13. Keteledoran
Siapa mengira kalau hantu bernama Yuqi ini telah menunggunya di dimensi lain. Jangan terkejut apabila saat ini Taeyong sudah berada di gedung tua lagi, dengan Junkyu yang ternyata bersama hantu Yuqi.
Taeyong menghampiri mereka sempat akan bertanya, ada apa mereka membawanya kemari dan sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh Yuqi padanya bersama Jisoo. Namun, Junkyu memberitahu kalau Yuqi nggak bisa bicara, dia menyampaikan lewat bahasa isyarat yang mudah bagi Taeyong untuk memahaminya.
“Terus apa?” Junkyu menarik tangan Taeyong dan Yuqi bersamaan. Mempertemukan kedua tangan tersebut hingga sesuatu sedang berubah di sekitar mereka.
Taeyong mengerjap, nggak perlu terkejut apabila latarnya berubah dari gelap menjadi terang sebab matahari masih berada di atas kepalanya. Netranya memindai sekitar kemudian memahami apa yang ingin disampaikan oleh Yuqi pada mereka. Hantu itu menunjukkan peristiwa yang ada di penglihatan Jisoo.
Hari saat kematian Yuqi, ketiga pria itu membunuh gadis remaja ini dengan bringas tanpa ampun. Bahkan mereka keji memotong lidahnya sampai nggak bisa berteriak meminta tolong. Suaranya teredam oleh bekapan salah satu dari mereka, dan Taeyong membuang wajah, enggan melihat kekejian ketiga manusia berhati iblis.
“To-tolong.” Perkataan Yuqi terdengar nggak jelas, tapi indra Taeyong dapat menangkap tiap kata yang dilafalkannya dengan baik. Mata penuh tangis juga belas kasihan menatapnya lurus penuh harap, diikuti jari yang terluka menunjuk ke tanah. Di bawah gadis itu berdiri.
Taeyong mengikuti petunjuk dan samar-samar melihat apa yang semestinya dilakukan olehnya. Bukan untuk menemui orangtuanya demi memberitahukan penyebab kematian gadis ini, melainkan dia ingin lidahnya ikut dikuburkan bersama jasadnya. Sadar permintaan sang hantu, dia tertarik lagi ke tempat semula, bersama Junkyu dan hantu Yuqi yang kini mengangguk harap padanya.
“Jangan kasih tahu kematiannya,” kata Junkyu mengingatkan. “Dia nggak mau orangtuanya sedih.”
Taeyong menatap Yuqi sebelum kemudian membuang napas. Entahlah, dia nggak begitu setuju tanpa memberitahukan penyebab kematian remaja ini pada orangtuanya. Yang mana membiarkan tiga pria itu bebas tanpa harus menerima hukuman atas perbuatan keji mereka. Inilah alasan mengapa Taeyong benci membantu hantu yang masih memiliki sifat manusianya, kebaikan dan memaafkan.
“Oke,” jawabnya kemudian dengan terpaksa mengiyakan.
Junkyu mengangguk turut senang kepada Yuqi yang kali ini melihatkan ekspresi penuh berterima kasih pada Taeyong. Setidaknya setelah bagian dari tubuhnya lengkap, dia nggak perlu lagi gentayangan di dunia manusia. Sudah waktunya bagi Yuqi berada di tempat seharusnya, merasakan kedamaian nan kehidupan lain yang menantinya.
“Taeyong! Taeyong, bangun! Taeyong!”
Kesadarannya spontan terbangun penuh berkat panggilan dan guncangan di pundaknya. Cowok ini mengerjapkan mata sempat dibuat linglung sebelum dirinya menangkap raut cemas Jisoo. Taeyong segera bangun untuk duduk, menoleh ke cewek di samping yang sepertinya sedang mengalami sesuatu hingga menyebabkan dirinya bersikap demikian.
“Kenapa?”
“Junghwan!” Nadanya terdengar naik satu oktaf, mengejutkan Taeyong seketika, disertai ekspresi kalut tanpa dibuat-buat. “Gue lupa, astaga, Junghwan di rumah sendiri!”
Barulah dia menyadari penyebab cewek ini bersikap begini. Dia terpikirkan adiknya. Mengapa juga Taeyong nggak terpikirkan juga anak laki-laki tersebut?
