19. Bona
“Kalau mereka nggak ketemu gimana?” cicit Nayeon semakin kalut tampaknya. Menunggu sekian lama, menanti kabar dari ketiga teman mereka yang katanya lagi cari bantuan, tapi sejak dua puluh menit kepergian mereka, kabar pun belum terdengar.
Bukan cuma Nayeon saja yang panik sampai overthinking. Lainnya pun bersikap demikian serupa, apalagi Scoups jauh lebih panik. Mengingat orang hilang tersebut juga kekasihnya. Gimana dia mau duduk tenang, menunggu kabar yang nggak kunjung juga terdengar.
Sejak lalu, sosoknya itu berdiri dengan gusar bersama Bobby dan Johnny yang berusaha menenangkan dirinya. Setiap kali dia ingin pergi mencari keberadaan sang pacar, aksinya itu spontan dicegah oleh mereka. Memberontak pun percuma kalau pada akhirnya Taehyung ikut membantu mempersulit pergerakannya.
“Tenang, Scoups. Lo jangan gegabah main pergi gitu aja,” kata Bobby.
“Bona hilang, ngerti nggak?” hardiknya dengan sepasang netra mendelik marah.
“Gue ngerti cuma—”
“Persetan dengan cuma! Gue nggak peduli, gue mesti cari Bona!”
“Scoups!” Bentakan Seolhyun langsung dibalas dengan sigap oleh ketiga cowok yang kemudian menahan gerakan pacar sang dara yang hilang entah ke mana. Sempat terjadi pertikaian, yang menyebabkan keadaan semakin runyam, beberapa cewek menonton hal tersebut tersentak kaget sekaligus bingung mesti melakukan peleraian seperti apa, terlebih mereka saat ini sama-sama sedang berduka.
“Astaga, kalian berhenti!” Teriakan Nayoung nggak mampu buat menghentikkan mereka. Walaupun satu lawan tiga, kemampuan bela diri Scoups patut diacungi jempol. Nyatanya dia nyaris menerobos kabur dari dinding pertahanan ketiga cowok tersebut.
“Scoups, Bobby, Johnny, Taehyung ... stop!” Hwasa kontan menangis, turut prihatin atas peristiwa malam ini. Niat hati ingin menyenangkan diri dengan mengadakan liburan bersama di sebuah villa, justru hal itu menjadi sebuah malapetaka. Bukan kesenangan yang didapatkan, melainkan bencana.
“Kalian kalau nggak berhenti berantem, gue pentung kalian pakai vas bunga!” ancam Sowon, percuma juga.
Nggak kelihatan berantem sih, kalau situasinya yang dilakukan oleh Bobby, Johnny, dan Taehyung adalah bertahan, membentuk sebuah temeng menjaga, sedangkan Scoups berjuang untuk menerobos keluar.
Jisoo barangkali ingin membantu, tapi dia cuma mampu diam mengamati, telanjur syok sejak berita hilangnya Bona dan Jimin. Pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya, bagaimana bisa mereka menghilang? Sedangkan pikirannya yang lain terus mempertanyakan, barangkali satu pemikiran sama Scoups, kredibilitas dirinya sebagai seorang teman. Mengapa dia hanya duduk menanti kalau bisa juga pergi mencari?
Hal demikian terus-menerus mengusik dirinya sehingga di saat semua orang terpusatkan pada perkelahian, Jisoo diam-diam menyelinap keluar. Tanpa mengajak siapapun, dia bertekad mencari kedua temannya seorang diri. Entah mengapa menyakini bahwa mereka masih ada di sini. Jisoo sekadar perlu mencari cara untuk dapat melihat keberadaan mereka saja.
Isi kepalanya nggak memberikan tujuan pasti, melainkan kakinya sendiri yang melangkah mengikuti naluri. Bergegas naik ke lantai dua, tempat yang belum dia singgahi semenjak datang kemari, demikian juga teman-temannya belum sempat bertandang kemari. Kegiatan di hari pertama kedatangan mereka lebih banyak terjadi di lantai dasar, dan Eunbi—si anak penjaga villa—mengatakan bahwa lantai dua hanya ada sedikit ruang. Di sana cuma ada satu kamar yang dikhususkan untuk pemilik rumah, kebanyakan kamar ada di lantai dasar, dan cewek itu berkata benar adanya.
