🍻 2. Sisi Lain 🍻

Malem, temannya akoeh😁. Aku tuh lupa kalo punya cerita baru. Jadine ku enak2 in santuy🤭

"Ini hari libur. Mestinya kamu menghabiskan waktu di sini."

Mahesa sakit kepala secara tiba-tiba. Rasanya seperti mau pecah. Prasasti menelepon dan memintanya pulang. Di sini, dia ditahan dengan alasan kebiasaan menghabiskan akhir pekan bersama.

Sebenarnya tak selalu bersama, tetapi setidaknya dua kali sebulan karena mustahil untuk berada di sini setiap libur. Mahesa harus membagi waktunya dan tidak bisa memberikan lebih lagi di antara jadwal pekerjaannya yang sudah padat. Dirinya sudah berada di tempat ini lebih dari yang semestinya.

"Mengertilah kalau sekali waktu hal ini pasti terjadi." Mahesa mengusap kepalanya dengan handuk, mengeringkan rambutnya yang sedikit lembab setelah mandi.

"Apa yang tidak kumengerti, Hes? Waktumu, semua kesibukanmu, dan pernikahanmu. Memangnya aku kurang pengertian seperti apa? Kamu bahkan dengan bahagia melewatkan hari dengan Prasasti."

Mahesa tidak menanggapi kalimat yang didengarnya. Setelah mengganti pakaian, dia meninggalkan kamar menuju meja makan dan mengambil piring serta makanan untuk dirinya. Tak seperti di rumah, di mana Prasasti melayaninya dengan baik, di sini, Mahesa mengambil sendiri makanannya tanpa banyak bicara.

Tidak seperti biasanya, makan malam kali ini terasa hambar padahal menunya adalah makanan kesukaannya. Gudeg dan kerupuk udang, biasanya tak pernah gagal membangkitkan selera makannya. Semua gara-gara telepon Prasasti yang menelepon dan menggunakan ayahnya sebagai alasan. Entah ini hari apa, yang jelas hari ini benar-benar buruk. Entah mengapa, panggilan yang memintanya pulang itu seperti sesuatu yang tidak bisa ditolak.

Ada banyak pertanyaan yang muncul di pikiran Mahesa. Mengapa ayahnya mendadak jadi tukang paksa setelah setahun tenang sejak pernikahannya dengan Prasasti. Yang mengherankan, istrinya juga mulai keras kepala. Apa jadinya jika perempuan yang biasanya menurut itu jadi membangkang?

Setahun memang singkat, tetapi kehadiran Prasasti mampu membuat senyum ayahnya terbit lagi sejak kepergian ibunya beberapa tahun lalu akibat gagal jantung. Hal yang terus membuat Mahesa merasa bersalah karena belum membahagiakan wanita yang telah melahirkannya. Cukuplah sekarang dia berbakti dengan adanya sang istri yang dipilihkan sang ayah untuknya. Minimal kebahagiaan itu telah dia persembahkan.

"Kenapa kamu jadi terintimidasi karena telepon Prasasti?"

Mahesa melirik ke arah datangnya suara. Sesosok perempuan dengan baju rumahan, berkulit kuning langsat, wajah berbentuk hati, dan rambut bergelombang seleher dipotong layer. Matanya bulat dengan alis tipis rapi, pipi, dan hidungnya sesuai dengan bibir penuh yang hari ini cemberut tidak senang.

"Aku tidak begini setiap hari. Tak perlu dipermasalahkan." Suara Mahesa terdengar lembut meski kejengkelan masih melingkupi hatinya.

"Memang tidak. Tapi, sesuatu yang sudah dimulai biasanya bisa jadi berkepanjangan."

Mahesa kembali melirik perempuan yang terus mengajukan keberatannya. Matanya tidak ingin melihat wajah cantik itu sedih, tetapi tidak ada hal lain yang bisa dilakukan. Dia tidak mungkin menolak permintaan ayahnya karena tahu pasti apa yang menunggunya jika tetap ada di rumah ini.

Pekerjaan memang alasan yang digunakan Mahesa supaya bisa keluar dari rumah orang tuanya. Alasan wajar yang pasti dimengerti dengan baik. Siapa yang akan mempermasalahkan pria dengan kesibukan seperti dirinya? Bukankah kenyamanan finansial itu telah dia persembahkan untuk ayah dan istrinya di rumah?

"Belum tentu begitu. Tak perlu overthinking."

"Enteng banget ngomongnya, Hes. Hanya sekali ini, ya. Aku nggak mau kejadian yang sama terulang di hari berikutnya. Ingat kejadian bulan lalu ketika Rifky sakit? Kamu juga pergi begitu saja padahal saat itu kita sedang merayakan hari ulang tahunku."

Mahesa menarik napas panjang. "Apa harus kubiarkan Rifky mencariku sementara panasnya tak kunjung turun? Bocah itu bahkan sudah masuk rumah sakit dan tak kunjung bisa ditenangkan." Mahesa memang tidak pernah bisa membiarkan Rifky sakit. Mau seperti apa kesibukannya, anak itu tetaplah prioritas.

"Bukan gitu, Hes. Tapi, 'kan, ada Prasasti bersamanya."

