🍻 13. Emosi Mahesa 🍻

Malam temans. Merapat, hyuukk. Kutemani malmingmu dengan Mahesa, yaaa🤭🤭

Jangan dibiasakan anak bangun kesiangan begitu, Sas!" tegur Mahesa ketika Rifky berlari ke kamarnya mengambil tas.

"Mas Hesa yang bikin dia melek sampai malam, kenapa Sasti yang disalahkan?" Enggan selalu dipersalahkan, Prasasti memilih untuk mengingatkan yang terjadi semalam.

Mahesa kembali setelah ada pekerjaan di luar kota selama dua hari. Kebetulan akhir pekan sehingga waktu dengan anak pun terabaikan. Pulang pada Minggu sore, pria itu membawa mobil remote control untuk anaknya dengan catatan boleh dimainkan setelah belajar.

Rifky yang telanjur menyukai mainan itu jelas mengabaikan ucapan Mahesa. Jadilah mereka bermain sejak selesai makan malam sampai hampir pukul sebelas. Semalam Mahesa mengatakan kalau dia pun asyik bersenang-senang dengan si anak sehingga tidak memperhatikan waktu tidur.

"Diberitahu bukannya mendengar kau ini, Sas."

"Mas Hesa kalau memang kesiangan, berangkat kerja saja. Biar aku yang urus Rifky."

"Kau ingin Ayah memakiku?"

Prasasti heran. Apa saja dilakukan Mahesa demi ayahnya. Kalau memang sibuk, kenapa harus memaksa dan malah mengomel sepanjang waktu? Sekali atau dua kali juga dia tidak masalah harus mengantar Rifky sendirian. 

"Tak akan kukatakan pada Ayah. Lagi pula, sekolah Rifky juga tak jauh dari toko. Aku bisa membereskan hal itu," kata Prasasti enteng.

Daripada meladeni Mahesa yang sedang buruk suasana hatinya, Prasasti memilih pergi ke kamar Rifky. Sesampainya di sana, dia tercengang melihat anak itu bermain dengan mainan barunya. Tas yang semula akan diambil masih tetap di tempatnya sementara Rifky duduk di karpet sambil memegang mobilnya.

"Rifky sekolah dulu. Mainannya nanti lagi."

Rifky yang terkejut melihat kedatangan Prasasti langsung melepaskan mainannya dan memamerkan deretan giginya tanpa suara. Bocah itu menurut ketika sang mama memakaikan kembali sepatunya dan mengambil tas. Dalam gandengan tangan Prasasti, Rifky masih sempat menoleh pada mainannya. Mainan yang menjengkelkan, batin Prasasti.

"Rifky kalau main terus, mobilnya Papa buang!" Mahesa langsung menegur dengan nada keras, tahu dengan pasti apa yang dilakukan si anak di kamarnya.

"Papa, jangan!" Suara Rifky terdengar seperti hampir menangis.

Prasasti menoleh dan menarik lembut tangan anaknya. "Berangkat sekolah, yuk! Nanti kalau terlambat bisa gak ikut doa bersama."

Tanpa menoleh, Rifky mengikuti Prasasti. Mahesa menyusul sambil melontarkan beberapa kalimat yang tak digubris Prasasti. Menurutnya, si papa sedang berpidato di saat yang tidak tepat. Beruntung anak mereka hanya fokus pada Prasasti yang tengah membantunya naik mobil.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah hanya ada keheningan. Si anak yang biasanya berceloteh gembira pun kali ini membisu. Prasasti tahu kalau suasana hati anaknya memburuk. Dia biarkan dulu, setidaknya sampai mereka tiba di sekolah.

Mobil berhenti tepat di depan pintu pagar sekolah. Dengan lincah, Rifky turun lebih dulu. Melihat beberapa temannya, si anak mulai tersenyum dan berjalan lebih dulu ke halaman.

"Pantau terus anak itu, Sas! Pulang naik taksi online saja."

"Ya." Tanpa diberitahu pun Prasasti tahu kalau harus pulang dengan taksi online. Mahesa mana ada waktu untuk menjemput anak dan balik lagi ke kantor. Terlalu memakan waktu dan tidak penting.

