18. Holiday (3)
Jimin merasa ada yang mengawasinya sebab ini dia selalu membawa kamera dan sengaja menyalakan setiap kali tanpa jeda. Bahkan, saat posisi di-charger pun kamera tetap menyala. Demikian ketika dirinya ke belakang guna mandi, membawa serta kamera. Merekam segalanya tanpa melewatkan sekalipun kecurigaan, termasuk ketika dia merasakan ada seseorang yang sedang mengikutinya.
Semenjak dilempar kelereng, Jimin mengedepankan sikap waspada sekaligus curiga. Ditambah, liburan kali ini terasa sepi tanpa ada kegiatan yang memicu adrenalin. Bukannya sok nih, tapi dia butuh hiburan. Kalau bukan karena itu, untuk apa dia ikut kemari?
“Sepi amat deh,” gumamnya setelah sampai di kamar mandi. Diletakannya kamera di atas meja wastafel dengan keadaan menyala, sementara dia bersiap untuk mandi. “Pokoknya habis ini gue mesti ngerusuh.”
Pintu kamar mandi pun ditutup. Bersamaan dengan sekelabat bayangan melintas cepat yang langsung tertangkap oleh lensa kamera. Jimin nggak menyadari hal demikian, telanjur hanyut di bawah guyuran air dingin shower. Sambil bersenandung, merapalkan lirik salah satu lagu kesukaannya, cowok itu sengaja berkoar keras demi mengisi kesunyian kamar mandi. Bahkan, suaranya yang menggema mampu mengalahkan senandung shower.
Jimin terlonjak kaget tatkala mendengar suara benda terjatuh berasal dari luar. Tepatnya di depan pintu toilet. Niat hati ingin mengabaikan, tapi suara itu makin terdengar menganggu dan aneh sehingga dia bergegas menyudahi mandi, cepat-cepat melilitkan handuk ke pinggang.
Pintu toilet dibuka dengan cepat. Netranya spontan menyelidiki sekitar dengan curiga, sampai akhirnya, dia menemukan kameranya jatuh di lantai.
“Bajingan!” Mengumpat marah lantaran kaca bagian depan kameranya pecah. Jimin menatap tajam kekosongan ruang ini disertai roman sensi. “Nggak usah rese lo pada!” Seolah dirinya tahu sosok di balik dalang jatuhnya kameranya.
Hening menyebabkan dirinya beranjak, hendak kembali ke kamar seraya memunguti pakaian kotornya. Namun, pintu toilet yang tiba-tiba menjeblak ke dalam mengagetkannya. “Fuck!” Jimin terlonjat kaget luar biasa. Padahal nggak ada angin ataupun orang di sini selain dirinya, sekalipun ada, pasti akan tertangkap langsung oleh matanya.
Andaikata kameranya nggak terjatuh dan masih menyala, sudah dapat dipastikan Jimin akan merekam segalanya dengan senang hati. Sayangnya, dia harus bergegas kembali kamar untuk memperbaiki kerusakan pada kameranya sebelum digunakan lagi.
Begitu dia menggapai gagang pintu yang tiba-tiba macet sulit dibuka dari dalam. Jimin mengernyit heran, lalu mencoba mengoyangkan knop berulang kali dengan hasil nihil.
“Sialan!” umpatnya kesekian. “Woi, bukain pintunya!” Dan berteriak sembari mengedor pintu meminta tolong.
...
Bona yang sedang berjalan menuju dapur tiba-tiba berhenti, di antara koridor ruang tengah dan dapur. Cewek itu menoleh ke kanan, dahinya mengernyit tengah menduga, apa gerangan yang barusan tertangkap oleh sudut matanya. Iya, secara tanpa sengaja Bona melihat sebuah pergerakkan di lorong sebrang kanan. Seolah ada seseorang yang lewat, tapi gerakannya terlampui cepat bagaikan karakter superhero yang bisa berpindah tempat dalam hitungan detik.
Roman sang dara menunjukkan keingintahuan yang begitu ketara, tapi Bona menolak untuk mencari tahu. Barangkali tadi kucing, mengingat Eunbi sempat memberitahukan bahwa di sini ada banyak kucing liar yang sudah menjadikan villa ini sebagai tempat berteduh. Pemilik villa acapkali merawat kucing liar tanpa berniat memomongnya, Hwasa pun membenarkan kalau sepupunya itu cat lovers namun terlalu takut merawat lantaran orangtuanya melarang.
