🍻 10. Rumah Lain 🍻

Pagi, temans. Belum terlalu siang, 'kan, kalau aku update🤩😍

Mahesa masuk ke sebuah rumah di kawasan yang cukup elit kota ini. Rumah itu bercat abu-abu dengan taman tertata rapi yang didominasi bunga bakung. Indah dan cantik, ditambah rumput jepang serta bugenvil merah muda di pojok kiri depan.

Senyum Mahesa mengembang begitu pintu rumah itu terbuka. Perempuan berbaju kuning tanpa lengan muncul dengan wajah sedikit cemberut. Dia heran, apa lagi yang perempuan itu permasalahkan. Belakangan sering menampilkan wajah seperti itu sehingga waktu yang seharusnya digunakan untuk bermanis-manis justru terganggu karena harus berusaha membuat suasana hati si cantik itu membaik.

"Kenapa lama?" tanya perempuan itu setelah menutup pintu dan berjalan menyusul Mahesa yang sudah lebih dulu menuju ruang tengah.

"Apa yang lama?" Mahesa balik bertanya. Tidak yakin ke mana arah pembicaraan si perempuan kesayangannya.

"Kamu, kenapa sampainya lama?"

Mahesa melirik pergelangan tangannya. "Empat lewat dua puluh. Artinya aku sampai tepat waktu karena jam kerja berakhir tepat pukul empat. Aku tidak bisa mengemudi lebih cepat dari itu di tengah jam bubaran kerja seperti sekarang." Selesai melepas sepatunya, dia beranjak ke kamar mandi dekat dapur untuk mencuci kaki.

Setelah kegiatan bersih-bersihnya, Mahesa duduk di salah satu kursi meja makan dan menunggu dibuatkan segelas kopi. Keningnya berkerut. Sampai beberapa menit, kopinya belum diantarkan padahal perempuannya sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Heran, apa yang dilakukannya sampai selama itu?

"Kamu tidak buatkan aku kopi?" Akhirnya Mahesa bertanya, suaranya pelan dan lembut.

"Kamu mau kopi?"

Tanpa menjawab pertanyaan, Mahesa bangkit dan mengambil gelas. Dia meraih stoples gula dan kopi dari rak yang tepat berada di depannya. Meracik kopi untuknya tidaklah sulit, hanya saja rasanya tidak pantas karena masih ada perempuan di rumahnya. Berbicara mengenai pantas atau tidak, Mahesa menilai bahwa tugas itu lebih cocok dilakukan oleh perempuan. Sepanjang yang diketahuinya, tak sekali pun ayahnya masuk dapur karena ibunya telah memenuhi semua kebutuhan sebelum diminta.

"Kenapa bikin kopi sendiri?"

"Aku tidak mau meminta setiap pulang kerja. Mestinya kamu sudah hafal kebiasaanku itu, bukan? Kita bersama bukan sehari atau dua hari, tapi sudah bertahun-tahun."

"Iya. Aku memang nggak seperti Prasasti yang selalu membuatkanmu kopi tanpa diminta."

Mahesa hanya menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Meladeni ucapan perempuan itu jelas akan memicu pertengkaran. Dia tidak tahu apa yang menjadi masalah. Seingatnya, semua yang terbaik telah diusahakan dan mestinya tidak ada masalah lagi.

Mahesa mengaduk kopi pelan-pelan. Mencicipinya sedikit sebelum meletakkan sendok kecil di tempat cuci piring. Setelah itu, dibawanya gelas kopi ke meja makan seraya mengeluarkan potongan brownies dari kulkas.

Segelas kopi dan sepiring brownies adalah paduan cocok sepulang kerja. Menikmati keduanya sepulang kerja jelas bisa memperbaiki suasana hati. Sedikit pahit dari kue dipadu manisnya kopi, membuatnya tetap tenang menghadapi kemarahan yang mungkin sedang bercokol di hati si cantik yang masih menyibukkan diri di depan kompor.

"Mahesa! Aku nggak suka kamu diamin begitu." Teriakan yang tak membuat Mahesa terkejut. Di rumah, dia terbiasa mendengar suara Rifky yang tentu lebih nyaring.

