🍻 22. Tak Enak Hati 🍻
Sore, temans. Aku update awal ah, biar yang baca seneng🤩
Rupanya si tukang selingkuh itu sudah pulang, batin Prasasti. Akan kita lihat, Mas, siapa yang lebih mahir memutar balikkan fakta. Aku diam bukan berarti menerima semua perlakuanmu, tetapi aku menghargai Ayah dan keluarga yang baru kumiliki.
Prasasti membuka pintu rumah pada pukul delapan malam. Dia masuk rumah setelah meletakkan alas kakinya di rak. Makan malam sedang berlangsung, suara celotehan Rifky sesekali terdengar. Sasmito menimpali seperlunya dan sama sekali belum terdengar suara Mahesa.
Prasasti meletakkan tas di sofa ruang tengah. Dia memilih langsung ke ruang makan untuk menyapa keluarganya. Keluarga ... sebuah kata yang manis dan menjanjikan keakraban, begitulah yang dipikirkannya. Namun, apa yang dia ketahui sore ini sepertinya membuat dirinya harus mengubah pikiran itu.
"Sas. Sibuk kamu?" sapa Sasmito begitu melihat kehadiran Prasasti. "Ayah hampir selesai makan malam dan kamu baru datang. Cepat duduk dan ambil makan malammu! Suamimu juga baru sampai dan belum makan."
"Jadi perempuan itu yang bertanggung jawab, Sas!" sahut Mahesa. "Apa pantas suamimu pulang sedangkan kamu tidak ada di rumah?"
"Sekali-kali aku menikmati waktu," jawab Prasasti kalem, tetapi matanya melirik Mahesa penuh arti. "Biar seperti gadis. Lagi pula, ada Simbok yang bisa mengurus rumah, 'kan? Nggak sulit kalau cuma makan malam."
"Kau—"
"Wah, cara yang bagus untuk menikmati hari," sela Sasmito memutus ucapan Mahesa. "Bagus begitu, Sas. Sekali-kali bermainlah. Nggak masalah itu, jangan jadikan anak dan keluarga sebagai alasan untuk menenggelamkan diri dalam kegiatan rumah tangga hingga membuatmu bosan."
Prasasti mengambil piring kecil, mengisinya dengan buah potong. Pepaya, buah naga, semangka, dan apel. Masing-masing tiga potong. "Iya, Yah. Nanti kapan-kapan Rifky mau Sasti ajak."
"Ke Singapura gitu, Sas. Nanti Ayah uruskan paspor untuk Rifky."
"Wah, boleh, Yah?" tanya Sasti antusias.
"Boleh. Memangnya kamu kira Ayah ini mertua yang bagaimana? Bebas, Sas ... sama seperti orang tuamu sendiri."
"Hmm ... teruskan," kata Mahesa memperingatkan. "Lupa kalau sudah menikah."
"Iri dia, Sas. Mungkin mau ke Singapura juga." Sasmito bangkit dan membawa Rifky bersamanya. "Teruskan makan kalian, Ayah mau ke minimarket sebentar."
Prasasti menikmati buah potongnya sepeninggal sang mertua dan anaknya. Tidak ada keinginan untuk bercakap-cakap dengan Mahesa. Dia tidak peduli pada Mahesa yang menatapnya tanpa kata.
"Dienak-enakin makan. Kamu nggak lihat suamimu belum makan?"
"Oh, Mas Hesa mau makan? Bilang saja, Mas. Sasti nggak bisa baca pikiran, jadi kalau perlu apa-apa harus ngomong. Lagian, lembur zaman sekarang itu mestinya dapat makan."
"Apa maksudmu?"
Prasasti mengambilkan nasi untuk Mahesa dalam kebungkaman. Memangnya siapa yang mau dibodohi? Tadi sore, sama seperti empat hari belakangan, dia makan di kafe yang berlokasi di depan kantor Mahesa. Sengaja, untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Setiap hari selama makan di sana, matanya selalu melihat mobil Mahesa keluar pada pukul empat lewat lima. Itu artinya tidak ada lembur seperti yang selalu dikatakannya.
Selama itu pula, Prasasti langsung pulang setelah mobil Mahesa berlalu. Dia berpikir untuk tiba di rumah secepatnya karena kebetulan sang suami pulang sore. Namun, kenyataan tidak sejalan dengan pikirannya. Suaminya tidak pernah pulang sebelum jam makan malam. Sambil lalu dia pura-pura bertanya dan dijawab Mahesa dengan kata yang sama, lembur.
