🍻 15. Suara Hati 🍻

Malem, temans. Merapatlah yang nungguin Mahesa.

Prasasti tidak mengerti mengapa Mahesa berpikir kalau sedang disalahkan. "Aku bukan menyalahkanmu, Mas. Aku hanya bilang kalau ini sudah terlambat kalau kamu mau makan bersama Rifky."

Mahesa mengibaskan sebelah tangan. "Tidak usah kebanyakan argumen. Kalau memang Rifky sudah makan, ajak saja dia kemari. Aku ingin makan dan ada anak itu di meja makan. Tidak masalah dia makan atau tidak."

"Yang kumaksud itu, Rifky sudah tidur, Mas. Ini hampir jam sepuluh."

"Kamu kenapa menidurkan anak itu sore banget?"

"Mas Hesa yang bilang kalau Rifky harus tidur jam sembilan karena nggak mau dia kesiangan dan malas sekolah. Bingung aku kalau seperti ini."

Mahesa memang pernah mengatakan Supaya Rifky tidak tidur terlalu malam. Mungkin karena sudah berhari-hari tidak bermain dengan anaknya dan Mahesa kangen, makanya dia meminta hal yang terkesan aneh bagi Prasasti.

"Bangunkan sebentar!"

"Tidak!" tolak Prasasti tegas. "Kalau memang Mas Hesa kangen, tolong pulang lebih awal. Jangan mengganggu jadwal anak yang sudah teratur."

"Tampaknya kamu mulai memprotes lagi soal jam kerjaku!"

"Aku tidak memprotes, Mas. Tapi, coba Mas Hesa pikir ... lembur apa yang penghasilannya nggak ada tambahan lagi? Kalau memang tidak ada bayarannya, bukannya lebih baik kalau Mas Hesa pulang sesuai jam kerja saja?"

Biarkan saja Mahesa marah. Prasasti juga tidak bisa terus diam ketika ingat bahwa tidak ada kompensasi atas waktu yang digunakan Mahesa di luar jam kerja. Pekerjaan memang penting, tetapi rumah tangga mereka juga harus diperhatikan. Hubungan mereka memang baik, tetapi tidak mengalami kemajuan.

"Jadi belanjamu kurang?"

"Bukan gi—"

"Ngomong kalau kurang! Tidak usah berbelit-belit seperti orang tak ada kerjaan. Kalau bagimu memang urusannya hanya uang, aku tidak masalah. Bulan depan kutambah uang belanjamu."

Prasasti makin tidak nyaman dengan ucapan Mahesa. "Aku nggak bermaksud protes, Mas. Tapi ...."

"Tidak memprotes, tapi menanyakannya secara berulang. Capek aku lama-lama kalau kamu tidak bisa menghargai suami."

"Aku—"

"Diam!" geram Mahesa. "Tutup mulutmu dan biarkan aku makan dengan tenang!"

Makan malam yang diharapkan Prasasti bisa menjadi waktu menyenangkan dengan Mahesa hanyalah sebatas angan-angan. Pria itu menuduhnya mempermasalahkan waktu pulang yang terlalu malam. Kadang-kadang keheranannya tak bisa dibendung, mengapa begitu mudah bagi Mahesa untuk merasa tidak enak dan bahkan marah hanya karena masalah jadwal pulang yang terlalu malam.

Kalau dipikir-pikir, Prasasti hanya menjawab apa adanya. Mengapa Mahesa merasa emosi dan bereaksi keras? Bukankah benar yang dikatakan Prasasti perihal Rifky?

Makan malam menjadi tak menyenangkan bagi Prasasti. Seleranya menghilang dan makanan pun tidak dihabiskan. Mahesa? Jangan tanya. Suaminya pasti memakan apa pun yang disediakan selama Prasasti melayaninya dengan baik.

Sampai duduk di ruang tengah pun masih tetap tak ada percakapan di antara keduanya. Mahesa bahkan tidak menyentuh kopi yang dibawakan Prasasti. Mungkin sekarang sudah dingin mengingat makan malam selesai satu jam yang lalu.

Prasasti menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Satu jam bersama suaminya, tetapi tidak ada percakapan di antara mereka selain beberapa kalimat basa-basi dan tidak penting. Mata pria itu serius menatap ke layar televisi seolah benda itu sedang menanyakan sesuatu yang sangat penting.

Sejak pernikahannya, betapa inginnya Prasasti mendengar Mahesa memulai obrolan. Bukan tentang Rifky, tetapi tentang mereka. Kadang-kadang dia berpikir kalau karakter suaminya memang begitu. Namun, melihat senyum Mahesa yang begitu mudah terbit kepada Rifky, mestinya tidak ada masalah dengan itu. Obrolan dengan si anak pun terjadi begitu alami. Walaupun berstatus sebagai orang tua angkat, orang tak akan tahu kenyataan itu jika tak ada yang memberitahu. Sekali saja, bisakah dia mendapatkan perlakuan sehangat itu?

