🍻 28. Menyangkal 🍻
Selamat malam, temans🤩
Yang sudah merindukan Mahesa, gas merapat cari tempat. Jangan lupa kuaci dan tinggalkan ulekan di dapur. Selamat membaca🤭
Mahesa terkejut dan berdiri seketika saat mendengar suara Prasasti. Bagaimana perempuan itu bisa berada di tempat ini? Jangan pertanyakan emosi yang berkecamuk di hati Prasasti karena wajahnya tidak memperlihatkan apa pun selain tatapan dingin yang mungkin mampu membekukan gurun pasir.
“Sas, ini—”
“Ini nggak seperti yang aku lihat atau pikirkan?” Suara sinis Prasasti nyatanya mampu membuat tulang belakang Mahesa seperti kesemutan.
Tidak masalah seandainya Prasasti mengetahui ini semua karena sudah telanjur. Namun, bagaimana dengan ayahnya? Perempuan ini selalu berada di bawah perlindungan beliau dan bukannya tidak mungkin kalau Prasasti akan mengadu karena merasa dikecewakan.
Ada penyesalan yang merambati hati Mahesa. Kenapa tidak pernah membuka hatinya untuk mengetahui karakter Prasasti? Dia sibuk memikirkan kehidupan cintanya yang tersembunyi dan hanya berusaha membuat ayahnya bahagia dengan menantu pilihannya.
Mahesa lupa bahwa komunikasi itu penting. Prasasti mungkin bisa mengerti kalau cinta itu tidak bisa dipaksakan, tetapi dengan keadaan yang seperti sekarang, mustahil baginya untuk mendapatkan pemahaman dari perempuan itu. Dengan apa yang sudah terjadi ini, mengharapkan pengertian Prasasti sama saja seperti menunggu ayam jantan bertelur.
“Sas, aku nggak bermaksud untuk—”
“Mengkianati aku dengan guru anakmu?”
***
Prasasti tidak gentar meskipun Mahesa menatapnya garang. Sesaat lalu, suaminya memang terlihat merasa bersalah, tetapi kemarahannya muncul setelah mendengar tuduhannya. Siapa peduli? Dia merasa bukti yang dimilikinya sudah cukup dan rasanya memang tidak perlu menahan diri terus-menerus.
Sejak melihat Mahesa di pusat perbelanjaan, Prasasti bergegas pergi ke tokonya. Di sana dia meninggalkan Rifky dengan Shery. Pikirannya mengatakan kalau Mahesa pasti pulang ke tempat simpanannya usai berbelanja.
Prasasti sudah menahan diri setelah bukti pertama yang diperoleh, tetapi tidak mengungkapkan apa-apa. Dia juga tetap diam ketika Mahesa selalu pulang larut malam dengan alasan lembur. Protesnya juga tidak muncul saat suaminya tak pernah lagi meluangkan waktu untuk anak mereka. Namun, begitu bukti berikutnya diperoleh, tak ada lagi keinginannya untuk diam.
“Jaga mulutmu, Mbak Sasti!” Dewi angkat bicara.
“Menjaga apa?” tanya Prasasti Sinis. “yang benar itu, jaga perilakumu!”
“Mengapa aku harus menjaga perilaku-ku? Mengapa aku harus menjaga perilaku di rumahku sendiri?”
Prasasti tersenyum meremehkan. “Aku baru mengerti kalau kedatanganmu menjadi guru di rumahku adalah hal yang sudah kalian berdua rencanakan.”
Prasasti merasa tertampar oleh kenyataan yang baru saja dia ucapkan. Tak pernah terpikir sebelumnya kalau kedatangan Dewi ke rumah merupakan sebuah rencana yang juga disusun oleh suaminya. Supaya apa? Mengenal mertuanya atau memastikan kehidupan pernikahannya yang tak pernah romantis?
Rasa sakit menjalari hati Prasasti. Dirinya selalu berpikir positif dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa Mahesa hanya perlu waktu. Tentu tidak mudah menikah dengan orang yang sama sekali tak dikenal. Nyatanya, dia telah membodohi dirinya sendiri.
“Benar,” kata Dewi.
“Akhiri hubungan kalian atau hal ini akan sampai di telinga Ayah!”
“Katakan saja pada mertuamu!” seru Dewi. “Kita lihat, dia akan membelaku atau membelamu.”
“Membelamu?” Prasasti tertawa sinis. “Yang benar saja ....”
“Pulanglah, Sas!” pinta Mahesa lembut. Untuk pertama kalinya selama pernikahan mereka, suaminya berbicara selembut itu kepadanya. “Aku akan menjelaskan semuanya di rumah.”
“Nggak ada yang perlu dijelaskan, Hes,” tukas Dewi, “sekalian saja akhiri pernikahan kalian di depanku. Biar aku tidak selalu berprasangka padamu dan memicu pertengkaran terus-menerus.”
Dasar perempuan tidak tahu malu. Prasasti hanya bisa mengucapkan kata itu dalam hati. Dia tidak mengerti bagaimana ada perempuan yang sangat berani meminta sebuah pernikahan dibubarkan.
