🍻 24. Tak Pernah Tenang 🍻
Malam, temans🥰
Cieee, seneng, dong, Mahesa cepet nongol.
Met mbaca🤩
"Aku sudah menambah uang belanjamu," kata Mahesa seraya memakai pakaian yang disiapkan Prasasti. "Belanjalah apa saja yang kau mau."
Prasasti tak menanggapi ucapan Mahesa. Baginya, uang belanja bukanlah apa yang diinginkannya. Bahkan tanpa tambahan pun, yang diterimanya sudah lebih dari cukup dan sejujurnya sangat berlebih. Mahesa tidak pernah pelit untuk urusan uang. Bukannya tidak bersyukur dengan apa yang diterimanya, dia hanya merasa bahwa apa yang dilakukan Mahesa adalah salah satu cara untuk terus membuatnya bungkam.
"Kau dengar ucapanku, Sas?"
"Dengar," jawab Prasasti. Tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Hanya saja dirinya memang sedang malas berbicara.
"Belanjalah sesukamu. Kalau masih kurang, ini ...." Mahesa meletakkan sebuah kartu di meja. "Kuberikan kartu kredit untukmu. Pergilah ke toko perhiasan dan belilah apa saja. Kurasa kau perlu perhiasan baru."
Kalau perempuan lain mungkin akan bersorak gembira jika diberikan hal seperti itu. Masalahnya, Prasasti tahu kalau itu untuk mengalihkan pikiran. Memberikan pemakluman bahwa waktu Mahesa tidak banyak. Bisa dikatakan itu adalah cara suaminya untuk membuatnya merasa bahagia. Bahagia? Bolehkah Prasasti berpikir begitu? Tentu boleh kalau Mahesa adalah suami yang penuh cinta dan memujanya setengah mati. Namun, mereka berdua sama-sama tahu kalau Mahesa tidak begitu.
Sejak pertengkaran mereka terakhir kali, Prasasti hampir tidak pernah bertanya apa-apa pada Mahesa. Percakapan mereka hanya seperlunya dan itu pun membahas tentang Rifky. Komunikasi yang sangat terbatas ini membuat mereka tak ubahnya orang asing yang tinggal dalam satu atap.
Prasasti keluar kamar menuju meja makan. Mahesa menyusul beberapa saat kemudian. Hanya ada mereka berdua tanpa Sasmito dan Rifky yang sudah pasti sedang jalan-jalan berdua karena itu hari Minggu. Simbok libur sejak dua hari yang lalu karena anaknya melahirkan. Begitu yang perempuan berbadan segar itu katakan di hari terakhir sebelum berangkat.
"Buatkan aku nasi goreng, Sas!" pinta Mahesa. "Ada bahan-bahannya di kulkas, 'kan?"
"Ada," sahut Prasasti seraya berdiri.
Tumben suaminya meminta nasi goreng. Biasanya, Mahesa melahap apa saja yang ada. Apalagi hari libur seperti sekarang. Selain segelas kopi, pria itu hanya makan kue basah yang akan dibawa Sasmito sepulangnya dari jalan-jalan ke car free day. Kalau Prasasti bilang, mertuanya bukan jalan-jalan, tetapi memborong aneka makanan dengan dalih amunisi pengganti setelah lelah berolahraga.
Prasasti tidak memerlukan waktu lama untuk membuat nasi goreng. Dia membuatnya tanpa cabai karena Mahesa lebih suka lalap cabai hijau segar untuk rasa pedasnya. Suatu kebetulan yang menyenangkan karena artinya Prasasti tidak perlu bekerja dua kali karena Rifky menyukai menu yang satu itu.
Prasasti meletakkan semangkuk besar nasi goreng buatannya di tengah meja lengkap dengan acar mentimun, sla keriting, dan cabai hijau. Sebagai lauknya, dia menggoreng ayam goreng instan dan telur ceplok. Selesai dengan itu, dia menikmati sarapannya berupa buah potong dan segelas jus jeruk.
"Enak," kata Mahesa sambil mengunyah.
"Tentu saja enak," balas Prasasti, "kalau tidak enak, Rifky nggak akan menyukai nasi goreng sampai seperti kecanduan."
"Hmm ... katsu ini kuhabiskan. Nanti kalau Rifky dan Ayah datang, gorengkan lagi untuk mereka! Atau gorengkan karaage saja, biar gampang gigitnya."
Melihat Mahesa menikmati sarapannya, ada rasa senang menyelimuti hati Prasasti. Tidak masalah baginya jika suaminya sibuk asalkan bisa menikmati hari libur seperti saat ini. Namun, itu hanya khayalan karena semalam suaminya mengatakan akan pergi setelah tengah hari. Bagi Mahesa, dirinya mungkin istri penuntut, tetapi dia sedang memperjuangkan pernikahannya supaya memiliki keluarga utuh yang saling menyayangi.
