1.9. Iblis (4)
Tarik napas dulu sebelum baca. Atau enggak mari pegangan tangan dulu 🤝
• d i s i n i a d a s e t a n •
“Lo yakin berhasil?”
“Gue gak tahu,” balasnya terdengar bosan harus menjawabi semua pertanyaan sama hampir dari semua orang di sini.
Semua orang nyaris melihatkan ekspresi serupa, tidak ada yang berbeda. Mereka sama-sama ragu kalau hanya dengan meluluri setiap pintu dan jendela villa dengan tanah liat berwarna merah yang basah iblis belum tentu bisa langsung hilang. Kalau hanya dengan begini kenapa enggak mereka lakukan sebelumnya saja, sebelum dua temannya mati.
“Gue gak tahu, sumpah. Gue nggak tahu!” jerit Hwasa kepalang frustasi dengan pertanyaan yang dilontarkan padanya.
“Bob, udahan jangan diributin,” tegur Seolhyun mulai jengkel mendengar keributan dua orang itu. Semua orang frutasi, dia juga frutasi, tapi kefrustasian mereka enggak sebanding sama Hwasa yang pasti beban gadis itu lebih berat dibandingkan lainnya karena kekacauan yang dialami teman-temannya pada hari itu berkat ajakannya bertamu ke villa angker ini.
Johnny kemudian menengahi dengan menggiring Bobby pergi ke arah dapur. Disamping ingin mengajaknya meluluri pintu dan jendela bagian belakang, dia juga ingin memberi laki-laki sedikit penjelasan alasan mengapa mereka harus berbuat sesuatu sama tempat ini dengan tanah liat.
Yang mereka lakukan hari ini berkat saran saudara Hwasa, anak dari pemilik villa ini. Orang itu jelas punya pengalaman bersama si penghuni ghaib villa, makanya menyarankan mereka untuk mencari tanah liat merah basah di belakang villa. Bukan tanpa sebab mereka menekuni kegiatan sejenis ini karena iblis yang sedang mereka hadapi ketakutannya berasal dari sana.
“Arghhh!” Hwasa berteriak melempar tanah dalam genggamannya ke lantai. Tubuhnya merosot ke bawah, wajah yang biasanya tampak ayu itu kini terlihat pucat tak terawat karena nyaris seharian ini dia belum mandi demikian pula teman-temannya yang lain. Boro-boro ingat mandi, makan saja rasanya mereka tidak nafsu.
“Sa ...?” Nayeon berjongkok di depannya lalu merengkuh tubuh sang teman yang bergetar menangis ini ke pelukannya. Walaupun sejak dia terus merengek minta pulang dan menempeli teman-temannya, tapi Nayeon tetap ingin berguna di sini.
Tidak apa-apa jika dia terlihat penakut dan lemah, selama tidak menyalahkan siapa-siapa. Dia hanya ingin pulang bersama teman-temannya lagi.
Taeyong melihat itu hanya bisa menghela napas. Sudah setengah hari ini, tapi semua orang terus menimbulkan suara dari sana sini, menambah beban dan pusing kepalanya. Padahal dia harus fokus dengan dirinya sekarang sebelum nanti masuk ke dimensi lain untuk menyelamatkan Jisoo dan Bona yang masih terjebak di dalam sana. Dua gadis itu masih tiduran di ranjang yang mereka pindahkan ke ruang tengah pagi tadi bersama Scoups yang terus meratapi kekasihnya dengan pedih.
Membuat siapapun tidak tega untuk menyuruhnya tetap tegar.
“Seolhyun.”
“Ya?” Gadis itu menoleh ke arahnya berpaling dari jendela yang sedang diluluri dengan tanah liat.
Taeyong mendekatinya sedikit ragu. “Boleh minta tolong?” Mungkin di antara orang-orang ini, hanya gadis inilah dan Johnny yang selalu bersikap lebih dewasa tanpa harus teriak memarahi semua orang.
