🍻 12. Selalu Salah 🍻

Malem, temans. Aku mengantar Mahesa tepat waktu, yah. Kuyy lah merapat🤭

Prasasti menarik koper ke depan rumah. Hari ini, mertuanya akan pergi ke Madiun. Mau ke rumah keluarga mendiang ibu mertuanya. 

Seharusnya ada Mahesa yang mengantar, tetapi kesibukan kembali menjadi alasan. Ada saja pekerjaan yang menyela waktu yang seharusnya untuk keluarga. Kegiatan itulah yang akhirnya membuat Sasmito pergi menggunakan travel saja karena tak bisa menunggu.

"Ayah hati-hati! Jangan makan sembarangan, ya, Yah! Obatnya diminum! Nanti Sasti kirim pesan setiap waktu Ayah minum obat."

Prasasti mengucapkan semua kebiasaan mertuanya tanpa berpikir seolah beliau masih anak-anak. Sebenarnya bukan masalah itu, tetapi Sasmito tak pernah menganggap segalanya serius. Baginya, tidak ada gejala sakit maka artinya sehat. Sedangkan Prasasti selalu memastikan semua obat diminum sesuai anjuran dokternya.

"Kamu itu bawel, Sas. Jangan ikut-ikut Dokter Yoseph yang suka sekali melarang Ayah! Jangan ini dan itu! Harus gini dan gitu. Lupa dia kalau pasiennya ini lebih tua darinya."

Prasasti hanya tersenyum seraya mengangguk. "Yang tua itu sama sekali nggak nurut, Yah," katanya jenaka. "Mesti dicubit, mungkin."

Sasmito mendelik garang. "Lama-lama bisa kualat kamu jadi anak. Orang tua dikatain nggak nurut."

"Yang Sasti katain, 'kan, bukan Ayah?"

Sasmito tergelak. "Iya, Ayah akan minum obat. Tapi, jangan larang Ayah makan sesuatu, ya!"

Masih saja mencoba menawar. Kadang-kadang Prasasti gemas sendiri mengurus Sasmito. Niatnya adalah membuat mertuanya menjadi lebih sehat, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Sasmito pernah mengakui bagaimana dia memakan apa saja di belakang Prasasti. Ketika gula darahnya naik maka alasannya adalah menantunya terlalu ketat dengan menu makan sedangkan dia juga ingin mencicipi menu lainnya. Kalau sudah begitu, Prasasti bisa apa? Dia tidak memantau mertuanya selama 24 jam.

Mahesa sempat menegurnya juga karena masalah itu, tetapi Prasasti harus bagaimana? Beruntung Sasmito selalu membelanya dan balik menyalahkan Mahesa karena sudah menyalahkan dirinya. Ini bukan kejadian lama. Baru dua minggu yang lalu kadar gula darah Sasmito mencapai 250.

Menjengkelkan memang, tetapi Prasasti tidak bisa berbuat apa-apa. Rasanya ingin marah atau sekadar memaki. Namun, dia kembali sadar bahwa selain sebagai menantu, Sasmito benar-benar baik dan memperlakukannya seperti anak sendiri. Bisa dikatakan kalau pria itu justru lebih menyayangi dirinya daripada Mahesa.

“Ayah boleh makan apa saja selama nasinya adalah nasi merah. Kalau memang ayah makan nasi putih ....” Prasasti pura-pura tidak melihat pada Sasmito yang sudah tersenyum lebar. “Jangan banyak-banyak. Tidak boleh kopi dua kali dan minuman-minuman berasa lainnya.”

“Ayah ini ngopi hanya dua kali sehari, Sas!” gerutu Sasmito.

“Ya. Dua kali sehari, tapi manisnya berasa seperti habis nebang tebu sekebon.”

“Baiklah, baiklah,” tukas Sasmito mengalah. “Ayah akan ingat menunya dan banyakin air mineral.”

Rasanya ingin tertawa melihat Sasmito yang berujar dengan wajah tampak tersiksa. Hanya pura-pura, Prasasti tahu itu. Mertuanya membuka dompet dan menarik beberapa lembar uang ratusan ribu.

“Pegang ini, Sas!” pinta Sasmito seraya meraih tangan Prasasti. “Berikan setengahnya pada Simbok pada tengah bulan. Biasanya, Ayah berikan itu sebagai bonus karena sudah lama dia ikut Ayah. Sisanya peganglah untuk beli jajan Rifky.”

Prasasti tersenyum dan menggeleng. Mengembalikan uang tersebut ke tangan mertuanya. “Bawalah untuk pegangan Ayah. Ayah sedang keluar, siapa tahu butuh apa-apa. Jangan merepotkan keluarga Ibu, Yah! Biar Sasti yang urus Simbok. Lagi pula, uang jajan Rifky tidak sebanyak itu.”

