11. Pohon beringin

Entah Jisoo harus senang merasa bangga atau justru sedih karena dia mendapatkan penglihatan untuk kedua kalinya. Berbeda dari sebelumnya, bagian ini dia melihat sesuatu lain, bukan lagi teman-temannya, melainkan orang lain bahkan orang yang tidak dia tahu siapa namanya. Tepatnya seorang perempuan muda; menjerit histeris dengan kondisi mengenaskan. Pakaiannya compang-camping, memprihatikan, membuat Jisoo berempati dan ingin rasanya berlari, membantu perempuan tersebut terlepas dari rasa takutnya.

Jeritan sang gadis kian menggema, mengejutkannya yang hanya memandang tanpa dapat membantu. Jisoo seakan hantu di sana, sekadar diam dan menonton saja. Sementara perempuan itu terus menjerit, kali ini dia terjatuh ke tanah. Kulit pada tangan dan kakinya penuh bekas luka yang makin membuat Jisoo berempati hingga menangis tak tega melihatnya.

Seseorang datang, dari suaranya Jisoo dapat menebak mereka laki-laki, kira-kira dua atau sampai tiga orang, tanpa bisa melihat wajah mereka. Menyaksikan apa yang sedang terjadi di sana, Jisoo kontan menjerit histeris. Rasa takut seketika menjalar ke seluruh tubuh tanpa belas kasihan. Tiba-tiba dia bergetar merasakan euforia pada ketakutan atas penglihatan yang menyayat isi hatinya sebagai seorang perempuan sekaligus manusia.

Begitu raganya tertarik keluar, Jisoo sadar bahwa saat ini sedang berada di dapur, memegangi teflon berisi minyak panas beserta telur gosong di pegorengan yang sudah menghitam.

“Hati-hati!” seru seseorang menyentak sepenuhnya kesadarannya. Cowok ini merebut telfon sembari mematikan kompor sebelum minyak semakin panas dan meledak. “Kenapa?”

Jisoo mendongak dengan mata mengerjap sedang berupaya mengenali wajah ini. Rupanya sempat mengabur sehingga dia perlu beberapa kali mengedip demi dapat melihatnya jelas.

“Jis?”

Dia adalah Taeyong, pagi ini masih ada di rumahnya, belum pulang.

“Gue ....” Namun, kata-katanya menggantung kendati bingung ingin menjelaskan apa yang barusan terjadi padanya. Meskipun bungkam, Jisoo percaya Taeyong dapat memahami situasinya sekarang.

“Duduk.” Sembari menuntunnya agar duduk di salah satu kursi meja makan, bersama Taeyong menarik satu kursi di dekatkan padanya. “Lihat apa?”

“Cewek.”

“Siapa?”

Dia menggeleng letih. Itu dia yang sedang dipikirkannya. Siapa cewek itu sebenarnya? Mengapa dia muncul dalam penglihatannya? Mereka belum pernah bertemu sekalipun. Lalu mengapa dia masih juga mendapatkan penglihatan?

Taeyong memegang pundak Jisoo. Sentuhannya terasa halus nan menenangkan. “Selain cewek, apalagi?”

“Pohon ...,” dia mencoba mengingat dengan teliti, “beringin.” Sedikit ragu menyebutnya, tapi tetap menyakini itulah yang dilihatnya sebagai background dari penglihatannya.

“Terus?”

“Ada tiga cowok, tapi gue gak tahu wajahnya. Posisi mereka ngebelakangi gue, lalu ....” Ucapannya berhenti saat ini juga. Tak sanggup menceritakan ulang citra dari penglihatannya. Membuat tubuhnya bergetar kembali hingga dia terisak tangis, teringatkan nasib malang yang menimpa perempuan tersebut.

Taeyong seakan dapat mengerti perasaannya lantas saja memeluk gadis ini kepelukan guna menenangkan. “Kita bahas nanti aja,” ucapnya sembari mengusap punggung, mengantarkan ketenangan padanya.

Biarpun pagi ini mereka sepakat untuk membahasnya saat dia merasa lebih siap bercerita, Jisoo tetap merasa resah setiap kali berdiam tanpa melakukan kegiatan yang dapat mengalihkan pikirannya. Tiap kali diam, pikirannya selalu merenungkan citra tersebut. Hingga pada siang hari, Jisoo kembali mendapatkan penglihatan. Kali ini dia tidak bisa melakukan apa pun dengan tenang.