Semula, Prasasti mempunyai pikiran lain. Jika tidak langsung pulang, pasti ada tempat yang dituju Mahesa. Begitu mobil suaminya keluar dari gerbang, Prasasti memesan taksi online sambil mengirim pesan pada Shery supaya menunggu barang datang satu jam lagi.
Mahesa pasti ke rumah perempuan itu, pikir Prasasti. Tanpa dibuntuti pun, dia tahu kalau suaminya akan pergi ke sana. Yang perlu dilakukannya hanya menunggu taksinya dan membayar makanannya yang hampir tak tersentuh. Memastikan dugaannya adalah satu-satunya cara yang bisa diambil sebelum memikirkan langkah selanjutnya.
Ketika taksi online yang ditunggunya tiba dan berjalan lambat karena macet, Prasasti tetap bersikap tenang. Rumah perempuan simpanan itu tidak pindah dan kalau boleh memilih ... dia ingin dugaannya salah. Tak ada satu perempuan pun ingin suaminya pulang ke rumah yang salah.
Saat taksi mendekati pintu masuk perumahan, jantung Prasasti berdebar lebih cepat. Sekuriti sempat menghentikan taksi dan menanyakan tujuan serta alamat yang dituju. Enteng Prasasti mengatakan alamat yang sudah dihafal di luar kepala.
Rasanya seperti ditampar ketika sekuriti mengatakan rumah Pak Mahesa. Hanya perlu lurus, lalu belok kiri di perempatan kedua, dan rumah itu ada di sebelah kanan. Taksi kembali melaju dan tak perlu mencari nomor rumah tersebut karena mobil suaminya ada di depan rumah yang penuh bunga bakung.
Prasasti tersenyum miris. Rumah itu sangat khas Mahesa. Kalau di rumahnya hanya ada serumpun bunga bakung, di sini bisa dikatakan taman bakung. Sasmito pernah mengatakan kalau putranya menanam sendiri bunga itu dan merawatnya. Dia juga tahu kalau suaminya menyempatkan diri merawat bunga itu di antara kesibukannya bekerja.
Prasasti meminta pada pengemudi taksi untuk berhenti tak jauh dari mobil Mahesa. Dimintanya pada si sopir untuk berputar supaya bisa lekas pergi dari tempat itu setelah keperluannya selesai. Dia turun sementara si sopir melakukan keinginannya.
Prasasti mematung sejenak. Mau masuk, tetapi bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Tidak masuk, tetapi dia sudah tiba di sini. Kakinya terayun hendak mendatangi rumah itu, akal sehatnya menuntut keadilan. Tidak, dirinya tidak akan mengkonfrontasi Mahesa sekarang sebelum mengumpulkan bukti yang akan menguatkan tuduhan. Pikiran itu datang secara tiba-tiba ketika tangannya hendak mengetuk pintu.
Apa yang dilakukan Prasasti kemudian adalah memotret rumah dari beberapa sudut, termasuk mobil suaminya. Sepatu Mahesa yang ada di teras juga tidak luput dari bidikan kameranya. Untuk sementara, cukuplah gambar itu dia simpan untuk digunakan suatu saat. Selesai dengan kegiatannya, Prasasti kembali naik taksi. Mengatakan alamat pada sopir supaya segera diantar ke tokonya.
Tidak ada gunanya pulang dengan suasana hati yang buruk. Sesampainya di toko, Shery menanyakan kehadirannya padahal sudah mengirim pesan supaya menangani barang datang. Prasasti hanya menjawab kalau ternyata punya waktu setelah menyelesaikan sebuah urusan.
"Aku menunggu jawabanmu, Sas!"
"Ya lembur dapat makan, Mas, masa kamu tidak?" Prasasti menatap Mahesa dengan berani. "Karyawanku saja kuberi makan kalau kuminta lembur."
"Kamu mempermasalahkan lagi soal jam kerjaku? Tidak cukupkah aku sudah berusaha meluangkan waktu untukmu? Untuk keluarga kita?"
"Meluangkan waktu?" Prasasti melahap potongan terakhir buah di piringnya dan menelannya dengan bantuan segelas air. "Meluangkan waktu untuknya. Kalau untukku, sih, jelas tidak."
"Apa maksudmu?" tanya Mahesa gusar. Dia bahkan mendorong piringnya menjauh. Bahkan minat makannya pun seolah menghilang.
Pak Mahesa marai ngamuk 🤐
Wes lah, kasih saya banyak komen ya. Biar nggak lupa update🤭
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top