“Hai, Sayang.”
“Astaga, Scoups!” Bona tersentak saat tiba-tiba Scoups muncul dari belakang dan memeluknya. “Kamu ngagetin aja! Atau jangan-jangan yang lewat barusan itu kamu?”
Scoups sekadar terkekeh, merenggut pinggang ramping sang kekasih ke pelukannya. “Ngomong-ngomong nih, aku barusan nemu taman di belakang rumah. Ke sana, yuk?”
“Ngapain malam-malam ke belakang? Aku mau ke dapur, masak air buat mandi.”
“Halah, urusan mandi belakangan aja. Mumpung di sini, liburan, aku mau berduaan sama kamu.”
“Scoups ....”
“Please,” rengek cowok ini yang justru menyebabkan Bona nggak bisa mengelak dari permintaannya. Apalagi tiga bulan kemarin mereka nggak ketemu jadi wajar saja kalau Scoups masih ingin menghabiskan banyak waktu berdua dengannya.
Yang mana pada akhirnya Bona mengiyakan, tapi dengan syarat kalau setelah jam delapan Scoups harus membiarkan dia memasak air hangat untuk mandi.
“Makasih, Sayangku,” balasnya sembari mencium pipi sang kekasih sebelum menggandengnya pergi menuju taman yang dilihatnya sore tadi.
...
“Menurut lo tempat ini angker nggak, sih?” tanya Sowon selagi mereka di kamar bertiga sementara Bona barusan pamit ke dapur buat memasak air panas.
“Sejauh ini gue lihat Jisoo belum dapat cegukan, berarti aman-aman saja,” kata Nayeon, melirik teman mereka yang saat ini sedang mengerikan rambut. “Iya, kan, Jis?”
Jisoo terpaksa mengangguk dan tersenyum tipis kala bertemu mata dengan Nayeon. Namun, dengan cepat dia menunduk. Rasanya nggak sanggup melihat ekspresi kedua temannya itu, terutama saat dirinya tengah berbohong. Siapa bilang Jisoo belum mendapatkan cegukan? Tanpa mereka ketahui bahwa sudah tiga kali ini dia cegukan. Siapa bilang juga tempat ini nggak angker? Walaupun semua tempat tinggal angker, tapi di sini Jisoo merasakan sesuatu yang lain.
Bukan cuma dirinya yang merasakan, Taeyong pun sependapat sama dirinya. Akan tetapi, mereka berdua kompak supaya tetap tutup mulut sebelum memastikan sendiri sosok yang meninggali tempat ini. Taeyong mengatakan kalau saat ini Junkyu sedang menyelidiki, sedang bertanya dengan kenalannya yang kebetulan sosok itu baik meskipun nggak banyak informasi yang didapatkan darinya.
Sebelumnya Jisoo sudah menanyakan beberapa hal sama Hwasa, hanya saja cewek itu nggak banyak tahu tentang pemilik villa. Memang benar sepupunya merupakan pemilik villa, tapi untuk urusan internal, Hwasa sama sekali nggak tahu apa-apa. Mengingat mereka hanya sering bertukar sapa lewat medsos, sementara sepupunya itu sudah menetap di Amerika dari enam tahun lalu.
“Jis. Jisoo. Jisoo!”
Panggilan disertai lemparan bantal seketika menyadarkan dirinya akan keberadaan bumi. Baik Nayeon maupun Hwasa, kedua cewek mendelik kecil lalu mengerutu—sesuatu yang nggak dapat Jisoo dengar jelas.
“Jangan keseringan ngalamun. Noh, dicariin Taeyong,” ujar Sowon menunjuk ke arah pintu. Mulanya dia berpikir temannya sedang berbohong. Ternyata memang ada Taeyong, berdiri di sisi pintu, dan tersenyum saat mata mereka berserobok.
Jisoo langsung berdiri menyusulnya.