"Iya."
Suasana hening sampai Mahesa menyelesaikan sarapannya. Prasasti menuangkan segelas air mineral dan memberikannya untuk Mahesa. Suaminya minum pelan-pelan seraya membaca pesan. Kadang-kadang, Prasasti berpikir apa sebanyak itu pekerjaan yang harus diselesaikan sampai tidak bisa berpisah dengan ponselnya.
"Mas, aku mau les membaca Rifky dihentikan."
"Apa?" Mahesa hampir saja tersedak, tetapi untunglah air di mulutnya tertelan tepat waktu. "Siapa yang menyuruhmu untuk menghentikannya?"
Prasasti memutar bola matanya karena kesal. "Memangnya aku mesti disuruh-suruh jika memutuskan sesuatu untuk anak sendiri?" Dia menatap suaminya sekilas sebelum kembali menekuri alpukat di tangannya. "Anak kita sudah bisa membaca. Nggak perlu les lagi."
"Aku mau Rifky jadi lebih pintar. Biarkan gurunya itu mengajarkan berhitung!"
"Anak kita sudah ikut Kumon. Jadi, buat apa les berhitung lagi. Lagi pula, Kumon itu bisa kubilang ...." Prasasti menyipitkan mata sejenak. "Mahal," katanya kalem.
"Memangnya kenapa kalau mahal?" sengit Mahesa. "Aku tidak memotong uang bulananmu, 'kan?"
"Memang tidak. Tapi, aku bisa memutuskan apa pun di rumahku, 'kan?"
"Sas—"
"Sudahlah, Mas," sela Prasasti, "aku tidak memprotes kebijakan apa pun yang kamu buat di rumah ini. Aku harap kamu juga melakukan hal yang sama pada apa pun yang aku buat."
Prasasti mengamati ekspresi Mahesa yang jelas sedang menahan marah. Terserah Mahesa mau berpikir bagaimana, yang jelas dia ingin membawa anaknya bekerja karena jadwal kerjanya yang pasti akan sibuk sejak membuka toko baru.
"Tapi jangan menyentuh apa-apa yang berhubungan dengan pembelajaran Rifky."
"Jawabanku sama dengan sebelumnya. Aku bisa dan boleh melakukan apa saja untuk Rifky. Lagi pula, aku bisa mengajarinya sendiri. Hanya membaca, 'kan?"
Wajah Mahesa memerah mendengar ucapan Prasasti. "Kau ...." Kedua tangannya mengepal erat.
Prasasti yakin kalau sebentar lagi gelas di tangan Mahesa bisa pecah andai suaminya tak bisa menahan diri. "Aku adalah istri yang baru saja mendapat kelebihan jatah bulanan serta kartu kredit dari suaminya. Aku berniat untuk bersenang-senang lebih sering dan tentu saja mengajak anakku. Mas Hesa bekerja untuk kami, 'kan?" Tak peduli pada ekspresi suaminya, Prasasti justru berbicara dengan santai dan tenang.
"Jangan berbuat macam-macam dengan pendidikan Rifky." Nada peringatan dalam suara Mahesa bisa ditangkap telinga Prasasti dengan jelas. "Kau tidak ada hak apa pun untuk menentukan apa yang boleh dan tidak baginya."
"Siapa yang melarangku?" tantang Prasasti.
"Kau bukan ibunya!" geram Mahesa.
"Kau juga bukan bapaknya!" balas Prasasti dengan nada yang sama. "Kita sama-sama bukan orang tua Rifky.
"Prasasti, kau ...."
"Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Yang jelas, aku lebih berhak menentukan apa yang baik dan tidak baik untuk Rifky. Aku lebih tahu bagaimana kesehariannya dan nggak hanya menuntutnya ini dan itu. Lalu ... tahu apa kau tentang anak itu selain dia harus ikut ini dan itu sesuai maumu?"
Rasanya, kejengkelan Prasasti sudah naik sampai ubun-ubun. Mahesa memaksakan banyak hal untuk anaknya, tetapi terus menyibukkan diri dengan pekerjaan. Memangnya hanya dia yang bekerja sementara orang lain tidak? Kalau memang mau bertengkar, Prasasti sudah siap. Dengan kata "kau" yang diucapkannya, mestinya Mahesa tahu kalau dirinya juga sedang marah.
"Dasar kau istri tidak ber—"
"Tidak berguna?" Tidak ada sungkan lagi, Prasasti menyela ucapan Mahesa. "Kalau aku memang seperti itu, lalu ... kau sebut dirimu apa?"
Lelah hayati gelut mulu, Pak
🤐🤐
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top