🍻 17. Bungkam 🍻
Syelamat pagiiiii, temans. Sekali-kali aku menemanimu sarapan, yaa. Sudah ngantar anak sekolah, kan, yaaa. Jadi, mari kita ngobrolin Mahesa😁
Prasasti tidak menceritakan kejadian di kantor Mahesa pada mertuanya. Pria baik itu menanyakan kunjungannya yang berakhir bencana, tetapi dia mengatakan bahwa semuanya baik. Dia juga menampilkan wajah senang dengan membawa puding rendah gula yang dibeli di toko kue langganan.
Untunglah Sasmito percaya pada kepura-puraannya dan menyarankan supaya datang lagi kapan-kapan. Prasasti mengangguk sambil memamerkan senyum lebar mengiyakan ucapan sang mertua. Tak apa sedikit berbohong, asal orang tua itu bahagia. Biarlah beliau pikir bahwa segalanya baik-baik saja dan kurangnya waktu berdua sepulang kerja bisa ditebus dengan menikmati makan siang berdua di ruang kerja Mahesa.
Setelah kejadian di kantor Mahesa, hubungannya dengan Mahesa jadi tidak baik. Prasasti tidak ingin mengalah kali ini. Hidupnya tidak seutuhnya bergantung pada Mahesa dan dia juga bisa melakukan apa saja.
Dengan dalih pesanannya sedang membludak, Prasasti membawa Rifky ke tokonya. Anak itu akan berada di rumah ketika les saja. Setelahnya, Prasasti akan mengajaknya kembali pergi ke toko dan pulang pada pukul sepuluh dalam keadaan tidur di gendongan.
"Mbak Sas lagi bertengkar, ya, dengan Pak Mahesa?" tanya Shery pada suatu siang setelah menyuapi Rifky.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" Prasasti balik bertanya tanpa memalingkan perhatian dari layar komputer.
"Hampir seminggu anak Pak Mahesa ini diajak terus. Memangnya bapaknya nggak nyari?"
"Mulutmu, Sher. Bukannya anak Pak Mahesa, itu anakku juga?"
Sherry tertawa. "Iya, sih, Mbak. Heran aja gitu. Biasanya anak ini datang sebulan sekali dan cuma sebentar. Ini udah berapa hari coba ...." Shery menghitung jari-jarinya, tetapi tak melanjutkan kalimat.
Prasasti tidak heran dengan pertanyaan Shery. Dia tahu cepat-atau lambat hal itu pasti akan ditanyakan. Namun, rumah tangganya adalah urusannya. Dari Sasmito saja hal itu dia rahasiakan dan tak akan dibiarkannya orang lain tahu.
"Pengasuhnya lagi nggak masuk, Sher. Bapak dan Simbok mana sanggup mengasuh anak yang sedang aktif-aktifnya itu?"
"Memang aktif, tapi lucu, Mbak. Kegiatan dia itu seperti sudah ada iramanya gitu. Habis makan pasti tidur. Bangun minum susu, lalu mandi dan main. Kalau les ya tinggal les. Baliknya belajar. Duh ... mau dong punya anak begitu."
Prasasti kembali fokus bekerja. Biarkan saja Shery dengan kekagumannya. Mau menjawab apa kepada perempuan yang belum menikah? Dijelaskan pun juga tidak akan mengerti. Shery terlalu galau dengan hubungannya yang terus saja putus sambung tidak jelas.
"Aku kok didiemin, sih, Mbak Sas!" seru Shery. Suaranya sedikit meninggi dan membuat Prasasti terkejut.
"Aku potong gajimu kalau anakku sampai bangun!" balas Prasasti pura-pura galak. "Keluar sana dan lanjutkan pekerjaanmu! Ngapain di sini terus? Mau makan gaji buta?"
"Dih, Mbak Sasti. Memangnya lupa kalau semua pesanan baru saja dikirimkan? Dengan kata lain kita tidak ada pekerjaan. Jalan-jalan aja gimana, Mbak?"
Mendengar ucapan Shery, mau tak mau Prasasti pun tersenyum. Mereka memang tidak ada pekerjaan karena toko sudah ditutup sejak sebelum makan siang karena pesanan mendadak yang menghabiskan hampir tujuh puluh persen persediaan barang dagangan mereka.
Tokonya maju, Prasasti bersyukur untuk itu. Dia baru saja mendapatkan dua reseller yang membuka toko dan minta supaya permintaan mereka tidak pernah terlambat. Pemilik salah satu toko itu datang tadi pagi dan membawa stok mereka. Jadilah pekerjaan mereka hanya membungkus pesanan dari permintaan online.
