🍻 18. Gelagat 🍻

Pagiii, temans ...
Aku datang cepet dong yaa. Ciee yang penasaran sama Mahesa langsung senyum🤭

Prasasti duduk manis di salah satu sofa sambil bekerja dengan ponsel. Sesekali, matanya menatap Rifky yang sedang belajar dengan serius. Sore ini, Dewi mengajarkan cara membaca buku cerita sendiri.

Rifky yang pada dasarnya suka buku cerita tampak antusias menerima pelajaran. Dia bahkan mengambil salah satu buku ceritanya dan mulai membaca. Belum lancar, tetapi semangatnya patut diacungi jempol. Ciri-ciri anak yang pintar, Prasasti tahu itu.

Selesai membaca, Rifky berlalu ke kamar dan mengambil bukunya yang lain. Anak itu tidak kembali ke ruang tamu, tetapi menemui kakeknya di depan. Gelak tawanya terdengar beberapa saat kemudian.

Gelak tawa Rifky berubah menjadi jeritan ketika suara mobil Mahesa terdengar. Dari jendela, Prasasti melihat anaknya berlari menuju pagar sementara papanya keluar dari mobil. Berdua mereka bergandengan tangan masuk rumah diiringi celotehan si anak yang terus menceritakan bahwa dirinya sudah bisa membaca buku cerita.

Prasasti langsung ke belakang dan membuatkan segelas kopi untuk Mahesa. Tak lama, dia muncul membawa nampan kopi dan sepiring bolu kukus. Diletakkannya benda itu di meja lalu duduk di samping suaminya yang memangku Rifky sambil menyimak bacaan buku cerita.

"Jadi sudah pintar membaca, ya, anaknya Papa?"

"Mandi bola?"

"Boleh. Tunggu Papa libur dan kita akan pergi mandi bola bersama."

"Sama Mama?"

"Tidak, sama Papa saja. Mama, 'kan, kerja?" Prasasti tidak tahu mengapa sebisa mungkin Mahesa membuat mereka tidak pergi berdua. Rasa kecewa itu ada, tetapi dia memendamnya dalam hati.

"Tunggu Mama saja."

Rifky terus tawar menawar dengan papanya tentang pergi mandi bola. Rupanya, si anak tidak terima ketika sang papa mengatakan tunggu hari libur dan pergi tanpa Mama. Si pintar itu mengelak dan mengatakan kalau mamanya selalu bisa pergi meskipun setiap hari bekerja. Prasasti tersenyum, putranya benar-benar manis.

"Rifky pergi sama Ibu Dewi saja, mau?"

Tiba-tiba Dewi membuka suara. Rifky terdiam dan menatap gurunya sebentar. Tatapannya terlihat bingung, kemudian beralih pada Prasasti dan Mahesa.

"Mama saja." Rifky kembali mengucapkan kata yang sama. Kali ini turun dari pangkuan Mahesa lalu berpindah pada Prasasti dan mengusap kepala Rifky dengan sayang.

"Jadi, perlu waktu berapa lama buat anak saya supaya bisa membaca tanpa mengeja?" Mahesa mengalihkan pembicaraan.

"Kalau itu tergantung pada seberapa sering Rifky membaca, Pak."

"Bu Dewi bisa mengajarkan bahasa Inggris untuk anak-anak?"

"Bisa."

"Kalau begitu tolong dijadwalkan dengan mamanya supaya Rifky bisa belajar bahasa Inggris juga."

"Baik, Pak. Sejauh ini Rifky adalah anak yang cepat belajar. Mestinya tidak sulit kalau memang mau belajar bahasa asing."

Percakapan terus terjadi seputar pembelajaran anak. Prasasti mendengarkan dan sesekali juga bertanya tentang waktu belajar yang efektif. Ditambah Rifky yang memang masih ingin terus bermain, tentu ada cara-cara tertentu untuk membuatnya belajar dengan gembira.

Dewi menjelaskan apa yang ditanyakan dengan baik. Selaku guru, Prasasti menilai bahwa perempuan itu memiliki banyak trik untuk membuat siswanya tertarik untuk belajar. Terbukti dari beberapa cara yang digunakan berhasil untuk membuat Rifky meletakkan mainannya.

Dewi pernah mengajak anak itu belajar dengan cara mengajak bermain lebih dulu. Ketika anaknya menyukai permainan yang ditawarkan, sang guru mengatakan bahwa cara bermainnya harus dibaca. Belum lancar, tetapi dari sanalah Rifky jadi punya minat lebih hingga mencoba membaca sendiri buku ceritanya.