Scoups tidak bisa diusik sekarang, Bobby sudah berada di puncak frutasinya, Nayeon terlihat seperti mayat hidup bahkan sebelum mereka ada di villa gadis itu sudah seperti itu. Ketiganya sedang kacau dan tidak bisa dimintai tolong. Bisa saja Taeyong minta tolong dengan keluarga penjaga villa, tapi mereka tidak ada hubungannya dengan ini.
Si gadis surai panjang hitam itu kontan mendongak bingung saat di tangannya terdapat secarik kertas yang terlipat rapi. “Jaga-jaga saja,” katanya minyaratkan keanehan.
“Eh? Tapi—”
“Tolong, simpan baik-baik.” Taeyong berpaling darinya tanpa menjelaskan apa-apa. Membuat gadis itu kebingungan namun tetap menyimpan lipatan kertas itu ke saku celananya sembari mengikuti punggungnya yang perlahan menjauh.
Mereka yang di sini masih memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan urusannya, sedangkan Taeyong tidak punya waktu sebelum menjelang dini hari pukul satu malam. Dia harus segera ke dimensi lain menyelamatkan mereka sebelum iblis bangkit dan melakukan persembahan.
“Tolong jaga kami,” ujarnya selama mengikatkan tali panjang ke tangannya yang masing-masing terikat dengan tangan Bona dan Jisoo. “Pecahkan kaca merah itu begitu mereka sadar.” Melirik pada kaca merah yang diambil dari kamar di lantai dua.
Sekeliling kaca tersebut sudah dilumuri tanah liat berkat Taeyong dan Johnny. Benda itu sekarang jadi tawanan mereka karena Taeyong percaya kaca itulah penyebab dari segalanya dan pintu pulang buat mereka.
Pemuda itu meremas erat tangan gadis sebelahnya. Menatap serautnya lama diikuti senyum pada bibirnya. Kemudian dia menarik tangannya dan meninggalkan ciuman pendek di punggung tangannya sebelum dia ikut terlelap di sebelahnya.
“Udah di mulai?” Suara Johnny muncul bertepatan kepergian Taeyong. Tak ada yang menyahuti, toh dia bisa melihat sendiri di depan matanya ini.
Semenjak perginya Taeyong ke dimensia lain ruang tengah itu tiba-tiba sunyi. Tak ada yang berani bersuara selain rengekan Scoups di kursi sebelah ranjang dekat kekasihnya, Bona. Kelima pasang mata itu hanya mampu melirik bergantian sebelum kelimanya dengan kompak mendesah resah.
• d i s i n i a d a s e t a n •
Yang menyambutnya pertama setibanya di pintu ke dimensi lain adalah Junkyu, si bocah hantu yang sejak pertama kali tahu bahwa Taeyong bisa melihatnya dia terus mengikutinya hingga pemuda itu menginjak dewasa.
Kalau diingat-ingat lagi, selama ini Junkyu sudah banyak menolong bahkan sekarang pun dia masih terus menolong dirinya tanpa disuruh. Dia juga yang mengingatkan Taeyong supaya mengembalikan jiwa Junghwan dahulu yang belum kembali.
Bocah remaja itu pasti kebingungan karena dia belum muncul lagi setelah meninggalkannya bersama Chenle dan Sakura. Dua hantu yang dikenalnya selain Junkyu, yang Taeyong mintai tolong supaya menjaga Junghwan selama dia kembali ke dunia manusia. Mereka jelas bersedia menolongnya tanpa pamrih, mengingat dulu Taeyong kecil pernah menolongnya sehingga dua hantu tersebut dapat kembali ke dunia para hantu dan mereka enggak perlu tersesat puluhan tahun di dunia manusia.
Taeyong sudah melihat raga Junghwan sebelumnya yang sekarang ini dititipkan sama asisten rumah tangga di rumah Hwasa, jadi dia bisa dengan gampang menunjukkan jalan bocah remaja itu buat pulang. Belum ada 24 jam, jadi enggak baik kalau dia tetap terjebak di dunia ini. Bisa-bisa nanti Junghwan beneran mati.
