🍻 26. Bukti Baru 🍻

Malam, temans🤩
Yang dari kemarin sudah kangen Pak Mahesa, cuz merapat🤭

Prasasti tidak tertarik dengan keterkejutan Mahesa. Terlalu standar. Menuduh, lalu menyesal setelah tahu kebenaran. “Ayo, ke meja makan saja, Yah! Ayah harus makan sebelum minum obat. Mesti cepat istirahat juga sesuai anjuran dokter.”

Prasasti berbalik meninggalkan Mahesa yang masih mematung karena ucapan ayahnya. Dia sedikit menyesal karena lupa di mana dirinya berdiri. Mestinya dirinya ingat kalau sedang berada di ruang tengah sehingga sangat mungkin teriakannya didengar Sasmito.

“Yah, Sasti ....”

“Ayah malu, Sas,” kata Sasmito. “Malu kenapa anak Ayah kok mudah sekali menuduh yang tidak-tidak.”

“Menuduh apa, Yah? Mas Hesa nggak menuduh apa-apa.” Di sini Justru dirinya yang merasa tidak enak. Mestinya sang mertua mendapatkan waktu istirahat yang baik, bukannya mendapati sang anak sedang emosi.

“Ayah mendengarkan setiap perkataan Mahesa, bahkan ketika kamu masih berada di kamar Rifky.” Sasmito menatap Prasasti  seraya mengusap sudut mata dengan ujung jari. “Maaf sudah membawamu ke kehidupan kami. Ayah sudah gagal mendidik Mahesa.”

“Jangan merasa seperti itu, Yah. Prasasti senang menjadi anak Ayah.” Senyum Prasasti mengembang seolah mendukung ucapannya. “Ayah makanlah dulu! Setelah itu minum obat dan segera istirahat.”

Prasasti memeriksa semua obat Sasmito. Memilih mana saja yang harus dikonsumsi malam ini. Ketika mertuanya sudah menghabiskan makan malamnya, Prasasti membuka beberapa butir lalu meletakkannya di tatakan. Didorongnya benda itu bersama dengan segelas air mineral.

“Yah, Sas ....”

“Tinggalkan meja makan dan jangan ganggu istrimu!” titah Sasmito tegas.

***

Seperti biasa, Prasasti selalu meluangkan waktu di akhir pekan untuk jalan-jalan dengan Rifky. Permintaan anak itu juga tidak pernah berubah. Selalu mandi bola dan naik game motor seperti yang sudah-sudah. Rupanya, si anak menyukai permainan yang satu itu hingga memintanya di setiap ada kesempatan.

Sebagai ibu, Prasasti menuruti permintaan itu dengan senang hati. Tidak perlu mengajak Shery karena dia pun bisa memainkan permainan itu dengan putranya. Dia sudah mengenakan celana joger berwarna abu-abu dipadu kaus longgar berwarna hitam. Rambutnya diikat ekor kuda sedangkan di bahunya ada sling bag abu-abu berisi ponsel dan air mineral untuk Rifky.

“Mama, kapan aku bisa naik sendiri?” tanya Rifky sambil menatap Prasasti yang terus menatap layar.

"Maksudnya Rifky main sendiri? Mama hanya menemani?"

"Iya." Rifky mengangguk.

“Kalau Rifky duduk di motor dan kakinya sampai ke lantai seperti Mama," jawab Prasasti setelah berpikir sebentar.

Spontan Rifky menunduk, melihat kakinya yang masih menggantung. Senyumnya muncul ketika matanya kembali ke wajah mamanya. Sangat menggemaskan.

“Lama,” katanya. “Mama makan apa?”

“Sama seperti Rifky. Sudah, nggak usah ditunggu kapan kakinya sampai lantai. Kita main saja, sambil makan, sambil belajar. Sambil sekolah, nanti tiba-tiba kaki Rifky sudah sampai lantai. Oke?”

Pertanyaan yang kembali mendapat pameran gigi disertai anggukan penuh semangat. Prasasti tidak ingat berapa lama mereka bermain. Dia menuntun tangan Rifky mengajaknya ke arena permainan yang lain. Berpindah-pindah sambil membagi banyak tawa berdua. 

Memiliki anak itu menyenangkan. Ada yang diajak untuk menikmati kegembiraan dan rasa lelahnya pulang kerja bisa hilang seketika. Terlebih lagi saat sang anak mendekat dan mulai menceritakan kegiatannya sepanjang hari. Sangat mengasyikkan.

Hal yang terjadi pada Prasasti mungkin terlihat tidak umum. Hampir setiap hari Rifky ada di tempat kerjanya. Anak itu memang aktif, tetapi tidak sampai mengganggu aktivitas di sana. Dirinya memastikan anaknya nyaman di ruang kerja miliknya atau kalau si bocah minta keluar, Prasasti mengatakan untuk tidak berbelok ke area toko.

