🍻 27. Terbongkar 🍻

Malam, temans🤩
Yang kangen Pak Mahesa langsung merapat aja. Selamat membaca☘

Mahesa memarkir mobil di depan rumah. Perempuan yang bersamanya turun lebih dulu sambil membawa dua kantong belanjaan. Sisanya akan dibawa Mahesa setelah parkir dengan benar. Tidak merepotkan, Mahesa senang melakukannya. Di sini dia merasa dibutuhkan.

Mahesa memang berada di rumah kekasih hatinya, tetapi pikirannya melayang ke rumah. Rumah tempat anak istrinya tinggal. Ada berbagai hal yang sedang berlarian di benak Mahesa. Ini adalah tentang rumah tangganya dengan Prasasti. Setiap pulang ke rumah, tidak ada lagi senyum yang tertuju untuknya. Meskipun tetap baik, istrinya menjadi pasif. Tidak ada hal yang tersedia kecuali dia memintanya lebih dulu.

Saat merasa lapar, Mahesa harus meminta pada Prasasti. Menginginkan camilan juga sama. Hanya segelas kopi yang disajikan istrinya dengan sukarela. Itu juga kalau kebetulan perempuan pilihan orang tuanya itu ada di meja makan atau dapur. Kalau istrinya sedang di kamar Rifky, dirinya harus puas dengan kopi buatan Simbok.

Prasasti berubah. Perilakunya tetap baik, terutama di depan ayahnya. Namun, kebaikan manis di depan sang ayah tidak muncul ketika mereka berdua saja. Malam saat berada di kamar, Prasasti juga tidak pernah lagi mengawali pembicaraan. Setelah membersihkan diri, istrinya akan memakai produk perawatan kulitnya lalu berbaring dengan selimut yang menutup tubuhnya sampai bahu. Membelakanginya pula.

Jangankan mau disentuh, melihat dirinya saja Prasasti seolah enggan. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Mahesa memang penasaran, tetapi untuk bertanya rasanya gengsi. Nanti juga kalau butuh, Prasasti pasti akan menyapa, begitu pikirnya.

Rupanya pemikiran Mahesa hanya sebatas angan. Prasasti tak kunjung membutuhkan sesuatu dan tampaknya acuh saja ketika dia mencoba menahan uang bulanan yang biasa diberikannya di awal bulan. Yang ada justru dirinya lebih dulu mengalah dan memberikan uang bulanan seminggu kemudian karena Simbok mengatakan tidak ada apa-apa di kulkas saat dirinya minta anggur. Prasasti memang tidak protes padanya, tetapi berhenti menambahkan kebutuhan keluarga. 

Ayah adalah sosok yang Mahesa hormati. Beliau tampak semakin sehat sejak adanya Prasasti di rumah. Itulah alasan dirinya tak pernah memarahi istrinya untuk urusan apa pun karena keberadaannya membuat kondisi rumah benar-benar stabil seperti saat ibunya masih ada. Tentu saja selama sang istri tak mengusik jam kerjanya yang menurut banyak orang tidak wajar. Tegurannya hanya ketika Prasasti dirasa sudah terlalu cerewet.

Mahesa meletakkan sisa belanja yang ditinggalkan pujaan hatinya di dalam rumah. Sebenarnya bukan sisa belanjaan, tetapi memang belanja yang harus dibawa masuk karena berat, mungkin. Itu pun juga mengingatkannya pada Prasasti.

Prasasti sangat mandiri. Begitu mandirinya sampai tidak pernah meminta tolong. Ketika dirinya mau mengantar belanja kebutuhan bulanan karena paksaan ayahnya, istrinya juga mengangkat sendiri semua belanjaan mereka dari mobil sampai ke dalam rumah. Mungkin dibantu Simbok ketika perempuan itu tergopoh-gopoh keluar gara-gara mendengar suara mobilnya.

“Kamu ngelamunin apa, sih, Hes?” Suara merdu itu memutus keterdiaman Mahesa. “Aku ngajak omong kamu dari tadi, tapi nggak kamu tanggapin.”

“Nggak ngelamun,” jawab Mahesa, “hanya sedang mengingat sesuatu.”

“Sesuatu apa?”

“Aku tak pernah membawakan belanjaan seperti ini di rumah.” Mahesa meletakkan bawaannya di ruang tengah. Setelah mengambil segelas air dan menandaskannya, dia duduk sambil menyalakan televisi. “Aku bahkan tak pernah diminta untuk mengantar belanja lagi.”

“Ya bagus, dong. Artinya kamu nggak capek.”

“Masalahnya bukan itu. Tapi ayahku pun juga tidak pernah ribut lagi soal itu.”

“Ya biarin aja, sih, Hes. Mereka bisa melakukan apa saja tanpa kamu.”