"Turunkan suaramu! Kupingku masih berfungsi dengan baik." Mahesa tidak marah atau menaikkan nada suaranya sedikit pun. Suaranya justru terdengar lembut dengan senyum yang sempat tersungging.

"Kamu diamin aku."

"Aku tidak melakukan itu. Kamu sendiri yang diam."

"Tapi kamu buat kopi sendiri."

"Aku tidak suka meminta hal yang sama berulang-ulang. Lagi pula, aku sudah bertanya sebelumnya, 'kan?"

"Aku—"

"Sudahlah, Wi. Nggak usah diperpanjang. Kau tahu, 'kan, kalau aku malas ribut?"

Mahesa senang ketika perempuannya duduk dan meraih sepotong brownies. Meskipun senyum itu belum didapatnya, tidak ribut saja sudah merupakan kesenangan. Baginya, tak ada yang lebih menyenangkan dari ketenangan sepulang kerja.

"Kamu malas ribut, tapi bikin gara-gara terus denganku."

Demi mendengar suara yang sudah melunak itu, Mahesa menggeser duduknya. Tangannya membelai kepala perempuannya dengan sayang. Diselipkannya sedikit rambut ke balik telinga, supaya wajah cantik itu terlihat jelas olehnya.

Dari dulu sampai sekarang, wajah itu tak pernah gagal membuatnya senang. Tetap cantik dengan atau tanpa makeup. Mata yang kadang berkedip genit itulah yang paling disukainya. Menurutnya, tak ada yang sanggup membuatnya luluh dalam kemarahan seburuk apa pun kecuali kerling manja dari si pemilik hatinya ini.

"Aku bikin gara-gara gimana, Hes? Aku hanya sedang mengusahakan untuk mendapatkan waktu darimu."

"Kamu sudah mendapatkan waktuku," sela Mahesa.

"Waktu yang mana? Bukankah waktumu habis untuk Prasasti?"

Itu lagi. Kalau bisa memilih, Mahesa juga tidak ingin berada dalam kondisi seperti sekarang ini. Dia mencintai perempuan ini dan ingin mengabulkan apa pun permintaannya. Namun, ayahnya juga harus dipikirkan kebahagiaannya. Ayahnya adalah orang tuanya yang tersisa dan Mahesa tidak ingin kehilangan lagi.

Kehilangan Ibu merupakan saat terburuk untuk Mahesa. Sosok tegas yang berperan besar pada pertumbuhannya. Bagaimana disiplinnya beliau menerapkan segala yang telah ditetapkan untuknya. Sosok yang juga turut menilai baik dan buruknya teman bagi dirinya.

Awalnya Mahesa suka dengan sikap ibunya. Dia yang merasa dewasa tidak terima diperlakukan seperti anak-anak. Sebenarnya, tidak persis seperti itu, tetapi perasaan orang tua memang tak bisa diremehkan. Dua dari temannya terjerumus dalam penggunaan obat terlarang dan itu mulai membuka matanya.

"Aku nggak perlu keterdiamanmu, Mahesa."

Suara lembut itu menarik Mahesa dari ingatan masa lalunya. Di hadapannya, terhidang sepiring risol mayo yang entah kapan dihidangkan. Masih panas dan aromanya menggugah selera.

Mahesa tersenyum, siapa yang akan menghabiskan makanan itu? Meskipun hanya enam potong, tetapi perutnya sudah kenyang. Mungkin nanti, beberapa saat lagi saat perutnya sudah terasa sedikit longgar.

"Aku harus ngomong apa?"

"Aku mau waktu kita kembali seperti sebelumnya."

Mahesa hanya mampu menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan. Selalu itu yang dilakukannya ketika permintaan yang sama disampaikan berulang-ulang. Dia bukan tak mampu memenuhi, tetapi keadaan yang serba sulit membuat itu jadi berat.

"Aku tak harus menjawab permintaanmu berulang-ulang, 'kan, Sayang?"

"Sampai kapan aku terus mengalah pada Prasasti?"