Lantai dua hanya ada satu kamar. Sisanya ruangan terbuka luas, minim perabotan, sekadar satu bangku goyang dan sofa panjang warna merah marun, yang menghadap ke perapian. Membuat Jisoo bingung mesti mencari ke sisi bagian mananya kalau di sini minim tempat persembunyian.
“Jisoo.”
Spontan dia berbalik, kala mendengar bisikan seseorang yang dirasa dikenalinya.
“Jisoo.”
Jisoo berbalik lagi sembari memperkuat indra pendengarnya. Mencari sumber panggilan yang samar-samar tertangkap makin jelas olehnya.
“Jisoo.”
Suara itu berasal dari di balik pintu ruangan tersebut. Satu-satunya kamar di lantai dua. Tanpa pikir panjang lagi, Jisoo berlari menyusul ketika pintu tahu-tahu membuka lebar, memberinya akses secara cuma-cuma. Namun, beberapa langkah mendekat, kakinya mendadak berhenti saat menangkap sosok bertubuh besar menghalangi pintu. Bola mata sosok itu menatap lurus ke arahnya, wajahnya tanpa samar, tapi sepertinya Jisoo mengenalinya.
Alih-alih takut diperlihatkan sosoknya yang besar, tinggi, gelap, dan bermata menyala, justru dia membalas pandangannya dengan seraut menebak. Mendadak dirinya mendapatkan keberanian membalas langsung tatapan si makhluk dari dimensi lain tersebut. Pun berani mendekatinya meski raut si hantu nggak dapat diperhatikan secara cuma-cuma.
Entah ini hanya perasaan Jisoo saja atau memang iya, sosok itu kelihatan nggak senang saat didekati olehnya atau justru karena Jisoo hendak masuk ke ruang tersebut. Dia masih ingat betul bahwa sosok inilah yang dilihatnya di sekolah waktu itu. Sosok yang mengagetkan dirinya bersama lainnya sehingga terjadi insiden pingsan serentak.
Semakin mendekat, sosoknya semakin menghilang, menyisahkan pintu terbuka lebar untuknya. Jisoo mengesampingkan kebingungan yang didapatkannya saat ini, lantas masuk dan langsung terpukau oleh isi kamar yang serba merah. Dari cat dinding, perabotan, tirai, karpet hingga ranjang diselimuti oleh warna merah.
Selain didominasi merah, hal lain yang membuatnya terpukau ialah kepala hewan yang terpajang di dinding. Sebuah kepala kambing bertanduk besar tampak menyatu dengan merah, bagaikan kamar berdarah atau bisa jadi kamar berapi. Jisoo meremang, kemudian mengakhiri sesi menilik interior kamar, dan netranya terpusatkan pada ranjang king size berselimut seprai merah tanpa motif di sana.
“Ya Tuhan, Bona!” Matanya membelalak kendati terkejut mendapatkan temannya tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang. “Hwasa, Seolhyun ... Scoups, Bona ada di sini!” Dia berteriak memberitahukan seraya menangkup tubuh sang teman yang tertidur.
Jisoo menggoyangkan badan sembari memanggil nama, tapi Bona nggak memberikan respon apa pun. Padahal, guncangannya cukuplah keras dan panggilannya pun berisik. Lalu anehnya lagi, nggak ada teman-temannya yang datang menyusul. Entah mereka mendengar panggilannya atau enggak, yang jelas Jisoo menyakini bahwa teriakannya barusan amatlah keras.
Karena cewek ini nggak bangun-bangun juga, dia terpaksa memapahnya seorang diri. Dengan susah payah mengeluarkan Bona dari kamar, dan beberapa kali mereka menabrak perabotan juga nyaris terjungkal jatuh. Sejujurnya dia nggak sanggup memapah, tapi tetap berjuang sekuat tenaga demi menolong temannya.
“Scoups!” Dia berteriak, terus memanggil bergantian nama teman-temannya. Tetapi satu pun teman nggak datang membantu. Menyebabkan Jisoo mati-matian menahan berat tubuh Bona.
