🍻 20. Suaminya, 'kah? 🍻
Malam, temans. Ada yang nanya boleh minta dobel up?
Boleh. Ini langsung dikasih😁😁
"Wih, anaknya Pak Mahesa memang ganteng sekali," puji Shery ketika muncul di ruang kerja Prasasti dan melihat Rifky yang duduk tenang sambil memutar rubik berbentuk bola.
Prasasti hanya sekilas melirik pada Shery ketika perempuan itu meletakkan tumpukan kertas di depannya. Dibiarkannya Shery mendekati Rifky dan mencoba merebut mainan dari tangan si anak.
"Kalau pinjam bilang, tidak boleh langsung ambil," kata Rifky menjauhkan rubik dari jangkauan Shery.
"Anaknya Pak Mahesa ternyata pintar juga, Mbak Sasti!"
"Anaknya Mama Sasti juga," sahut Rifky.
Prasasti menahan senyum mendengar ucapan Rifky. Anak itu benar-benar membanggakan. Selain mengikuti apa yang diajarkan, Rifky juga selalu meralat apabila ada yang mengatakan bahwa dia anak Mahesa. Namanya juga selalu dibawa-bawa dan diucapkan dengan nada bangga.
"Mau permen tidak, anak ganteng?"
Rifky menggeleng. "Tidak, gigi bolong kata Papa," sahutnya.
"Bohong itu. Tante Shery selalu makan permen dan giginya enggak bolong."
"Jangan racuni anakku, Sher! Papanya bisa ribut kalau tiba-tiba dia minta permen."
Mendengar kalimat Prasasti, Shery mencium pipi Rifky dan meninggalkannya. Perempuan itu duduk di depan Prasasti seraya membuka ponselnya. Setelah menemukan gambar yang dicarinya, diberikannya ponsel pada Prasasti.
"Model baru, Mbak. Sepertinya, sih, bakal ngetren."
"Sudah dipesan," kata Prasasti setelah melihat ponsel Shery.
"Waah, kita duluan jual barang itu. Mbak Sasti jeli baca pasar."
"Hanya karena kita punya pemasok yang update-nya nggak tanggung-tanggung."
"Oh iya, Mbak, Pak Mahesa jadi jemput? Waktu makan siang tadi Rifky bilang katanya mau jalan-jalan."
Prasasti melirik Shery sekilas. "Kamu itu seperti nggak tau saja kesibukannya Mas Hesa."
"Duh, Mbak, tak pecel kalau suamiku suka semaunya macam Pak Mahesa itu."
"Pecel saja! Nanti kubuatkan rempeyek."
"Ya ampun, pantesan Pak Mahesa itu kalau ngomong seperlunya. La istrinya saja lemes begini mulutnya."
Prasasti mengangkat sebelah alis. Apa yang dikatakan Shery? Mungkin benar kalau jodoh itu saling melengkapi. Jika Mahesa pendiam maka dirinyalah yang melengkapi dengan banyak bicara.
Alis Prasasti bertaut mengingat sesuatu. Mahesa tidak pendiam seperti sebelumnya. Akhir-akhir ini, suaminya sedikit lebih ramah. Pria itu juga sering pulang lebih awal lalu berangkat lembur setelah sore hari dan pulang lagi sebelum jam delapan. Masih sempat main dengan Rifky sebelum anak mereka tidur.
Prasasti juga ingat kalau beberapa kali Mahesa berangkat lembur tepat dengan selesainya jam les membaca Rifky. Dengan alasan naik taksi yang ada di depan komplek lebih cepat, suaminya juga menawarkan pada guru les putranya untuk bareng. Tawaran yang tentu saja diterima dengan alasan efisiensi waktu. Tak masalah bagi Prasasti, tetapi Mahesa tidak seramah itu sebelumnya.
"Nggak usah ngelamun, sih, Mbak!" Shery mencolek tangan Prasasti di meja. "Si ganteng sudah nungguin, katanya mau makan ayam goreng?"
"Iya. Kamu mau ikut?"
"Nggak, Mbak. Aku mau live jam enam nanti. Dagangan lagi banyak."
"Aku lupa kalau kita ada jadwal live malam sekarang. Ya sudah, semangat kalau gitu."
Prasasti menyimpan data-data pekerjaannya sebelum mematikan komputer. Setelahnya, dimasukkannya beberapa barang pribadinya ke tas. Dia bangkit setelah mengenakan kembali sepatunya lalu beranjak ke tempat duduk Rifky. Penuh semangat, bocah itu meletakkan rubiknya dan menyambut tangan Prasasti.
***
Prasasti senang menggandeng Rifky yang berjalan sambil sesekali melompat girang ketika permintaannya disetujui. Anak itu tidak pernah meminta mainan karena Mahesa sudah membeli hampir semua yang dilihat di pusat perbelanjaan ini. Bukan karena si anak memiliki segalanya, tetapi karena Prasasti mengajaknya berjalan melewati tempat yang tidak menjual mainan.