Prasasti ingin diperlakukan dengan baik, tetapi tak ingin menuntut terlalu banyak. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah bersabar. Mungkin, suatu saat nanti Mahesa bisa memperlakukannya seperti yang diinginkannya.

Dalam diamnya, tiba-tiba Prasasti ingat. Mahesa menolak keinginannya untuk menambah momongan. Jika dilihat dari interaksi mereka, penolakan adalah hal yang wajar. Dia tidak merasa dekat dengan Mahesa secara emosional. Tidak pernah sekali pun suaminya menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan selain jam kerja dan lembur.

Tidak ada cerita tentang masa kanak-kanak, sekolah sampai kuliah. Bagaimana bisa bekerja di perusahaan itu pun juga tidak. Prasasti sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang suaminya selain apa yang sudah terlihat.

"Mas," panggil Prasasti yang hanya mendapat lirikan sekilas Mahesa. "Cerita, dong, masa kanak-kanakmu bagaimana."

"Masa kanak-kanakku menyenangkan," kata Mahesa. "Sama dengan anak-anak lainnya."

Jawaban yang tidak menyenangkan untuk Prasasti. "Sama seperti Rifky?" lanjutnya, masih mencoba mendapat kesempatan untuk tahu kenangan kecil Mahesa.

"Rifky lebih bahagia."

Jawaban yang tidak memberikan kesempatan untuk bertanya lebih lanjut. Tidak dalam suasana hati yang baik untuk bercerita. Kemungkinannya hanya itu atau Mahesa memang tidak ingin menceritakan apa pun tentang dirinya.

"Kalau sekolah dasar?"

"Sama saja denganmu. Hanya disemangati supaya berprestasi. Lomba ini dan itu, entahlah ... aku tak ingat detailnya."

"Sekolah menengah?" Prasasti masih tak putus asa.

"Sama dengan sekolah dasar. Bagi Ayah, sekolah adalah untuk mencetak prestasi."

"Bagaimana dengan kuliah? Itu pilihan Mas Hesa sendiri, 'kan?"

"Hmm ...."

Mahesa hanya bergumam. Harapan Prasasti untuk mendengar kelanjutan cerita pun sia-sia. Suaminya ini benar-benar tipe yang seperlunya. Tidak peduli dengan istri, sikap itu tetap saja muncul. Dia berpikir, sebagai istri Mahesa mestinya dia mendapat sedikit keistimewaan dengan tahu lebih banyak tentang suaminya, bukan?

"Mas."

"Apa?" Lagi-lagi hanya lirikan sekilas yang didapatkan Prasasti.

"Nggak ada gitu masa-masa nyenengin zaman kuliah? Nggak mungkin dong kalau nggak ada seru-serunya."

Prasasti menikmati masa kuliah yang menyenangkan. Dia mengikuti beberapa kegiatan dan itu menjadikannya sebagai mahasiswi yang sibuk. Hari santainya adalah ketika liburan tiba. Itu pun tak jarang digunakannya untuk pergi ke rumah temannya yang pulang kampung.

Menikmati liburan di kota dan di desa tentu berbeda. Di kota, dia hanya melihat taman kota yang kebanyakan pengunjungnya adalah keluarga muda. Sedangkan di desa, Prasasti menikmati yang namanya memancing di sungai, makan di gubuk tengah sawah, bahkan mencoba untuk menanam padi di pagi buta sampai pinggangnya pegal karena terlalu lama membungkuk.

Itu adalah pengalaman yang akan diceritakannya kepada orang tuanya ketika sudah kembali ke rumah. Rasanya berat ketika harus pulang karena liburan yang telah berakhir. Sebahagia itu masa-masa kuliahnya, tak ada salahnya, bukan, jika dia pun ingin tahu masa-masa membahagiakan bagi Mahesa?

"Sudahlah, Sas! Nggak usah mengingat masa yang nggak penting."

"Kenapa, sih, kesannya aku ini nggak boleh tahu apa-apa tentang suamiku?"

"Tutup mulutmu karena kupingku capek mendengar suaramu!"

Prasasti bengong ketika suara Mahesa meninggi sebelum bangkit dan meninggalkannya sendirian di ruang tengah.

Hiyaah, gitu banget Pak Mahesa sama istrinya. Kalo lakik-ku begitu, tak tukar tambah ae sama ponsel🤪🤪🤪

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top