Mahesa berlalu bahkan sebelum Prasasti menutup pintu dengan sempurna. Begitulah adat suaminya ketika diburu waktu. Semua kegiatan di luar pekerjaannya selalu salah walaupun sesekali dia lakukan.

"Rifky," panggil Prasasti. "Tas sekolahnya masih dibawa Mama. Nanti kalau Mama bawa kerja bagaimana?"

Rifky menoleh. Senyum lebarnya sudah muncul. "Masuk kelas, Mama?" tanyanya manis. Hilang sudah rasa takutnya beberapa saat lalu.

"Iya. Rifky masuk kelas, Mama kerja dulu. Nanti kalau Rifky selesai baru Mama jemput."

Prasasti menunggu sampai anaknya masuk kelas sebelum memesan taksi online dan pergi ke toko. Ketika si anak benar-benar masuk, dia mengurungkan niatnya. Hanya tiga jam dan dia memiliki banyak pekerjaan. Daripada lupa, lebih baik menunggu saja. 

Prasasti menuju kedai kopi di samping sekolah. Baru buka dan masih belum ada pengunjung. Dia memesan segelas caramel latte dan satu choco nougat lalu memilih duduk di bawah rambatan pohon anggur. Dikeluarkannya ponsel dan jarinya mulai bekerja, mencatat beberapa hal penting yang memang sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.

Ada yang menarik perhatian Prasasti sejak turun dari mobil suaminya. Ada sedan pendek hasil modifikasi sana sini yang terparkir di seberang jalan depan sekolah anaknya. Mobil itu berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Seorang pria duduk di atas kap depan sambil melakukan  panggilan.

Wajah orang itu tidak asing baginya. Tak salah lagi, itu adalah Bumi. Mana mungkin Prasasti melupakan pria yang pernah disukainya? 

Mengesampingkan Bumi yang berada tak jauh darinya, Prasasti kembali fokus pada pekerjaan. Dia membalas beberapa pesan dari Shery yang mengkonfirmasi tentang kesediaan barang dagangannya serta stok yang ada di toko. Senin memang selalu menjadi hari tersibuknya karena harus memastikan persediaan barang mencukupi untuk hati itu. Pesan-pesan yang masuk dari pemasok pun hanya ditangani oleh Prasasti.

"Permisi, boleh gabung?"

Prasasti mendongak mendengar sapaan suara maskulin di depannya. Berat dan dalam, begitulah kesan suara itu di telinga Prasasti. 

"Masih ingat aku?"

"Mas Bumi?" tanyanya ragu.

"Tentu saja Bumi. Siapa lagi yang berani sok kenal sok dekat denganmu selain aku?"

Prasasti tertawa. Pria itu masihlah orang paling supel yang pernah dikenalnya. Dulu sekali, ketika masih sama-sama berada di sekolah menengah, mereka melakukan beberapa kegiatan bersama. Seringnya adalah latihan basket. Bumi tim putra sedangkan Prasasti tim putri. 

Ingatan yang paling melekat di kepala Prasasti adalah bahwa pria itu adalah kapten basket. Dia sering ikut melatih karena keahliannya memasukkan bola ke dalam keranjang dengan beberapa teknik yang bagus. 

"Jadi, apa yang Mas Bumi lakukan di sini?" tanya Prasasti mengingat keheranannya.

"Apa? Tentu saja menunggui anakku yang sedang sekolah. Nanggung kalau mau pulang. Kamu sendiri?

"Sama saja. Tapi …."

"Tanyakan saja, jangan sungkan."

"Baru kali ini aku tahu ada ayah yang menunggui anaknya sekolah. Biasanya, 'kan, selalu ibunya." Prasasti menunjuk kedai lain di sekitar mereka. "Itu ibu-ibu yang sedang menunggu anak-anaknya pulang sekolah."

"Anakku hanya punya aku," sahut Bumi.

"Maksudnya?"

"Istriku …," Bumi terdiam sesaat, "berpulang ketika melahirkan putri kami."

Semacam ... nganu. Dah lah, bagi senyum buat Mahesa😁

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top