“Junghwan.”
Panggilannya menimbulkan kekagetkan di wajah-wajah para hantu yang mengelilingi bocah remaja itu. Chenle, dulunya seorang anak berumur lima tahun sebelum mati dibunuh penculiknya yang sekarang menjelma jadi tuyul, nyengir ketika melihat Taeyong. Sakura, si hantu suster ngesot, berpaling malu.
“Kak Taeyongggg....” Bocah itu merengek setengah girang, setengahnya lagi ketakutan karena sejak tadi diusilan sama teman-teman Chenle. “Kak, mau pulang hiks... hiks ....”
Taeyong melirik ke para hantu yang cekikikan senang. Seolah mereka juga terhibur berkat keberadaan Junghwan di dunia mereka. “Diusilin mereka, ya?”
“I-iya,” jawabnya sesenggukan. “Ta-tapi mereka baik.” Dia enggak bohong hantu-hantu itu memang baik, terutama Chenle sama Sakura. Tapi tetap saja mereka hantu dan Junghwan takut melihat wajah menyeramkan mereka yang sering berubah-ubah menjahilinya.
Ada yang berwajah normal seperti manusia lalu berubah jadi menyeramkan. Bola mata tahu-tahu meloncat keluar, lidah terjulur panjang, kepala lepas, atau paling menyeramkan kepalanya bolong jadi isi di dalamnya kelihatan jijik.
“Lo balik sama teman kakak,” katanya lalu mengenalkan Junkyu hantu pertama yang tidak membuat Junghwan langsung jantungan karena bocah hantu ini terlihat seperti manusia biasa, kecuali wajah pucat dan tubuh transparannya. “Dia bakalan nunjukin jalan pulang.”
“Nggak sama Kak Taeyong saja?”
Taeyong menggeleng. “Kakak harus nemuin Kak Jisoo dulu.”
Raut bocah remaja itu dalam sekejap berubah bingung. “Kak Jisoo di sini juga? Di mana? Kok nggak lihat? Masa nggak datang-datang ke sini nyamperin adiknya, sih?”
Hanya suara getir tawanya yang terdengar. Taeyong tak lagi menjawab, selain menyuruh Junghwan supaya cepat pulang ke raganya, sementara urusan kakaknya adalah urusannya dan dia enggak perlu mengkhawatirkan saudarannya itu.
Untung Junghwan enggak rewel. Dia langsung menurut, tapi sebelum pergi bocah itu berkata, “Kak Taeyong hati-hati, lho. Selama kakak hilang, Kak Jisoo didekatin cowok lain.”
“Oh, ya?”
“Iya,” lanjutnya, “dia suka Kak Jisoo.”
Pemuda itu tersenyum geli berkat keluguan Junghwan yang mengadukan padanya tentang pemuda lain yang ternyata telah mendekati Jisoo selama dia hilang. “Menurut lo orangnya baik nggak?”
“Siapa?”
“Cowok yang deketin Kak Jisoo.”
“Baik, kok. Dia pelatih taekwondoku.”
Taeyong mengerti, lalu mengacak surai bocah remaja ini. “Kalau gitu Kak Taeyong titip salam, ya? Salam buat pelatihnya supaya terus baik dan jaga Kak Jisoo.”
“Terus Kak Taeyong?”
“Ya, di sini aja.” Dia terkekeh kecil. Terus sedikit menjelaskan karena ekspresi Junghwan masih terlihat bingung, “Maksudnya kakak bakalan muncul kalau orangnya jahatin Kak Jisoo. Udah gih, pulang sana!”
Raut bingung itu belum berubah bahkan setelah Junkyu menyeretnya buat segera berpisah sama Taeyong.
“Kak Taeyong aneh banget,” gumamnya sepanjang kakinya melangkah mengikuti Junkyu.
...
satu part lagi, nih! Aslinya masih pengen bikin kisah serem2 lagi ☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top