“Gimana dong? Dia di rumah sendirian.”
Sekalipun mereka balik sekarang, butuh tiga atau empat jam buat sampai ke rumah. Percuma juga untuk pulang, toh sekarang sudah mendekati jam tiga pagi. Belum lagi ada satu urusan yang harus diselesaikan oleh Taeyong dan Jisoo di sini. Kalau mereka nggak menempati janji membantu Yuqi, hantu itu pasti merasa kecewa. Sementara bagian terburuknya, Yuqi menjadi hantu diselimuti aura balas dendam. Bisa jadi, dia menghantui mereka karena lalai akan janji.
“Jarak rumah lo sama hotel jauh. Sekalipun pulang percuma. Jangan lupa, lo udah janji sama Yuqi.”
“Terus adik gue gimana? Dia pasti nungguin gue pulang. Ya ampun, bisa-bisanya gue lupa!” Jisoo meremas seprai kasur melampiaskan kekesalan atas ketelodorannya sebagai seorang kakak. Membayangkan sang adik masih terjaga di ruang tengah menunggu kepulangannya, membuat Jisoo merasa bersalah. Belum lagi di rumah mereka nggak ada siapa-siapa sementara orangtua mereka masih berada di luar kota.
Taeyong berusaha menenangkan dirinya. “Oke, begini, mending minta tolong sama teman lo buat nemenin Junghwan.”
“Hape gue di mobil! Lo juga ngelarang ngambil,” ujarnya menyalahkan.
Tapi larangannya karena punya alasan tersendiri. Taeyong mendesah memaklumi Jisoo yang menyalahkannya. “Pakai hape gue aja,” katanya mengambil ponsel di dalam saku jaket. “Minta tolong teman lo.”
“Aduh, jam segini yang masih melek siapa?” tuturnya dilema. “Hwasa!” Dengan terburu-buru dia mengambil ponsel Taeyong. Mencari kontak temannya itu di group chat. Gampang baginya menemukan kontak Hwasa karena dialah admin group.
Jisoo langsung menghubunginya tanpa pikir panjang. Walaupun Hwasa dikenal sering bergadang, tapi Jisoo meragukan akan hal ini. Sempat cemas lantaran si pemilik kontak nggak mengangkat panggilannya, ingin menyerah juga hingga kemudian Hwasa mau mengangkat.
“Hwasa!” seru Jisoo kegirangan tanpa sadar telah mencengkram tangan Taeyong.
Alasan Hwasa sengaja lama menerima panggilan dari kontak bernama Taeyong, dia mengira cowok ini sedang usil atau salah sambung barangkali. Dikarekan panggilannya tetap berlanjut sampai membuatnya jengah, dia pun menyerah, mengangkat dan dikagetkan oleh suara seorang teman yang amat dikenalnya.
“Astaga, Jisoo!” balasnya tak menduga. “Kok lo bisa—”
Jisoo segera menyela Hwasa sebelum dia menanyakan banyak hal padanya. “Sa, lo bisa datang ke rumah gue sekarang? Gue nggak tahu mesti minta tolong siapa, tapi please, bantuin gue. Junghwan ada di rumah sendiri. Gue benar-benar takut dia jam segini masih melek, nungguin gue pulang sementara gue belum bisa balik sekarang.” Matanya lalu bertemu mata Taeyong. “Gue mohon banget, Sa. Temenin adik gue sekarang, dan bilang ke dia gue baru balik—hari ini ‘kan?” Taeyong mengangguk, “nanti sorean. Sa, lo bisa bantuin gue ‘kan? Hallo? Sa, Hwasa, lo dengerin gue nggak?”
“Lo di mana, sih?” tanyanya setelah terpengerah oleh rentetan permintaan Jisoo. “Kok lo bisa,”—melihat nama kontak di ponsel—“sama Taeyong? Sumpah?!”
Oke, barangkali Jisoo sudah menyebabkan temannya terkejut mengingat dengan siapa dia sekarang. Hwasa pasti sedang bertanya-tanya, yakin deh, dia akan melayangkan banyak pertanyaan pada Jisoo. Tapi mengesampingkan kebingungannya itu, Jisoo segera menyela dengan permohonan supaya Hwasa menemani Junghwan sekarang. Dia janji setelah pulang nanti memberitahu segalanya, asal Hwasa bersedia ke rumahnya.