Ia terpaksa mencari kontak Taeyong lewat group chat (cowok itu udah pulang, dan Jisoo juga nggak tahu kalau ternyata nomernya dimasukan lagi ke dalam group chat bikinan Hwasa) demi menghubunginya, lalu menceritakan semua penglihatannya. Dan tepat pukul dua siang, Taeyong berkunjung lagi ke rumahnya.

“Berdasarkan Google map, perjalanan dari sini ke sana butuh waktu tiga atau empat jam kalau nggak macet. Lo yakin mau ke sana?”

Jisoo mengangguk tanpa ragu. Bahkan sudah tak sabar mendatangi tempat dalam penglihatannya. Dia ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Lalu siapa pula perempuan bernama “Yuqi” ini. Mengapa dia muncul di penglihatannya.

Apa Yuqi baik-baik saja? Itu yang terus menganggu ketenangannya.

“Oke, gue temenin,” kata Taeyong demikian.

Jisoo mengangguk berterima kasih. Juga meminta supaya Taeyong jangan membicarakan hal ini kepada teman-temannya. Kalau sampai pada tahu, mereka akan langsung bergerombol ikut bersama. Mengunjungi tempat itu demi bertemu hantu, padahal niat Jisoo ke sana mau memastikan kalau citra dalam penglihatannya hanyalah halusinasi tanpa arti apa pun.

Setelah memastikan Junghwan pergi berlatih Taekwondo, Jisoo sama Taeyong langsung bergegas pergi. Perjalanan panjang mereka disertai pertanyaan tanpa jawaban.

Jisoo acapkali melontarkan, betapa khawatirnya dia sama perempuan dalam penglihatannya; Taeyong langsung menenangkan dan meminta supaya dia terus berpikiran positif, yang ditanggapinya dengan sekali anggukan dan senyuman.

Pukul delapan malam, mereka akhirnya menemukan tempat tersebut setelah melalui pencarian lewat beberapa orang yang mereka tanyai. Persis seperti di penglihatannya, sebuah gedung tua tidak terpakai dengan pohon beringin kokoh berdiri di belakangnya. Tidak banyak cahaya rembulan yang menyorot tempat ini, justru berkat senter ponsellah mereka dapat melihat sekitar setengah jelas.

Jisoo melangkah ke depan. Kemudian menceritakan pada Taeyong peristiwa yang terjadi dalam penglihatannya.

“Yuqi di sini,” katanya menunjuk tanah di dekat pohon beringin, “terus mereka ... tepatnya di tempat ini.” Menunjuk tempat Taeyong berdiri sebelumnya.

Sedangkan tugas cowok ini memberikan pencahayaan untuk cewek yang sedang menjelaskan situasi dalam penglihatannya.

“Gue yakin mereka ngelakuin itu di sini, tempat ini,” menunjuk tanah berkerikil di depannya, “mereka—”

“Jis!” Taeyong segera menyeret cewek itu agar di sisinya saat melihat sosok hantu muncul di belakang Jisoo. Cewek ini sendiri langsung cegukan, sadar mengapa Taeyong menariknya.

“Di mana?” tanyanya setengah ragu mencari. Namun, tidak dipungkiri bahwa saat ini bersembunyi di balik lengan Taeyong adalah pilihan terbaik.

Taeyong menatap lurus ke depan. Bertemu mata dengan hantu perempuan tersebut. Wajahnya pucat dan tatapan matanya penuh akan kesedihan, tapi dia tidak menyeramkan. Pertanda bahwa kemunculannya dengan niat baik, seolah hendak menyampaikan sesuatu kepada mereka.

“Yuqi?”

Hantu itu memandangnya sedih sebelum mengiyakan bahwa dialah Yuqi, perempuan di penglihatan Jisoo.

“Yuqi?” Jisoo mendongak, menyisik ke depan mencari sosok hantu.

“Kenapa?” Taeyong bertanya pada Yuqi namun tidak langsung mendapatkan jawaban. Hantu itu justru menunjuk ke gudang, kemudian menghilang.