Meskipun mereka berhasil keluar kamar, tapi butuh jalan lagi bagi mereka menuruni tangga. Hal tersebut tampak mengerikan untuk Jisoo karena jarak tangga dan kamar tiba-tiba berjarak menjauh. Jisoo mengernyit bingung, berhenti sebentar sekadar berpikir dengan rasional. Mempercayai bahwa seharusnya jarak antara tempatnya bersandar dan tangga dekat, lalu mengapa sekarang berjarak jauh?
Jisoo menampik kemungkinan lain yang mengusik keberaniannya. Diam-diam menelan ludah, berdoa dalam hati, sebelum bertekad melanjutkan melangkah demi menggapai tepi tangga. Bersama Bona yang masih belum sadar diri, dia memapahnya pelan-pelan. Bertekad penuh bahwa mereka pasti berhasil sampai ke tempat teman-temannya. Sebelum sesuatu yang nggak dapat dia lihat secara jelas, tiba-tiba menyebabkan mereka terjatuh bergantian. Lantai dua seolah miring, membuat Bona yang terjatuh terseret ke bawah, kendati juga dirinya.
Jisoo terbeliak lantaran Bona terseret makin jauh darinya. Apabila temannya itu nggak sadarkan diri, sementara tubuhnya makin terseret ke bawah, bisa-bisa dia akan terjatuh ke lantai dasar. Tadinya Jisoo berpegangan pada dinding, tapi kemudian melepaskan pegangan dan meluncurkan bebas dirinya mengikuti kemiringan lantai.
Nyaris saja dirinya gagal menggapai Bona. Ketika dirasa berhasil menangkapnya, tiba-tiba lantai berada di posisi normal. Jisoo bingung, tapi dia nggak bisa berpikir secara rasional karena pada saat ini dia bersama Bona tengah bergelantungan di atas lantai dua. Lalu terdengarlah pekikan histeris teman-temannya yang seolah baru menyadari betapa sintingnya Jisoo dan Bona bergelantungan di atas sana.
Jisoo mendadak gagal menangkap histeria teman-temannya di bawah. Gagal pula melihat raut panik mereka. Seluruh indranya terasa semi berfungsi. Bahkan indra penglihatannya mengabur, tapi samar-samar melihat sesosok perempuan duduk di kursi goyang tengah memandangnya dengan mata menyalang yang mengerikan. Gaunnya merah panjang serupa dengan surai hitam pekatnya tersebut, panjang nan lurus.
Kepalanya terasa berat, kedua tangannya semakin mati rasa. Mulai kesemutan dan nyeri luar biasa karena harus menahan Bona, sedangkan tangan satu mempertahankan diri agar mereka nggak terjatuh ke bawah. Suara tawa berdengung di kepalanya berasal dari sosok perempuan di kursi goyang. Jisoo meringis kesakitan, tak sanggup mengusik tawa si perempuan dan pertahanan diri berada di titik antara, hidup dan mati.
Citra sang adik mendadak memenuhi penglihatannya. Tampaklah Junghwan sedang menangis dan memanggil namanya berulang kali. Tangan kiri Jisoo sudah tidak sanggup bertahan lagi. Dia ingin menyerah dan berpasrah pada takdir yang menanti. Namun, mati bersama seorang teman merupakan bukan kemauannya. Dia nggak mau temannya ikut mati bersamanya. Jika diberikan pilihan, antara dia atau teman, bisa dipastikan bahwa Jisoo akan memilih teman.
Akan tetapi, dalam kondisi demikian, bagaimana caranya dia menyelamatkan Bona apabila mereka sama-sama berada di titik kehidupan antara, mati dan hidup. Jisoo menangis teringatkan citra sang adik yang bersedih karenanya. Kalaupun mati sekarang, bagaimana dengan Junghwan nanti? Jisoo nggak bisa membayangkan Junghwan tinggal di rumah seorang diri, di saat orangtua mereka sedang berada di luar kota.
Bocah itu pasti amat berduka kehilangan dirinya, begitupun dirinya nggak akan sanggup membiarkan sang adik tinggal seorang diri.
Junghwan ....
“Jisoo!”