***

Ketika makan malam usai, Mahesa duduk di ruang tengah setelah meminta dibawakan kopi. Seperti biasa, Prasasti membawakan juga sepiring kue sebagai camilannya. Kali ini, ada sepiring kentang goreng yang membuat anak itu duduk tenang di samping papanya. Namun, hanya sampai makanan itu habis. Setelahnya, bocah itu pergi menemui kakeknya karena mau minta mendengarkan cerita masa kecil beliau.

"Jangan lupa atur jadwal Rifky, Sas!"

"Nggak ada yang harus diatur. Dia masih empat tahun dan aku lebih dari sanggup untuk mengasuhnya."

"Apa maksudmu?"

"Maksudku? Aku tidak mau memberikan jadwal belajar begitu ugal-ugalan pada anak."

"Makanya disesuaikan, Sas."

"Tidak ada yang perlu disesuaikan. Di luar sekolah, Rifky sudah les membaca, mengaji dan hafalannya. Masih ada Kumon. Tidak ada acara tambahan yang membuatnya kehilangan waktu bermain."

"Kau ini kenapa?"

"Mas Hesa yang kenapa? Tumben pulang sore? Pakai nimbrung segala dengan gurunya Rifky."

Mahesa memang jarang pulang sore. Sekalinya itu terjadi, yang dilakukannya adalah langsung masuk kamar untuk membersihkan diri. Ada tamu pun dia juga tidak pernah ikut menemui apalagi sampai mengobrol ini dan itu. Terhadap pengasuh Rifky sebelumnya, pun, Mahesa tidak pernah bertanya apa-apa. Semua diurus oleh ibunya dan Simbok setelah beliau berpulang.

"Jadi aku tak boleh ngobrol dengan gurunya Rifky?" Bertanya seperti ini pun, suara Mahesa sudah meninggi.

"Yang ngelarang siapa? Aku kan hanya tanya, tumben nimbrung. Biasanya cuek saja di kamar meski sudah dipanggil berkali-kali. Salah kalau aku heran?"

Mahesa memang jarang mengurus sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan dirinya. Semua hal di rumah diserahkan pada Prasasti tanpa terkecuali. Sudah diserahkan pun, dia juga tidak pernah menanyakan apa-apa. Lalu, ada apa dengan kali ini?

"Jadi selain kesalahan lembur terus menerus, sekarang aku juga disalahkan karena ikut mengurus anak?"

Prasasti ingin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana dia harus membangun komunikasi dengan Mahesa ketika segala sesuatu ditangkap dari sisi negatif. Diingat-ingat kembali, memang belum sekalipun mereka punya percakapan bagus selain bahasan tentang anak mereka.

Diskusi tentang anak juga tidak terlalu baik. Mahesa menginginkan banyak hal seolah lupa bahwa Rifky hanyalah bocah berusia empat tahun. Prasasti merasa tidak nyaman. Dia menghormati suaminya dam di saat yang sama harus membela hak anak supaya masa kecilnya tidak terampas karena orang tua yang menginginkan banyak hal.

"Capek, ya, Mas lama-lama ngomong sama kamu."

"Kau pikir aku tidak capek ngomong sama kamu? Kemarin curiga sampai datang ke kantor, sekarang curiga sama guru anaknya."

Curiga dan datang ke kantor? Kapan Prasasti merasa curiga padahal kedatangan itu adalah murni keinginan untuk kebaikan pernikahan mereka? Kemudian hari ini, kapan dirinya mengatakan curiga pada guru anaknya?

Apa yang Prasasti pikirkan hanya kepentingan Rifky yang seluruh waktunya siap diterkam papanya untuk terus belajar. Dia sadar bahwa belajar memang penting tetapi bukan berarti tanpa henti. Menurutnya, semua harus dengan porsi yang tepat.

"Sebenarnya, mauku itu apa, sih, Mas?"

"Mauku, berhentilah bertingkah seperti istri yang curiga pada suaminya."

"Aku nggak curiga."

"Kau pikir aku tidak tahu kalau kedatanganmu ke kantor itu sebenarnya adalah untuk memata-matai aku?"

"Mas, aku ha—"

"Hanya mengantar makan siang yang bagiku tetap saja menunjukkan bahwa kau tak pernah memercayai ucapanmu. Kedatanganmu juga pasti karena ide Ayah. Sebagai istri, harusnya kau membela kepentingan suamimu, bukannya malah bersekongkol dengan mertua seperti yang kau lakukan itu."

"Jangan khawatir, Mas." Prasasti geram dengan ucapan Mahesa dan membalasnya dengan berani. "Aku tak akan menginjak kantormu dengan alasan apa pun. Dan ingatlah, aku tak akan pernah menanyakan jam kerjamu yang aneh itu."

Aku kok capek lihat rumah tangga Mahesa yang ribut mulu, ya🤐🤐

Follow aku dulu kalo mau dobel update😁😁

Love, Rain❤


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top