“Kalian kalau udah jadian nggak usah sungkan gitu, atuh.” Ledekan Nayeon itu disertai suitan menggoda dari Sowon. Menimbulkan kecanggungan Jisoo terhadap Taeyong saat ini. Lalu digantikan kedua cewek itu terkekeh kompak sehingga Jisoo berbalik untuk melemparkan handuk kepada mereka.
Beruntungnya dia berhasil membungkam mereka. Nah, sebelum dirinya mendapatkan omelan, Jisoo berjalan cepat menyusul Taeyong lantas menariknya agar bergegas meninggalkan tempat itu, atau bagian terburuknya Taeyong melihat perang bantal ala cewek.
“Kenapa mesti terburu-buru?” tanya Taeyong.
Tanpa menoleh belakang dan terus saja berjalan melewati beberapa teman yang menilik curiga terhadap mereka.
“Lo nyamperin mau bahas soal itu ‘kan? Nah, mendingan kita bahasnya jangan di sini. Lebih amannya di luar aja, biar yang lain nggak tahu. Kan, lo sendiri bilang supaya kita tetap tutup mulut.”
“Kenapa lo mikir begitu? Siapa bilang gue mau bahas itu?”
Sambil terus menariknya berjalan, dia menjawab, “Ya, apalagi kalau bukan itu urusan kita.”
Cowok itu justru terkekeh kemudian balik mencengkram lengan Jisoo dan menghentikkannya.
“Kok berhenti?” Melihat kanan-kiri waspada. “Di sini nggak aman buat ngobrol. Tuh, denger suara Hwasa sama Johnny.” Entah sedang terjadi apa di sana, yang pasti suara perdebatan antara Hwasa dan Johnny, lalu disusul Seolhyun tertangkap jelas oleh indra mereka. Namun, sepertinya hal tersebut nggak menarik perhatian Taeyong.
“Gue lagi nggak mau soal bahas itu,” katanya sengaja menatap lurus sepasang manik coklat terang milik Jisoo lamat-lamat. “Tadinya cuma mau ngecek aja, lo udah tidur atau belum.”
“Ya kali, baru jam segini tidur.”
“Habisan selama di perjalanan lo tidur terus, Jis. Siapa ngerti setelah sampai villa lo lanjutin tidur.”
“Oke, langsung keintinya. Dan lo lihat gue belum tidur, terus apa?”
Cowok itu belum mau menjawabnya. Sekadar diam dan mengamati seraut cantik yang dijadikan satu-satunya objek pemandangannya. Sambil diam-diam menautkan kelima jari mereka. Jisoo seketika dibuat salting oleh sikapnya ini. Mendadak pandangannya turun ke bawah, telanjur malu membalas tatapannya.
“Jis, kedengarannya ini dadakan. Padahal, kita juga belum lama kenal sih. Cuma gue pengen lo tahu kalau gue mulai—”
“Taeyong, Jisoo ... Jimin hilang!” teriak Yuta panik sekaligus mengagetkan mereka.
Saat mereka menoleh hendak bertanya, tiba-tiba Scoups muncul dengan roman nyaris paniknya seperti Yuta.
“Bona juga hilang!”
“Hah, kok bisa?” pekik Hwasa berlari mendekatinya.
“Gue cari ke kamarnya, tapi kata Nayeon sama Sowon dia di dapur masak air. Gue susul ke sana nggak ada orangnya. Terus gue cek kamar mandi pun nggak ada, dan dia nggak ada di mana-mana, gue udah keliling villa tetap nggak nemu. Please, cewek gue hilang!”
Sekujur tubuh Jisoo lemas seketika mendengar berita menyedihkan atas kehilangan teman baiknya. Taeyong menyadarinya dengan sigap merangkul, membawanya ke salah satu sofa terdekat, lalu mendudukannya di sana.
“Yong, apa mereka ....” Taeyong menyuruhnya diam saja sembari meminta Seolhyun agar bersama Jisoo.
Astaaga, mereka belum ada sehari di sini, tapi mulai kehilangan dua teman sekaligus.
“Kalian jangan panik dulu,” seru Taeyong menenangkan keadaan yang sekarang mulai kelihatan wajah-wajah panik, terutama cewek-cewek. “Mereka belum hilang. Mereka masih ada di sini.”