Seringnya, Prasasti melewati gerai-gerai makanan yang kemudian membuat Rifky minta beberapa jajanan. Biasanya permintaan Rifky tidak banyak, hanya dua atau tiga macam yang kemudian dibeli sekalian untuk dibawa pulang. Rifky bahkan mengingatkan kalau mamanya harus membeli untuk kakek dan papanya serta Simbok yang sering membuatkannya makan.
Ketika makan berdua di restoran cepat saji, selain minta makanan untuk dibawa pulang, Rifky juga memilih sendiri menunya. Hari ini dia meminta burger dan dituruti oleh Prasasti. Satu burger, kentang goreng dan air mineral. Prasasti jarang membeli minuman berasa dan mengatakan kalau susu masih lebih baik.
Jangan berpikir kalau Rifky begitu menurut. Anak itu menurut karena sudah pernah mencoba minuman itu dan kemudian batuk. Sudah minum obat dan terus diomeli papanya sudah pasti membuatnya kapok. Belum lagi obatnya yang pahit, hal itu membuatnya menurut pada apa saja yang tidak diperkenankan oleh Prasasti.
"Mama, boleh kentang?"
"Rifky mau kentang goreng?" tanya Prasasti seraya membersihkan mulut Rifky dengan selembar tisu.
"Mau, Mama. Boleh?"
"Boleh." Prasasti mendorong kentang gorengnya dan membiarkan Rifky memakannya.
Rifky senang dan mulai menikmati kentang goreng. Tidak banyak, tetapi cukup untuk membuat rasa bahagia itu muncul di wajahnya. Sambil menunggu anaknya selesai makan, Prasasti melayangkan pandangannya keluar. Semua toko ramai, tak heran karena ini adalah akhir pekan.
Tatapan Prasasti tertuju pada toko sepatu. Meskipun ramai, dia bisa mengenali kalau Mahesa ada di sana. Apa yang dilakukan suaminya padahal beberapa jam lalu mengatakan tidak jadi keluar bersama karena pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan? Matanya terus menatap ke arah yang sama, memperhatikan interaksi suaminya dan perempuan yang sepertinya dia kenal jika dilihat dari bentuk fisiknya. Perempuan itu masih terlihat dari belakang dan Prasasti jadi penasaran, benarkah siapa yang dipikirkannya?
Alis Prasasti sempat mengerut, otaknya berpikir keras, dan mulai mempertanyakan sebanyak apa waktu yang dimiliki Mahesa. Ketika suaminya keluar dari toko itu dengan tas belanja di tangan kanan sementara membiarkan tangan kirinya dipeluk perempuan itu.
Tidak mungkin ada interaksi semanis itu jika tidak saling mengenal. Tidak mungkin ada senyum yang begitu tulus jika tanpa rasa. Tidak mungkin teman biasa jika bisa melepaskan pegangan tangan dan kemudian merangkulnya begitu mesra ketika melewati keramaian.
Ada sesuatu yang memukul hati Prasasti dengan kencang. Setahun lebih pernikahan mereka dan Mahesa tidak pernah menunjukkan semua sikap manis itu padanya. Mahesa menemaninya belanja, itu pun atas keinginan sang ayah dan masih mengomel di sepanjang perjalanan serta memintanya untuk tidak berlama-lama. Jangankan membeli sesuatu untuk kepentingan pribadinya, untuk dirinya sendiri saja Mahesa tidak pernah berpikir.
Apa yang dilihatnya sore ini sudah membuka matanya. Pernikahan mereka tidak pernah dijalani dengan ikhlas oleh Mahesa. Dirinya, yang menerima dan belajar untuk bisa mencintai suaminya ternyata tetaplah orang luar. Dia merasa seperti seorang tamu yang tak pernah dipersilakan masuk oleh tuan rumahnya.
Prasasti merasa dinikahi untuk menenangkan ayahnya, dimanfaatkan untuk mengurus seluruh tanggung jawab atas nama bakti seorang anak kepada orang tuanya. Sementara Mahesa? Pria itu tetap merasa seperti pria lajang dan bersenang-senang tanpa harus memikirkan tanggung jawab yang sebenarnya sudah dimilikinya.
"Mama, habis. Ayo pulang!" sentuhan lembut Rifky di tangannya membuat Prasasti menarik napas.
Geram dan marah, itu sudah pasti sedang berkecamuk di hati Prasasti. Namun, semua harus disembunyikannya. Pandangannya masih sempat melihat Mahesa masuk ke restoran cepat saji sebelum bangkit dan membawa putranya pulang.
Hayuklah langsung follow othor-nya. Biar makin rajin update-nya.
Tapi maaf iaa, saia nggak bisa balas komen sekarang. Ada kerjaan ney🤭🤭
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top