Taeyong kemudian mengandeng Jisoo, mengajaknya bergegas menyusul Yuqi memasuki gedung tua yang sudah tidak terpakai. Jisoo belum mau bertanya untuk saat ini. Menunggu saja sampai Taeyong menyampaikan sendiri padanya kebenaran.

Mudah saja bagi mereka memasuki gedung, mengingat ada banyak akses untuk masuk ke dalam. Jisoo kian kuat mengenggam Taeyong, merapatkan tubuh padanya sambil lalu mengamati panorama sekitar yang serba kotor dan penuh barang-barang usang.

Taeyong melihat lagi sosok hantu Yuqi di tengah ruang. Kelihatan sekali kalau dia sudah menunggu kedatangan mereka di dalam gedung. Saat Taeyong ingin menanyainya, angin berhembus kuat dari luar menyebabkan jendela terbanting keras juga pintu-pintu usangnya, pun kotoron di lantai menyibak hingga melihatkan sebuah tas sekolah yang tertutupi namun kotor.

Jisoo melihatnya segera berjongkok dan memunggut tas sekolah tersebut.

“Punya Yuqi?” tanyanya.

Taeyong hendak menanyai sang hantu, tapi sosoknya menghilang saat itu juga, bersamaan dengan cegukan Jisoo.

“Ada kartu identitasnya,” serunya, menyerahkan tas ke Taeyong sementara dia membaca nama pemilik, alamat juga nama sekolahnya. “Beneran punya Yuqi. Dia tinggal—”

“Kita balik sekarang,” kata Taeyong menyela.

Namun, dia menolak. “Lo nggak penasaran, kenapa Yuqi nyuruh kita nemuin tasnya? Itu artinya dia mau kita nolongin dia.”

“Gue tahu.”

“Terus kenapa—”

Taeyong menyuruhnya diam, lalu cepat-cepat mengajaknya keluar gedung. Sampai di luar dia langsung mendorong Jisoo masuk ke mobil sementara dia bergegas menyusul saat itu juga.

“Kenapa?”

Setelah mereka meninggalkan tempat tersebut, barulah Taeyong menjelaskan, “Di sana terlalu banyak penunggu. Aura mereka penuh balas dendam.”

“Oh, oke gue paham.” Tanpa mengomentari sesuatu yang jangan sampai dapat dilihatnya. “Tapi kita jangan langsung pulang. Gue pengen ketemu keluarga Yuqi.”

Mendengar pernyataannya, Taeyong kontan menoleh. “Jis, nggak semua hantu mesti ditolong, dan nggak semuanya jujur, sama seperti manusia.”

Jisoo menggeleng tidak setuju. “Walaupun gue nggak bisa lihat Yuqi, tapi ngelihat ini gue percaya kalau dia butuh banget pertolongan,” ucapnya. “Coba lo pikirin apa yang dirasain keluarganya sekarang. Bisa jadi Yuqi hilang dan keluarganya nggak tahu dia udah mati, atau lebih buruknya, keluarganya tahu dia mati tapi nggak tahu penyebab kematiannya.”

Taeyong membuang napas sesaat tanpa membalas.

“Gue tahu, hantu itu serem. Tapi kalau udah begini, gue nggak bisa ngabaiin, Yong,” pungkasnya, “terlebih gue dikasih penglihatan penyebab dia mati. Kalau gue cuma diam aja, yang ada gue jadi resah kepikiran terus. Gue ng—”

“Oke, gue ngerti,” selanya. “Tapi sementara ini lo diem dan tenang, oke? Biar gue cari penginapan dulu.”

Jisoo mengangguk dan diam menurut. Ketika mobil berhenti di tepi jalan, dia pun tidak bertanya lantaran tahu alasan mereka berhenti.

Ya, Taeyong sedang sibuk mencari penginapan yang sekiranya dekat dengan alamat rumah atau sekolah Yuqi. Kegiatan mencari ini lumayan menyulitkan karena jarang ada hotel di sekitar kedua alamat tersebut. Sehingga mereka terpaksa mengambil hotel dengan jarak 7km dari alamat.

Berdua dulu aja, ramainya nanti 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top