“Sejak masuk sekolah, anak itu menginginkan banyak hal. Ayah khawatir kalau uangmu berkurang terlalu banyak untuk—”

“Rifky anak Sasti juga, Yah.”

“Baiklah. Jangan mengalah kalau Mahesa mulai mengirim pesan dengan dalih pekerjaan. Ayah di Madiun seminggu dan dia pasti akan mencari-cari alasan.”

Prasasti tahu kalau Mahesa memang sering mencari alasan. Mungkin ingin berkumpul dengan temannya. kadang-kadang juga pergi main futsal yang bisa pulang hingga hampir tengah malam. Dia pernah bertanya kenapa pulang sampai selarut itu. Mahesa hanya menjawab kalau dirinya juga perlu menyegarkan pikiran dengan mengobrol sambil duduk dan menikmati segelas kopi.

“Jangan khawatir, Yah! Mas Hesa baik sama Sasti. Dia pasti pulang tepat waktu. Kalaupun lembur, Sasti juga mengerti. Pekerjaan Mas Hesa, ‘kan, memang begitu?”

Bohong. Sebenarnya Prasasti juga merasa tidak baik-baik saja sejak keinginannya untuk memiliki anak sendiri ditolak oleh Mahesa. Jauh di lubuk hatinya, ada tanda tanya besar yang harus segera dicari jawabnya. Mestinya kesibukan bukanlah satu-satunya alasan mengingat dirinya yang memang hampir tak pernah merepotkan Mahesa.

“Ya sudah. Ingat bahwa—”

“Mobil Ayah sudah sampai.” Prasasti memotong ucapan Sasmito. “Ayo, Sasti antar sampai pagar!” Prasasti kembali menarik koper ayahnya yang langsung diterima oleh kru travel untuk dimasukkan ke bagasi. Sebelum naik kendaraan, sekali lagi pria paruh baya itu menoleh lalu melambaikan tangan.

Prasasti menutup pagar dan mendapati anaknya berdiri di ambang pintu. Bocah itu membawa botol susu yang sudah kosong. Susah payah menjauhkan si anak dari benda itu, tetapi Simbok selalu memberikannya lagi dan lagi. Kalau terus begitu, kapan si bocah akan berpisah dengan botolnya padahal sudah mulai sekolah?

Prasasti melakukan berbagai kegiatan di rumah. Membuat kue dan gudeg kesukaan Mahesa. Selesai dengan urusan dapur, segera Prasasti membersihkan dirinya setelah terlebih dulu memandikan sang anak. Dia sedang duduk di depan cermin ketika pintu kamarnya terbuka dengan suara keras.

“Apa, sih, maksudmu ngomong sama Ayah supaya aku pulang cepat?”

Prasasti terkejut dengan kalimat Mahesa. Kapan dia meminta ayahnya untuk meminta Mahesa pulang cepat? Sejak mertuanya berangkat tadi pagi, Prasasti hanya sekali membalas pesan sang ayah yang mengatakan bahwa beliau sudah sampai di Madiun dengan selamat. Selanjutnya, mereka tidak bertukar pesan lagi.

“Aku nggak minta Ayah begitu,” jawab Prasasti kalem.

“Lama-lama aku bisa gila. Ayah dan istri sama saja kelakuannya. Suka banget minta aku untuk pulang lebih cepat. Memangnya kalau aku tidak sibuk bekerja, mau makan apa keluarga ini?”

“Makan apa? Kalau memang Mas Hesa selalu menjadikan itu sebagai alasan, berhenti kerja saja, Mas! Jangan khawatirkan keluarga ini. Ayah yang walaupun sudah tua masih punya uang pensiun. Aku pun bukan pengangguran sehingga Mas Hesa bisa berbicara seperti itu.”

Prasasti merasa jengkel karena ucapan Mahesa. Dia yang benar-benar tidak tahu apa pun tentang pesan yang dikirim mertuanya tiba-tiba menjadi sasaran kemarahan Mahesa. Sekali dua kali dia maklum, mungkin suaminya memiliki tekanan pekerjaan yang besar. Namun, ketika lembur selalu dijadikan alasan, lama-lama bosan mendengar alasan yang sama dan baginya itu terlalu dibuat-buat.

Tidak ada perusahaan yang memberikan lembur untuk karyawannya hampir setiap hari. Mahesa juga memiliki kedudukan yang cukup bagus sehingga beban pekerjaannya tidak mungkin sampai membuatnya begitu sibuk dan membuat keluarganya mengeluh. Prasasti jadi penasaran, apa dan bagaimana pola kerja di perusahaan Mahesa. Mungkin dia harus mencari tahu supaya mengerti dunia yang sangat digandrungi suaminya sampai begitu emosi ketika merasa terganggu.

Ada yang nitip pesan buat Mahesa?

(Info : di karyakarsa sudah bab 45, ya)

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top