Mahesa menahan kekesalan yang kembali muncul ketika nama Prasasti disebut-sebut. Meskipun pernikahan itu hasil dari perjodohan, tak sedikit pun ada kelakuan menantu pilihan ayahnya itu yang tercela. Perempuan itu justru sangat menaruh hormat tak hanya padanya, tetapi juga pada ayahnya. Bahkan kepada Simbok yang hanya asisten rumah tangga pun, Prasasti juga sangat sopan.

Ada waktu-waktu ketika dirinya begitu menyebalkan dengan mengabaikan Prasasti karena banyak alasan. Namun, belum pernah sekali saja istrinya itu marah atau menampilkan wajah yang tak enak dipandang. Senyum teduh tetap terkembang menyambutnya sepulang kerja, disusul secangkir kopi dan camilan begitu dia selesai membersihkan diri.

"Kau tak pernah mengalah dalam hal apa pun karena Prasasti tak tahu apa-apa."

"Aku mengalah untuknya, Mahesa! Bahkan sejak pertama dia masuk dalam hidupmu sebagai menantu pilihan ayahmu."

"Mengalah itu kalau Prasasti sengaja menghabiskan waktuku sementara kau hanya diam di rumah." Mahesa mencoba menjelaskan lagi keadaan yang ada di antara mereka. "Dalam kondisi kita, hanya kau yang tahu segalanya."

"Aku tidak terima keadaan menjadi berbalik seperti sekarang, Mahesa!" Lagi-lagi perempuan kesayangan Mahesa itu kehilangan kendali dirinya. Suaranya meninggi, wajahnya memerah, dan matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu pikir aku apamu?"

"Aku tidak bisa menjanjikanmu sesuatu yang tak bisa kupenuhi. Ayahku adalah pri—"

"Ya aku tahu! Sampai dia ma—"

"Jaga bicaramu!" geram Mahesa. Dia bangkit dan meraih kunci mobilnya. "Aku sudah memaafkanmu karena kamu berkata yang tidak-tidak tentang ayahku, tapi jangan diulangi lagi. Aku pulang, tenangkan dirimu! Jangan sekali-kali menghubungiku atau kau tahu sendiri akibatnya."

"Mahesa jangan seperti ini!" Sepasang lengan melingkari tubuhnya dari belakang. Langkah Mahesa terhenti dan kembali menarik napas berkali-kali untuk menenangkan dirinya.

"Jangan menahanku ketika aku sedang marah! Lepaskan sebelum aku mengatakan sesuatu yang akan kita sesali!"

"Maaf, Hes. Aku mungkin keterlaluan, tapi aku terlalu cemburu karena waktumu hampir habis untuk Prasasti."

Mahesa berbalik dan mematung melihat perempuan yang mulai menangis itu. Kalau urusannya cemburu, dia paham dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memperkeruh suasana. Sungguh, hubungan yang berantakan bukanlah hal yang pernah dipikirkannya sebelum ini. Sebisa mungkin dia berusaha agar semuanya seimbang dan bahagia.

"Mengertilah dan tambahkan sabarmu. Setidaknya sampai Ayah tidak lagi mengawasiku seperti sekarang ini. Saat itu terjadi, kita pasti bisa melewatkan banyak waktu bersama."

Hanya anggukan yang dilihat Mahesa. Dia tidak tega melihat kesedihan di wajah cantik itu. Mahesa melunak dan memeluk erat perempuannya. Perempuan ini adalah satu-satunya yang mengerti bagaimana mencintai. Mengerti dirinya dengan baik serta situasi di rumahnya meski tak jarang rasa cemburu hadir di antara mereka.

"Mau makan di luar?" tanya Mahesa.

"Mau." Si cantik itu mengangguk seraya menghapus air matanya.

Mahesa melepaskan pelukan mereka. "Bersihkan dirimu dan berdandanlah yang cantik! Aku menunggu di sini." Senyumnya mengembang setelah membalik badan perempuan itu supaya pergi ke kamar dan bersiap-siap.

Hmm. Mahesa minta diapain? Mengsedih kan punya lakik kek gini🤐🤐

Btw mampir dong, temans ke cerita baruku. Cerpen doang. 1 bab selesai. Ini di 👇

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top