Di tempat kerjanya, Prasasti meluangkan sedikit waktu untuk menyimak Rifky membaca. Semua urusan yang menyangkut pembelajaran, dipastikan tidak ada yang luput dari pengamatannya. Di situ dia ingin menyeimbangkan antara waktu untuk bermain dan belajar.

“Mama, coba itu.” Rifky menunjuk arena di depan permainan. “Naik sama Mama?”

Prasasti melihat ke arah yang ditunjuk putranya. Arena balap mobil mini di mana pengendaranya saling tertawa. Melihat itu saja keinginan Prasasti juga muncul. Segera digandengnya tangan Rifky menuju area tersebut. Begitu bersemangatnya sampai sulit dibedakan siapa yang lebih antusias untuk mencoba.

Berputar-putar mengelilingi arena, tawa Rifky terus terdengar. Beberapa kali dia menunjuk supaya mamanya mengemudi lebih cepat untuk mendahului mobil di depan mereka. Anak itu memeluk Prasasti ketika mobil mereka hampir menabrak. Bukan memeluk takut, tetapi bahagia yang kemudian diikuti tawa ketika mobil mereka benar-benar menabrak pengendara lain.

Prasasti kembali menggandeng Rifky. Kali ini, meninggalkan arena permainan setelah tiga kali membeli tiket untuk menyenangkan si anak. Kalau menuruti kemauan putranya, mereka bisa terus bermain sampai mal tutup. Prasasti mengatakan kalau mereka akan selalu menikmati permainan ini setiap ada waktu bermain. Sekarang lebih baik makan supaya tidak sakit.

Rifky menurut meski dengan berat hati. Senyumnya terlihat berat dan berkali-kali menoleh dalam perjalanannya meninggalkan tempat itu. Prasasti tersenyum sendiri melihat perilaku anaknya. Saat langkah mereka berbelok, Rifky berhenti sambil menoleh sekali lagi.

“Kita naik lagi kalau main ke sini, ya,” kata Prasasti sambil berjongkok, menyejajarkan tinggi badannya dengan si anak.

“Janji, Mama?” Rifky mengulurkan kelingking pada Prasasti.

“Iya, Mama janji.” Prasasti menyambut kelingking anaknya. “Kita makan sekarang?”

“Kentang, Mama?”

Prasasti pura-pura berpikir. “Nasi dulu dengan ayam. Setelah itu baru kentang. Setuju?”

“Oke, Mama!” seru Rifky semangat. Dia menarik tangan Prasasti menuju tempat makan kesukaannya.

Prasasti meminta Rifky duduk sementara dia memesan. Anak itu mengatakan ikut dan dengan sabar Prasasti mengajaknya. Dia juga membiarkan Rifky membaca menu dan memilih kentang goreng yang diulang sampai tiga kali.

Setelah mendapatkan pesanannya Prasasti menyuapi Rifky lebih cepat dari tangan anaknya yang hendak memasukkan kentang goreng ke mulut. Dia tidak marah, tidak juga menegur karena mengerti bagaimana perilaku anak pada makanan yang digemarinya. Yang penting baginya adalah ada nasi yang masuk perut bersamaan dengan camilan si anak.

Abaikanlah Rifky yang berkali-kali menahan tangan Prasasti. Sudah pasti karena ingin segera menikmati camilannya. Prasasti tersenyum sendiri dan sesekali mengalah, membiarkan Rifky memakan beberapa potong kentang sebelum kembali menyuapinya.

Prasasti menghadapi makanannya sendiri ketika selesai menyuapi Rifky. Dia biarkan anak itu menikmati kentang goreng sementara dia menyisihkan kulit ayam. Tangannya urung menyuapkan makanan ke mulut saat mata Prasasti menangkap sosok yang dikenalnya. Dia berkedip, memastikan penglihatannya benar atau salah. Emosinya merambat naik ketika menyadari bahwa semua itu benar. Jika tak mengingat keberadaan Rifky, sudah pasti dia bangkit dan menghina keduanya.

Melirik wajah menggemaskan Rifky, Prasasti menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan. Bukan gayanya untuk mempermalukan diri sendiri. Dilihat dari sisi mana pun, terlihat jelas kalau Mahesa mencintai perempuan itu. Perempuan itu berbicara, Mahesa mendekatkan telinganya, lalu tersenyum dan menanggapi ucapannya. Sebuah interaksi yang tak pernah terjadi padanya ketika sedang bersama suaminya.

Prasasti mengambil ponsel dari tas. Yang ada dalam pikirannya hanyalah mengambil gambar Mahesa berkali-kali. Setiap pergerakan yang tertangkap kameranya serasa meremas jantungnya. Itu bukanlah interaksi tanpa cinta. Semua menunjukkan adanya perasaan mendalam di antara keduanya. Sialan, memang.

Gimana, gimana? Yang mau menghujat Pak Mahesa, dipersilakan😝😝

Btw, mampir ke sini, yakk 👇

Yang ini bakal lebih cepat update daripada Pak Mahesa. Kuyy, lah, saia tunggu.

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top