi orang bodoh dan masih berusaha untuk menjadi istri yang baik pula. Kemudian, si tersangka dengan santainya masih menganggap dirinya tak tahu apa-apa.
"Aku per—"
"Tidur!" seru Mahesa. "Kita akan bicara, tapi tidak sekarang."
"Aku mau sekarang!" tuntut Prasasti
"Tidak!" Mahesa tetap menolak.
"Memangnya apa lagi yang bisa diharapkan dari pernikahan yang sudah bobrok dari awal?"
"Aku masih suka kalau kau menjadi istri penurut." Mahesa menahan kemarahan yang mulai merayapi dirinya. Wajahnya merah, rahangnya mengeras. "Jadi sebelum aku mengatakan hal-hal yang tidak kuinginkan lebih baik tutup mulutmu dan tidurlah!"
Mahesa menarik Prasasti rebah di tempat tidur mereka. Tangannya menarik saklar lampu, sekejap saja ruangan itu menjadi redup. Dengan cepat pula tangannya menarik selimut, menutupi tubuh mereka hingga bahu.
Kalau Prasasti selalu mengharapkan kedekatan dengan Mahesa sebelum ini, sekarang tidak lagi. Dulu, dia begitu berharap Mahesa memeluknya seperti ini, tetapi sekarang tidak lagi. Berada dalam pelukan Mahesa saat ini justru terasa aneh. Seperti keinginan untuk menjauh, bahkan tangan yang mulai membelai itu membuatnya merasa tidak nyaman. Untuk melindungi dirinya, Prasasti menjauh. Tangannya meraih guling di atas kepala, lalu meletakkannya di antara dirinya dan Mahesa.
"Sas ...."
"Aku mau tidur," ucap Prasasti ketus seraya membelakangi Mahesa. "Seperti katamu, 'kan?"
Setelah mengatakan tidur pada Mahesa, matanya hanya bisa terpejam tetapi lelap tak kunjung menghampiri.
Entah setelah berapa lama, Prasasti mendengar pergerakan Mahesa. Suara helaan napas panjang menyusul setelahnya. Saat dirinya mulai tertidur, suaminya yang bergerak kembali membangunkannya.
"Tidak bisakah kau tidur dengan tenang, Mas Hesa?" bentak Prasasti setelah berkali-kali terbangun.
"Maaf, mengganggu tidurmu, Nyonya," sindir Mahesa seraya bangkit dan pergi ke kamar mandi.
Prasasti tidak peduli ucapan suaminya. Suami? Benarkah? Dia bahkan tidak pernah ingat kapan Mahesa memperlakukannya dengan layak. Kesadaran yang tiba-tiba muncul, bahwa dirinya bukanlah apa-apa.
Masih nggak ada nyali buat cerita tuh Pak Mahesa. Pilih membisu dia🤐
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top