"Bisa jadi bencana kalau Ayah tahu menantunya menderita."

"Ayah, Ayah, Ayah terus. Lama-lama bosan dengerin kamu cerita tentang rumah. Bisa nggak, sih, hanya membahas masalah kita aja kalau sedang berdua?

Terkadang Mahesa heran. Perempuan yang disayanginya ini begitu enteng mengatakan segala hal. Seolah apa yang terjadi di sisi hidupnya yang lain bukanlah masalah yang harus dipikirkan. Apakah perlu diingatkan bahwa dirinya juga harus menyeimbangkan segalanya?

Dahi Mahesa berkerut. Entah apa yang dirasakannya, tetapi tiba-tiba perasaannya campur aduk. Dirinya juga baru ingat kalau sudah terlalu lama absen dari kegiatan bersama Rifky. Anak itu juga tidak lagi menunjukkan ketertarikan saat dirinya terlihat santai di rumah. Dia juga ingat ketika pulang di suatu sore, tetapi Rifky tidak berlari menyambutnya.

Apa yang sudah terjadi? Pasti terjadi sesuatu di belakangnya dan tak satu pun orang rumah memberitahunya. Perasaan terasing tiba-tiba muncul di hati Mahesa. Terkucil dari keluarganya sendiri. Tidak ada yang butuh dirinya di sana.

“Mikirin apa, sih, Hes? Capek lama-lama harus ngulang pertanyaan yang sama berkali-kali.”

“Bisa nggak sedikit saja kamu tenang? Nggak semua yang ada di pikiranku kamu harus ngerti, ‘kan?”

“Memangnya kenapa aku nggak boleh ngerti? Kamu bosan sama aku? Nggak ngehargain aku lagi?”

Mahesa mengembuskan napas seraya menyandarkan tubuh. Akhir-akhir ini, dia memang sering merasa lelah. Lebih tepatnya lelah hati. Matanya terpejam, membiarkan kekasih hatinya mendekat dan bersandar di bahunya. Perempuan ini memang keras kepala dan sangat terbuka sehingga Mahesa tidak perlu menebak-nebak. Meskipun kurang peka pada sekitar, tetap masih bisa dimaklumi mengingat kemampuannya yang tak pernah gagal untuk menyenangkan dirinya.

Mahesa mengusap lembut kepala wanitanya. “Sepertinya Prasasti mencurigai sesuatu.” Matanya terbuka, mengamati apa yang perempuan manja ini lakukan.

“Mencurigai apa?” tanya si perempuan santai. Tangannya masih sibuk menyentuh ponsel dan terlihat memindai gambar-gambar tas yang mungkin sedang ngetren.

“Mencurigai bahwa sebenarnya aku tidak lembur.”

“Aku nggak khawatir.”

“Aku yang khawatir,” tutur Mahesa, “kalau dia mencurigai sesuatu, bisa kacau keadaan rumah.”

“Bagus, 'kan, kalau memang dia curiga. Mestinya dia tahu sekalian. Jadi, kita nggak perlu sembunyi-sembunyi seperti sekarang.”

“Tapi aku ta—”

“Kamu takut?” tanya kekasih hati Mahesa keras. 

“Bisa jadi dia marah dan mendiamkanku lebih lama. Sekarang saja dia sudah jarang berbicara denganku.” Kalimat Mahesa memang terdengar seperti keluhan, tetapi dia berusaha untuk mengatakan semua apa adanya.

“Kenapa kamu peduli? Kamu sudah nggak cinta aku? Kamu mulai cinta dia?”

“Wi, dia itu disayang ayahku. Aku ...”

“Sejak kapan kamu takut sama istrimu?”

“Aku bukan takut sama Prasasti. Aku hanya khawatir dia tahu lebih cepat dari yang seharusnya.”

Mahesa memang ingin Prasasti mengetahui segalanya, tetapi tidak sekarang. Dia ingin berkata jujur supaya merasa lebih nyaman menjalani hari. Namun, ini bukanlah waktu yang tepat untuk membuka rahasianya. Hampir dua tahun pernikahan, dia tidak memperlakukan Prasasti seperti yang seharusnya. Kalau memang harus bercerita, dirinya perlu menemukan waktu yang pas supaya istrinya mengerti dan mereka bisa membicarakan semuanya baik-baik serta mencari jalan keluar yang tidak merugikan kedua belah pihak.

“Bodo amat. Justru bagus bagiku kalau Prasasti tahu lebih cepat. Jadi aku bisa terang-terangan kalau mau melewatkan waktu denganmu.”

“Aku harus bagaimana supaya kalian tidak sembunyi-sembunyi untuk melewatkan waktu berdua?” Prasasti tiba-tiba muncul di rumah itu.

Nah, itu sudah ketahuan. Gimana ngelesnya kira-kira?

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top