"Boleh. Tunggu Rifky bangun dulu."
"Rifky, bangun dong!" kata Shery seraya mendekati Rifky yang berbaring setengah duduk di boneka Angry Bird. "Kata Mama kita mau jalan-jalan."
Prasasti mendelik melihat kelakuan Shery yang sedang menciumi pipi gembul Rifky supaya anak itu terbangun. Mau marah karena tidur anaknya diganggu, tetapi terlambat. Sang putra sudah membuka mata dan tersenyum memamerkan giginya. Setelah Rifky duduk, Shery bergegas membuatkan segelas susu yang langsung diteguk habis oleh si anak.
"Mandi bola, Mama?" Rifky mendekati Prasasti setelah memberikan gelas kosong pada Shery. Anak itu merebahkan kepalanya di pangkuan Prasasti.
"Iya. Sana, mandi dulu!"
Prasasti mengecup kepala Rifky sebelum anak itu bangun dan menarik tangan Shery ke kamar mandi. Mungkin dia juga perlu sedikit hiburan dan tidak memikirkan pekerjaan terus-menerus. Membeli beberapa potong baju baru juga tidak buruk. Anggap saja memanjakan diri dan menikmati sedikit penghasilannya.
***
Prasasti berjalan sambil menenteng tas belanjaan dan menggandeng tangan Rifky. Simbok yang kebetulan keluar dari pintu samping membantunya. Dia berikan delapan paper bag pada Simbok dan membiarkan perempuan itu masuk lagi setelah mengatakan bahwa ada kue cucur yang memang dibeli untuknya. Begitu saja wajah Simbok sudah berbinar-binar.
"Dari mana, Sas?" pertanyaan itu langsung meluncur ke pendengaran Prasasti begitu kakinya menginjak ruang tamu.
"Mandi bola," jawab Rifky melepaskan tangannya dari genggaman Prasasti dan melompat ke pangkuan Mahesa. Belum pukul sepuluh malam, mengapa pria itu sudah ada di rumah? Lagi pula, apakah kantor tidak merindukannya?
"Senang?" Mahesa bertanya pada putranya.
Tentu saja Rifky senang. Anak itu terus tersenyum menceritakan pengalamannya mandi bola bersama Tante Shery-nya. Dia juga mencoba game motor yang dimiringkan ke kanan dan kiri ketika bermain sedangkan Tante Shery terus saja berteriak di belakangnya.
"Rifky, Kakek punya mainan baru buatmu. Ayo, ikut!" Sasmito bangkit dan melangkah menuju kamarnya diikuti Rifky setelah melompat dari pangkuan papanya.
Prasasti pergi ke kamarnya dan langsung masuk kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya, dia keluar. Mahesa duduk di tepi tempat tidur, menatap ke arahnya.
Prasasti tidak peduli. Dia meneruskan langkah lalu duduk di depan meja rias. Tangannya meraih botol lotion dan mulai menuangkan isinya ke tangan. Matanya melirik sofa di kaki tempat tidur dan tas belanjaannya sudah ada di sana.
"Apa kamu bersenang-senang dengan acara belanjamu?" tanya Mahesa lembut.
"Aku tidak pakai uangmu kalau itu yang Mas Hesa khawatirkan," jawab Prasasti sinis. Penghasilanku lebih dari cukup kalau hanya untuk beli barang murah itu."
"Murah?"
"Iya, murah. Bisa dibeli, 'kan?"
"Bukan itu maksudku, Sas. Aku tahu semua itu bukan barang murah," tutur Mahesa. "Aku hanya ... apakah kau masih marah?"
"Kenapa aku harus marah? Di rumah ini, satu-satunya orang yang boleh marah, 'kan, cuma kau?"
"Kau masih marah, Sas. Selama pernikahan kita, tidak pernah kata "kau" terucap darimu untukku."
"Aku belajar dari ahlinya," ketus Prasasti.
Apakah Mahesa mau minta maaf? Namun, pertanyaan itu hanya ada di kepala Prasasti. Harga diri suaminya terlalu tinggi sehingga kata maaf saja pasti akan membuatnya kehilangan kehormatan. "
"Kau boleh datang ke kantor untuk mengantarkan makan siang."
Sayangnya Prasasti tidak tertarik. Dia sudah melakukan kesalahan sekali, dan pantang baginya untuk jatuh ke lubang yang sama dua kali. Pengalaman adalah salah satu guru terbaik baginya.
"Tidak, terima kasih. Aku tak akan mempermalukan diriku berkali-kali. Yang kemarin itu sudah cukup."
Capek gak siiyyy, rumah tangga ribut terus kek Pak Mahesa gitu?🤧
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top