🍻 19. Resah 🍻
Malem, temans.
Cieee ada yang nagih Mahesa update. Makasih lo ya sudah diingetin. Lupa akutuu kadang2. Hayuukk gas, rebo-nya dikunyah meski jengkel sama Hesa😁
Suasana hati Prasasti sangat tidak baik beberapa hari terakhir ini. Dalam keadaan begitu, dia tetap memaksakan diri untuk bekerja hingga membuat kesalahan-kesalahan. Meskipun tidak fatal tetap membuatnya merasa tidak enak. Dia mengirim nota tagihan tidak sesuai dengan jumlah dagangan yang dibawa pelanggannya.
Kesalahan yang sama terjadi sampai tiga kali dan berakhir dengan kekesalan hatinya sendiri. Dia yang sempat uring-uringan mendapat pertanyaan dari Shery. Apa yang dipikirkannya sampai mengganggu pekerjaannya. Prasasti tidak bisa menceritakan apa-apa, tetapi dia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Toko tetap berjalan tanpanya karena adanya karyawan yang bisa dipercaya dan rasa syukurnya terpanjat untuk hal itu.
Pagi ini, Prasasti mengantar Rifky berangkat sekolah seperti biasanya. Dia tidak pergi ke toko setelah anaknya masuk. Memperhatikan anak-anak bermain sebelum jam belajar dimulai terasa begitu menyenangkan. Tanpa sadar senyumnya mengembang dan saat itu pula, Prasasti memutuskan untuk menunggu sampai putranya pulang.
Melihat Rifky begitu ceria merupakan kesenangan tersendiri bagi Prasasti. Suasana hatinya yang tidak menentu akhir-akhir ini perlahan membaik. Dia berjalan ke kafe di samping sekolah dan memesan minumannya.
Duduk ditemani segelas frappuccino, sepotong cake dengan krim cokelat, dan bebas dari pekerjaan benar-benar membuatnya merasa santai. Matanya masih terus menatap ke sekolah sampai semua masuk kelas. Perasaannya menghangat, seolah mendapat aliran kebahagiaan dari si anak yang masih sempat keluar kelas lagi dan menggandeng tangan gurunya .
Prasasti memotong kuenya lalu memakannya. Perpaduan antara lembut, manis, dan sedikit pahit dari cokelat meleleh di mulutnya. Rasa yang benar-benar enak itu membuat Prasasti memotong lagi dan terus menikmati kuenya sampai habis.
"Seenak itu sampai tidak bisa berhenti makan?"
Prasasti mendongak, mendapati Pria berkacamata hitam, mengenakan kaos putih dan jins serta sandal santai yang dia tahu harganya lumayan.
"Mas Bumi. Baru sampai?" Prasasti meletakkan garpunya, mempersilakan Bumi duduk dengan isyarat tangan.
"Ya. Si princess kesiangan, mana rewel menawar sarapan."
"Begitulah. Namanya juga anak-anak."
"Anakmu juga begitu?"
"Sama saja. Pernah sudah siap sekolah, malah masuk kamar dan bermain."
Bumi tertawa. Tawa lepas yang dengan mudahnya keluar tanpa beban. Dia jadi ingat Mahesa, kapan suaminya pernah tertawa selebar itu? Seingatnya, dia belum pernah melihat Mahesa tertawa lebar. Jangankan tertawa, senyumnya saja mahal.
Prasasti tidak bermaksud membandingkan. Mahesa adalah Mahesa, pria yang sudah menikahinya dan meskipun tidak terlalu ramah, Prasasti tetap menghargainya. Suaminya bukanlah pria tidak baik. Hubungan mereka baik walau ada ketegangan di dalamnya.
Mahesa bukanlah pria jahat, Prasasti tahu itu. Suaminya hanya minta untuk lebih dimengerti. Ketika hal itu didapat, perhatiannya pun muncul. Memang tidak romantis, tetapi Prasasti menyukainya. Mahesa bukan tipe pria perayu, semua ditunjukkan lewat sikap. Begitu dia menilai suaminya.
"Ngelamunin apa, sih?" Suara Bumi memutus keterdiaman Prasasti.
"Bukan melamun," jawab Prasasti, "hanya sedang mengingat ulah putraku yang bagi orang lain menjengkelkan, tapi bagiku menggemaskan."
"Kamu pernah memarahi anakmu?"
Prasasti menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Mengapa harus marah ketika anak hanya tahu apa yang harus dilakukannya. Mana dia mengerti sebab akibat?"
"Orang tua cenderung tidak sabar menghadapi yang begitu, 'kan?"
"Memang, tapi anak tahu apa kalau kita terus marah-marah? Paling dia hanya nangis."
"Jadi, bagaimana kamu mengatasi anak yang selalu ingin tahu atau bermain kelewat batas?"
Prasasti meraih frappuccino dan meneguknya sedikit. "Kubiarkan saja sambil terus diawasi. Ada jadwal yang memang dibuat khusus supaya tidak terlalu lama bermain. Kurasa sama saja dengan yang Mas Bumi lakukan pada si princess, 'kan?"