"Jadi aku harus bagaimana?" Ada nada tidak sabar dalam suara Mahesa. Tatapannya yang kini berubah tajam menatap lurus pada perempuan yang berusaha memasukkan nasi ke mulut sedangkan Mahesa meletakkan sendoknya begitu saja. Selera makannya benar-benar hilang.

"Aku nggak bermaksud buruk, Hes. Aku hanya merasa bahwa kita perlu melewatkan waktu berdua tanpa diganggu."

Mahesa mengerti bahwa menikmati waktu berdua bisa mempertahankan kelangsungan sebuah hubungan. Namun, ketika sebuah tanggung jawab lain menanti, dia juga tidak bisa mengelak. Ada prioritas-prioritas yang memang harus diubah sesuai dengan situasi dan kondisi.

Mahesa bangkit dan melangkah menuju ruang tengah. Diraihnya tas yang biasa dibawa kerja, lalu melangkah keluar. Dia masih sempat menoleh sebelum melewati ambang pintu.

"Tak usah dipermasalahkan. Selama kehidupan kita aman dan baik-baik saja maka itu sudah cukup." Mahesa melanjutkan langkah menuju mobil.

"Sampai kapan kita seperti ini, Hes? Apa aku harus terus mengalah pada Prasasti?"

Tangan Mahesa yang sudah membuka pintu mobil menggantung di udara. "Hidupmu lebih nyaman daripada Prasasti. Belanjamu pun lebih banyak dari dia." Tak ingin berlama-lama meladeni ocehan perempuan yang masih terus merajuk itu, Mahesa masuk mobil.

"Tapi waktumu lebih banyak untuknya!"

"Tak perlu berteriak." Mahesa melambaikan sebelah tangan yang terbukti efektif membuat suasana hening. "Nyatanya, sebagian besar waktuku kuhabiskan denganmu."

"Hes ...."

"Selalu ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu. Ingatlah itu! Kalau kau tak terima dan terus menganggap bahwa Prasasti lebih beruntung .... " Alis Mahesa berkerut sesaat. "Maka terserah padamu saja. Yang penting aku sudah berusaha memberikan yang terbaik untukmu."

"Aku tidak suka kamu pergi dengan cara seperti ini, Mahesa!"

Pintu mobil yang didorong dengan keras membuat rahang Mahesa mengeras. Kalaupun ingin bertengkar, dia akan ladeni, tetapi tidak hari ini. Itu bisa menunggu sampai ayahnya tenang. Perempuan satu ini benar-benar tidak tahu bagaimana harus mencari waktu untuk berbicara dengan baik.

Meskipun cantik, perempuan yang bersamanya ini benar-benar bertolak belakang dengan Prasasti. Prasasti menerima segala sesuatunya dengan baik walau pernikahan mereka berawal dari sebuah perjodohan. Tak sedikit pun Mahesa mendapatkan perilaku buruk. Tak pernah dilihatnya ekspresi tak menyenangkan di wajah cantik Prasasti. Semua berjalan normal dan baik sebagaimana mestinya pernikahan bahagia.

Meski banyak waktu yang dihabiskannya bersama perempuan ini, Mahesa merasa ada bom yang sewaktu-waktu bisa meledak dan meluluh-lantakkan hidupnya. Perempuan yang bersamanya ini memiliki watak yang keras. Setiap kemauannya harus dituruti atau dia akan marah selama berhari-hari.

"Dengan cara apa aku membuatmu mengerti?" Mahesa mencoba berkompromi.

"Setidaknya tetaplah di sini seperti biasanya."

Sebuah keinginan yang tak bisa dikabulkan Mahesa. "Jangan mulai aneh!" Mahesa menyalakan mobilnya. "Sudah kuberikan segalanya untukmu lebih dari Prasasti. Selama ini semuanya baik-baik saja dan biarkan semuanya tetap begitu. Jika di kepalamu masih terpikir untuk terus berkonfrontasi denganku maka ingatlah posisimu. Jika ayahku tahu keberadaanmu, kau tetaplah bukan siapa-siapa." Kejengkelan yang memuncak membuat Mahesa mengeluarkan kalimat yang jelas terkesan kasar dan dia harap perempuan itu mengerti.

Mahesa mulai memundurkan mobil. Tak peduli pada perempuan yang menatapnya dengan marah seraya menghentakkan kaki dua kali sebelum melangkah ke pagar rumah. Senyum Mahesa mengembang, mencoba untuk pergi dan meninggalkan rasa bahagia.

"Masuklah! Makan dan senangkan dirimu. Aku akan kembali segera begitu bisa."

"Jangan pergi, Mahesa! Mahesa ...."

Mahesa menginjak pedal gas dan mengemudi keluar dari komplek perumahan. Dia tahu, akan susah menenangkan emosi si cantik di belakang sana jika dia turun dan menunggunya reda. Biarkan saja. Saat ini, ayahnya lebih penting untuk ditenangkan daripada siapa pun.

Eaakk, pasti udah pada ngamuk ney😁. Btw, mulai minggu depan, update ini tiap Senin, yaa. Hyuk lah, komenin😷😷

Love, Rain❤



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top