Kepanikan berasal dari suara itu menyentak kuat kesadarannya. Jisoo mendongak dan terpampang jelas wajah sosok teman karibnya. Ekspresinya bersedih, kelihatan juga mereka telah menangis. Jisoo lega seketika menarik senyum sedikit, mulai lelah hendak melepas pertahanan, lalu mengucapkan salam perpisahan adalah hal yang terbaik saat ini. Ketika sekarang ini dia merasakan cengkraman kuat pada tangan kirinya, disertai tarikan tubuh ke atas.
“Ya Tuhan!” Hwasa menariknya ke pelukannya saat itu juga, begitu dia berhasil dibawa naik ke atas, disusul pelukan Seolhyun kepadanya. “Lo kenapa sih,” racunya tersedat oleh tangis haru yang menenangkan bagi Jisoo.
Jisoo terkekeh pelan, sambil lalu membalas dekapan sang teman. Bersyukur karena takdir seolah berpihak pada teman-temannya. Beruntungnya dia memiliki mereka.
“Bona!” pekiknya, teringatkan teman yang juga ikut terjatuh bersamanya.
Melepaskan pelukan kedua temannya, Jisoo menoleh bingung. Dia nggak menemukan Bona di mana-mana, di tempat ini hanya ada mereka, lalu Bobby dan Johnny yang ternyata ada di sini sedang mengawasi.
“Bona mana?!” tanyanya kalut.
Keempat orang tersebut hanya saling bertukar pandang. Melihat raut bingung teman-temannya, Jisoo lantas menjelaskan pertemuannya bersama Bona, dan dirinya yang nyaris jatuh karena hendak menyelamatkan temannya itu. Diamnya keempat temannya ini seolah memberitahukan Jisoo bahwa apa yang dirasa dialaminya bersama Bona ternyata hanyalah ilusi.
Jisoo tampak kecewa. Apabila demikian betul kebenarannya, maka temannya itu belum juga ditemukan.
“Jis.”
Panggilan Bobby menyadarkan Jisoo dari renungan kecewa.
“John, mereka udah balik!” tegur Taehyung menaiki tangga tergesa-gesa sekadar untuk memberitahukan kepulangan teman mereka.
Jisoo mengangkat kepala dengan cepat, tertarik atas pengakuan Taehyung saat ini. “Bona!” Merupakan seruan yang melolong dari ketiga cewek di sini. Mereka lalu bersama-sam bergegas menuruni tangga, nggak sabar menemui teman yang katanya sudah kembali.
Lantai dasar sesak oleh histeria keharuan seorang teman, pun seorang lelaki terhadap kekasihnya. Jisoo lega melihat Bona berada di pelukan Scoups, juga Jimin yang hanya bermodalan handuk melilit tubuh telanjangnya itu sedang bergurau kecil bersama Yuta menghiburnya. Walaupun cowok itu tampaknya tersenyum menanggapi guyonan Yuta dan lainnya, tapi Jisoo dapat menangkap raut takut sekaligus mata kosong Jimin. Barangkali yang lain dapat merasakan, tapi memilih bungkam. Sementara ini mereka tidak akan membicarakan apa pun yang berhubungan dengan hilangnya kedua teman mereka.
Jisoo membuang napas lega. Kedua temannya sudah kembali, esok nanti mereka sepertinya akan langsung pulang setelah peristiwa ini. Jisoo tersenyum memandangi wajah-wajah tenang temannya, sebelum tarikan seseorang mengajaknya ke belakang dan dia terpaksa berbalik demi mendapatkan rangkulan cowok ini.
Dari kebisuan pelukan Taeyong, membuat Jisoo menyadari satu hal bahwa cowok ini mengetahui apa hal yang sudah dialami Jisoo saat kepergiannya mencari teman mereka.
“Gue mau balik aja,” ungkap Jisoo disela usahanya membalas pelukan Taeyong.
Taeyong tidak langsung menanggapinya. Justru cowok ini beralih menutupi kedua telinga Jisoo dengan tangannya itu. Menyebabkan dia tersentak, lalu terisak di pelukannya tanpa suara.
“Suaranya nggak hilang-hilang, Yong,” akunya, setengah mati mengabaikan tawa yang masih saja menggema di kepalanya. Akan tetapi, percuma lantaran Jisoo masih bisa mendengarkan suara sosok itu walaupun sekarang dia terselamatkan.
Aku sibuk kali, dan baru ini bisa update + nulis 😭 padahal dah janji mau double update 😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top