"Ya. Apa saja kubiarkan asal dalam pengawasan. Seusia itu tahu apa kalau dilarang-larang. Satu yang tidak kuberikan ... ponsel. Benda itu banyak tidak bagusnya untuk anak-anak. Aku lebih suka dia bermain boneka, sepeda, dan berlarian di halaman daripada asyik dengan ponsel."
Prasasti tertawa kecil, menyetujui ucapan Bumi. Seandainya berbicara dengan Mahesa bisa semudah ini. Tentu banyak hal yang bisa diperbincangkan mengenai pengasuhan dan rencana untuk Rifky. Namun, kembali pada kenyataan bahwa Mahesa adalah Mahesa yang karakternya memang sudah begitu. Mungkin karena tidak memiliki saudara sehingga suaminya itu menjadi tak banyak bicara.
Prasasti dan Bumi memperbincangkan banyak hal sambil menunggu jam sekolah anak-anak selesai. Ada begitu banyak hal menarik yang baru kali ini bisa Prasasti bicarakan. Dia menanggapi topik dengan santai, begitu pun Bumi. Pada akhir pembicaraan, Prasasti menyadari bahwa membahas dunia anak benar-benar menyenangkan.
***
Prasasti selalu mendampingi anaknya les membaca. Rifky yang pada dasarnya memang pintar sudah mulai meminta buku baru. Anak itu tidak lagi minta dibacakan cerita, tetapi memilih untuk duduk dan membacanya sendiri sampai selesai.
Sore ini, Rifky membawa buku barunya pada Dewi. Dengan telaten gurunya itu menyimak bacaannya. Beberapa kali dibenarkan, anaknya hanya tersenyum lebar memamerkan deretan giginya hingga wajahnya terlihat menggemaskan. Prasasti hanya mengamati semua itu dalam diam.
Hampir jam lima sore ketika hujan deras turun tiba-tiba. Dewi menunda kepulangannya karena kendaraan online yang dipesannya tidak ada yang dekat. Butuh paling tidak tiga puluh menit untuk sampai ke rumah ini. Prasasti mengatakan tidak apa-apa menunggu karena keadaan itu daripada harus menunggu di jalan. Dia juga mengatakan pada Simbok supaya menambahkan minum serta memberikan camilan.
"Mbak Sasti, dipanggil Mas Hesa," kata Simbok ketika mengantarkan minum dan kue untuk Dewi.
Tanpa banyak bicara, Prasasti bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Dia terkejut ketika sampai di kamar dan melihat suaminya sudah rapi. Tak hanya rapi, pria itu juga sudah mengenakan sepatu. Ini sore, ke mana Mahesa mau pergi dengan penampilan serapi itu?
"Mau ke mana, Mas?" Prasasti tak bisa menutupi rasa ingin tahunya.
"Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawab Mahesa seraya memasukkan beberapa berkas ke tas kerja.
"Lembur?"
"Hmm. Aku hanya sebentar, tak sampai jam sembilan. Jangan tidurkan Rifky dulu!"
Siapa yang percaya ucapan Mahesa ketika mengatakan sebentar? Sebentarnya Mahesa bisa sampai tengah malam. Baiklah, suaminya memang mengatakan kalau tidak sampai jam sembilan, tetapi Prasasti juga belajar dari pengalaman. Mahesa selalu larut dalam pekerjaan begitu menyentuh file atau berbicara dengan klien-nya.
"Sas?"
"Iya, Mas."
"Mau dibawakan apa?"
Tumben Mahesa menanyakan keinginannya. Yang ada semua toko sudah tutup jika sang suami keluar kantor menjelang tengah malam. Namun, Prasasti berniat menghargai usaha Mahesa.
"Bawakan kue cubit saja," pinta Prasasti. Sengaja tak mau menyulitkan Mahesa, karena kue itu ada jika sang suami benar-benar pulang sebelum pukul sembilan sesuai janjinya. "Kenapa Mas Hesa panggil Sasti? Cari sesuatu dan nggak ketemu?"
"Tidak." Mahesa menggeleng. "Hanya mau ngomong tadi itu."
Prasasti mengikuti Mahesa keluar kamar ke depan. Di ruang tamu, Dewi sedang meneguk teh hangatnya. Rifky duduk di kursi yang biasa digunakan Prasasti sambil membaca buku ceritanya keras-keras.
"Bu Dewi belum pulang?" sapa Mahesa.
"Belum, Pak. Pesanan kendaraannya masih jalan ke sini. Kira-kira setengah jam lagi."
Mahesa melihat pergelangan tangannya. "Masih lama, batalkan saja! Bisa bareng saya sampai ada taksi mangkal di depan komplek. Lebih efisien, 'kan?"
Dewi menatap Prasasti, mungkin merasa tidak enak karena tawaran Mahesa. Bagaimanapun, itu adalah situasi yang tidak bisa diprediksi sebelumnya.
"Batalkan saja, Mbak. Nggak apa-apa. benar kata Mas Hesa, daripada menunggu. Lebih baik, 'kan langsung ke depan saja dan sudah jelas ada kendaraan."
"Ya sudah. Terima kasih, Mbak Sasti."
Yang mau menghujat Mahesa, dipersilakan🤐🤐
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top