Dalam pikiran Prasasti, meskipun pernikahannya tidak baik, tak seharusnya Dewi mengatakan hal itu. Katakanlah mereka memang saling mencintai, tetapi bukan seperti ini caranya. Ada banyak pria di dunia ini untuk dicintai, mengapa harus Mahesa?
"Tidakkah kamu merasa bersalah karena harus berdiri di dalam pernikahan orang lain?"
"Mengapa aku harus merasa bersalah?" sinis Dewi.
"Tutup mulutmu, Wi!" gertak Mahesa. "Sas, semua benar-benar tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya kebetulan berada di sini dan membahas tentang les anak kita."
"Oh, ya? Kenapa tidak diskusi dulu denganku?"
"Sas, karena keputusanmu menghentikan les Rifky, Dewi jadi kehilangan pekerjaan. Aku merasa kasihan karena dia hidup sebatang kara."
Dalam kemarahannya, alis Prasasti bertaut. Dewi sebatang kara? Mahesa tahu dari mana? Dirinya, yang secara rutin menemani les Rifky dan masih sempat mengobrol dengan Dewi saja tidak tahu hal itu. Bagaimana suaminya yang justru seperlunya dan cenderung dingin malah mengetahui detail kehidupan Dewi?
"Kenapa Mas Hesa peduli?" Rasanya sakit menanyakan pertanyaan yang sebenarnya tak perlu ditanyakan. Namun, Prasasti benar-benar harus menggigit lidahnya supaya tidak memaki dengan kata-kata yang tak layak di dengar.
Lebih dari setahun mereka berada dalam ikatan pernikahan dan belum pernah sekali pun Mahesa bertanya bagaimana dia tumbuh. Dirinya kuliah di mana atau semua pertanyaan remeh tak ada artinya, tetapi bisa mempererat sebuah hubungan.
Prasasti masih ingin berpikir yang baik-baik tentang suaminya. Semua ini hanyalah cinta sesaat karena adanya kesempatan di mana dirinya tidak memberi perhatian dengan layak. Kemudian, apakah memang sesederhana itu?
"Ayolah, Sas. Dewi tidak sepertimu yang memiliki usaha. Walaupun tidak besar, tetapi kamu bisa makan dari sana."
Dasar suami kurang ajar. Bisa-bisanya membandingkan dirinya dengan perempuan tidak benar itu. "Kuberi pekerjaan kalau dia memang pengangguran," tukas Prasasti.
"Aku tidak mau!"
"Lihat, 'kan? Dia ini memang perempuan tidak benar. Diberi pekerjaan halal malah menolak."
"Sas, pulanglah! Kami memang tidak ada apa-apa." Mahesa mendorong lembut tubuh Prasasti. Mengarahkannya ke pintu masuk.
"Tidak usah begitu baik pada perempuan itu, Hes. Dia tahu di mana pintunya kalau mau pulang."
"Jangan mendorongku!" Emosi Prasasti meninggi. Dia merasa Mahesa berusaha menutupi sesuatu.
"Percaya aku, Sas!" tegas Mahesa. "Tidak ada apa-apa antara aku dan Dewi. Semua hanya karena aku akan menolongnya."
Prasasti geram. Dikeluarkannya ponsel dari dalam tas. Setelah menyentuh beberapa kali, dia tunjukkan benda itu pada Mahesa.
"Menolong, tapi semesra ini?" Prasasti menahan dirinya supaya tidak lepas kendali. Menarik napas panjang berkali-kali supaya air mata tak menggenangi matanya. Terlepas dari bagaimanapun interaksinya dengan Mahesa, dia hanya marah karena terlalu disepelekan. Jauh di lubuk hatinya Prasasti tetap berkeinginan bahwa suatu hari nanti Mahesa berubah.
Mahesa mengusap sekilas keningnya. Tangannya berusaha merebut ponsel Prasasti, tetapi tangan Prasasti bergerak lebih cepat. Benda itu kembali masuk ke dalam tasnya.
"Jangan harap kau bisa menghilangkan bukti," dengkus Prasasti. "Kau tak pernah sebahagia itu saat denganku dan keluarga kita, tapi bahagia sekali dengannya."
"Karena aku punya apa yang kamu tidak punya." Suara Dewi terdengar berapi-api. Yakin karena Mahesa akan berada di pihaknya.
"Tentu saja kau punya," tukas Prasasti. "Kemampuan untuk merayu suami orang."
"Benarkah? Ja—"
"Wi, diamlah, tolong." Mahesa terdengar memohon.
Perasaan Prasasti semakin tak menentu. Mahesa bisa memohon untuk perempuan lain sedangkan hal itu tak pernah terjadi untuknya. Perasaan tidak dianggap sebagai istri langsung memenuhi benaknya.
"Tak perlu merendahkan dirimu yang sudah rendah," hina Prasasti. "Orang ketiga sepertinya jelas tak punya harga diri."
"Dengarkan aku Prasasti!" teriak Dewi. "Mahesa sudah menjadi suamiku sejak tiga tahun yang lalu. Aku adalah segala yang dia inginkan dari seorang perempuan untuk menjadi istri. Pikirkan siapa yang menjadi orang ketiga sekarang!"
Nah, loo ... Prasasti loo yang istri kedua🤐🤐✌
Othor e kaboor, takut kena tampol🏃♀️🏃♀️
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top