Nggak ada yang ingin menyela perkataannya. Seolah mempercayakan sepenuhnya pada Taeyong karena hanya dialah yang dapat melihat dunia lain. “Kalian ingat kejadian sekolah dan kampus?” Semuanya mengangguk, terkecuali Jisoo. “Pokoknya tetap berkelompok, jangan ke mana-mana sendirian.”
“Tapi cewek gue ....”
Bobby menepuk pundak Scoups, menyakinkan dirinya untuk percayakan saja hal ini sama Taeyong. “Bona bakalan ketemu. Percaya sama dia.”
Scoups menatap ragu Taeyong sebelum akhirnya mengangguk setengah hati.
“Jangan pergi sendiri,” pesannya demikian. Lantas pamit untuk mencari keberadaan kedua teman mereka, tapi mendadak Yuta dan Siyeon mengikutinya.
“Yong, lo mesti tahu ini.” Yuta kemudian menjelaskan firasat yang didapatnya selama dua kali dengan satu orang sama. Taeyong sempat akan berargumen, tapi gelengan Siyeon memintanya supaya nggak mengeluarkan pendapat pribadi.
“Lo yakin mereka masih di sini?” tanya Siyeon tiba-tiba. “Firasat gue mereka udah nggak di sini.”
“Maksud lo?” hardik kedua cowok itu barengan. “Yeon, lo jangan nakut-nakutin deh,” sambung Yuta khawatir sambil menengok ke gerombolan teman-temannya di ujung sana.
Siyeon memang bukan seperti Taeyong yang dapat melihat dan keluar masuk dunia lain, bukan juga seperti Yuta yang dapat mencium bau kematian, ataupun seperti Jisoo (yang baru-baru dia kenal) dapat merasakan kehadiran hantu lewat cegukannya. Dia sedikit berbeda dari mereka, tapi sama-sama berhubungan dengan hantu. Dibandingkan mereka, Siyeon dapat berkomunikasi dan bisikan dari hantu itu sendiri. Sayangnya, komunikasi mereka hanya terjadi saat si hantu memang ingin berkomunikasi bukan karena Siyeon yang memanggil, tapi sebaliknya.
“Yang pasti dia bilang, mereka akan membawa pergi dua teman. Gue awalnya nggak ngerti maksudnya apa, tapi pesan terakhir yang dia sampaikan berupa gambar pohon. Gue udah nanya sama Hwasa tentang pohon itu di lingkungan ini tapi dia nggak tahu apa-apa. Sementara tebakan gue, mereka udah gak ada di villa, melainkan dibawa ke tempat itu.”
“Kenapa lo gak bilang dari awal?” tandas Yuta tak habis pikir.
“Yut, gue baru lihat gambarnya waktu di kamar mandi. Malam ini juga.”
“Ya ampun, terus gimana dong?”
Taeyong belum mau mengeluarkan amsusinya, tapi yang dikatakan oleh Siyeon barangkali ada benarnya juga. Kalau memang kedua temannya nggak ada di sini, satu-satunya yang harus mereka lakukan adalah mencari pohon tersebut.
“Telpon Eunbi suruh kemari,” ujar Taeyong menoleh pada Siyeon, mengharapkan padanya supaya meminta bantuan si cewek, anak penjaga villa. “Yut, lo temenin Siyeon cari pohon itu, sekalian bilang sama lainnya supaya jangan panik.”
“Lo sendiri mau ke mana?”
“Cari bantuan,” jawabnya hendak berbalik namun tak urung. “Bilang ke Jisoo juga, jangan pergi tanpa rombongan.”
“Iya, deh, yang udah punya someone special.”
“Gue serius!” ketus cowok tersebut, dan sayangnya, dia sekadar mendapatkan cengiran Yuta saja.
“Sonoh pergi cari bantuan, biar urusan di sini gue sama Siyeon,” katanya.
Taeyong mengangguk mengerti. Lega rasanya kalau ada orang yang dapat diajak kerjasama. Dan semoga saja teman-temannya itu saat ini dalam keadaan baik-baik saja.
Semoga ucapan Siyeon benar, dan semoga ucapan Yuta salah.
Kalau malam ini gue free, nanti malam gue double update. Kalau enggak berarti besok aja ehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top