Lega sekali mendengar jawaban Hwasa tanpa protes. Percakapan mereka berakhir setelah kesepakatan berdua. Jisoo tersenyum lega pada Taeyong sembari mengembalikan ponselnya. Tepat saat ponsel kembali pada sang pemilik, terdapat tiga sekaligus pesan masuk dari Hwasa, mengiriminya banyak rentetan pertanyaan yang sepertinya bersifat wajib dijawab atau Hwasa akan menerornya.
Tanpa mempedulikan pesan, Taeyong menyimpan ponsel ke saku jaket lagi. Masih jam segini, mereka dapat kembali tidur sebelum pergi ke gedung tua guna mengambil lidah Yuqi yang tertinggal lalu menyerahkan pada pihak keluarganya supaya menguburkan bersama jasadnya. Taeyong menoleh ke Jisoo yang tengah bersandar di papan ranjang, kali ini romannya tampak lega, nggak sekalut sebelumnya.
“Nggak tidur lagi?”
Cewek itu menggeleng sembari membalas tatapannya. “Susah buat tidur lagi kalau udah kebangun.”
Taeyong mengangguk lantas mengikutinya, menyandarkan punggung di papan ranjang. Berdua mereka duduk bersisian, dengan lengan saling bersentuhan, dan tatapan kali ini memandang lurus ke depan. Lewat layar TV, mereka dapat melihat citra berdua duduk berdampingan.
“Lo itu indigo, ya, Jis?” tanya Taeyong.
Jisoo mengangkat bahu. “Bisa jadi.” Kemudian bertanya balik, “Lo pasti kesulitan hidup normal selama bisa ngelihat hantu.”
“Nyaris gila bahkan.”
Cewek di sampingnya terkekeh sempat meliriknya sebelum kembali fokus melihat citra mereka lewat layar TV yang hitam. “Orang-orang pasti pikir lo aneh.”
“Bisa lo bayangin sendiri.”
“Nggak pernah nyoba buat nutup kemampuan lo itu?”
Kali ini cowok di sampingnya mengangkat bahu dan sempat juga melirik cewek sebelahnya sebelum fokus ke layar TV. “Dulunya pernah kepikiran buat gitu, tapi setelah gue pikir-pikir, ada untungnya juga bisa ngelihat sesuatu yang nggak bisa dilihat orang lain. Kayak lo juga kan, bisa ngerasain yang nggak bisa dirasain orang lain.”
“Tapi ini cukup menganggu.”
“Karena lo merasa diganggu,” duganya. “Ya, emang sih, ada beberapa hantu iseng, tapi banyak juga kok, mereka datang dengan niat baik. Nggak semua hantu punya niat menganggu, contohnya kayak hantu di rumah lo.”
“Tapi nggak semua juga baik ‘kan?”
“Sebelas, duabelas sama sifat manusia,” balasnya lalu mereka saling terkekeh, sepemikiran. Mengisi keramaian kamar dengan tipe deluxe twins room ini.
Sebelum kemudian menjadi hening untuk beberapa saat setelah kekehan terakhir mereka. Nggak ada yang berbicara selain sepasang netra saling bertemu lewat pantulan layar TV di depan mereka. Jisoo menarik senyum yang langsung tertangkap oleh atensi Taeyong, dan dia pun membalas senyumannya.
“Kalau ngantuk tidur aja gak papa,” ucapnya masih diselingi senyum di bibir.
Begitupun dengan cewek ini. “Oke,” balasnya tanpa menunjukkan tanda akan meninggalkan ranjang milik Taeyong. Justru sebaliknya, dia menyandarkan kepala di pundak sang adam. Tanpa memikirkan reaksi cowok ini, tampaknya dia terhenyak akan perlakuan terhadapnya.
Jisoo pun berbisik padanya, “Pagi, Yong.”
Taeyong mengangguk lantas menyusul dengan ikut menyandarkan kepala di atas kepala Jisoo. “Pagi, Jisoo.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top