1.2 Teror

“Pocong itu bentuknya gimana?”

“Barusan lo nyadar nanya apaan?”

Lelaki itu menoleh sebelum mengangguk penuh semangat diselingai seringai, menampakkan kerutan-kerutan halus di bibirnya. Membuat sang teman menggeleng, tiba-tiba saja bagian bawah kulit lengannya merasakan hawa dingin di sekelilingnya, padahal cuaca malam ini biasa saja malah cenderung normal.

“Gue kepo. Lo kan, paham begituan,” katanya bernada enteng.

Yuta meliriknya skeptis, masih dengan gelengannya. “Nanya Siyeon aja jangan gue.”

“Dih, pelit amat lo.”

“Bukan pelit, tapi pertanyaan lo aneh. Ini malam Jum’at, tolol.”

“Halah, mau Jum’at atau kagak, sama aja.” Lagi-lagi perkataannya bernada enteng, seolah tak takut dengan mitos yang beredar secara luas bahwa malam Jum’at itu rawan akan cerita yang berbau mistis. Lelaki ini mempercayainya, cuma tidak begitu menanggapi dengan serius. Justru dia tertarik ingin menggali lebih dalam setiap cerita, penasaran terkait kebenarannya.

“Pocong aslinya itu gede, tinggi, dan terbang bukan loncat,” sahut si gadis bersurai panjang itu.

Lantas lelaki di depan Yuta semakin tertarik ingin tahu kisah si pocong. “Terus, terus.”

Siyeon menarik pandangan ke arah Yuta yang kini menggeleng keras sebagai imbauan agar dia berhenti menuruti keingintahuan Jimin.

“Buruan, Yeon, jelasin lagi.” Namun, sepertinya lelaki ini masih penasaran tentang kelanjutannya. Jimin sampai menarik tangan Siyeon supaya bercerita lagi padanya. “Lebih sereman mana sama kuntianak?”

Siyeon terkekeh kecil. “Seriusan lo? Dua-duanya sama-sama serem, Jim. Tapi pocong lebih bau dan sukanya muncul di tempat sepi, apalagi kalau lo lagi sendirian gitu. Paling iseng juga, sukanya ngeludah, pokoknya jangan sampai deh, lo kena ludahnya karena baunya busuk abis.”

“Lo pernah digituin?”

“Amit-amit, dah.” Pundaknya bergetar merinding sekaligus risih membayangkan posisinya terludahi oleh pocong. “Mukanya tuh item, hancur banget. Dibandingkan kuntilanak yang kadang bisa jadi cantik, pakai pakaian sinden gitu.”

“Widih, keren dong, kuntilanaknya.”

“Ngawur. Keren dari mananya coba? Yang ada serem, iya,” timpal Taehyung melototinya horor. “Lo tuh, jangan sok berani deh, segala nanya soal setan. Mendingan makan tuh, ayam yang teranggurin.”

“Bawel lo, Tae. Gue penasaran malah disuruh diem.”

“Penasaran lo nggak mutu, anjir!” Dilemparnya tisu kotor ke muka Jimin. Pas banget posisi dia mau ngomong, jadi sebagian tisu masu ke mulutnya. Lelaki itu pun mengumpat, setelah membuangnya, giliran dia balas melempar tisu bekasnya yang basah sehingga terjadilah insiden lempar tisu di meja McDonalds pada malam tersebut.

Yuta yang tiba-tiba diam lalu teringatkan sesuatu. “Eh, ngomong-ngomong, Bobby kemarin ngajakin kita join klub pencari hantu. Tertarik ikut?”

Perang tisu itu kontan terhentikan atas pengakuannya. Keduanya serentak menoleh ke Yuta dengan ekspresi sama-sama bertanya.

“Seriusan?” ujar Jimin membelalak jadi excited sendiri dengan ajakannya. “Ikutlah, ikut. Gue mau banget, pasti.”

Berbeda sama Taehyung yang langsung menggeleng tak setuju. “Nggak deh, mending rebahan aja, daripada mengusik kehidupan makhluk gaib. Ngak baik, Coy.”

“Bener.” Siyeon sependapat sama penyataannya. “Mereka kalau diganggu kadang jadi ganas.”

“Halah, bilang aja lo pada cupu,” imbuhnya sok berani. “Lagian, klub begituan belum tentu ketemu juga, sekalipun ketemu ya, rejeki nomplok. Anggap aja buat senang-senang, ngisi waktu luang.”

“Tetap aja, Jim, mereka nggak suka dunianya dicari,” kata Siyeon mencoba menyadarkannya. Belum lagi dia lebih memahami dunia makhluk halus itu seperti apa dan bagaimana rupa mereka yang terkenal menyeramkan itu.

“Santai kali, Yeon. Kan, yang ikut gue, Yuta, sama Taehyung bukan elo.”

“Siapa bilang gue ikut?” pekik Taehyung membelalak kesal terhadap Jimin yang main asal menyertakan namanya.

Jimin meringis tak tahu malu. “Ikut aja, biar ramai.”

“Dih, ngaco lo.”

Siyeon hanya sanggup menyimak obrolan mereka tanpa ikut campur. Toh, percuma dijelaskan kalau Jimin-nya apatis. Lalu dia memindahkan atensinya ke Yuta yang selalu terdiam mengamati, berbeda sekali dari sikap biasanya. Akan tetapi, perubahan ekspresi yang sarat akan kecemasan itu menarik dirinya untuk bertanya secara diam-diam lewat bisikan ke telinga.

“Nyium pertanda lagi, ya?” Yuta dengan lemas mengangguk. Benaknya mulai merasakan kekhawatiran begitu hebat yang sedang disembunyikan dengan baik agar tidak membuat cemas teman-temannya, kecuali Siyeon yang begitu baik mau memahami tabiatnya.

Yuta mendesah panjang usai melamun di sofa beberapa jam lebih. Mengenang lagi awal mula pertemuan mereka yang disusul dengan tawarannya untuk bergabung bersama klub pencari hantu. Andaikan dia tahu hal tersebut akan menimpa teman-temannya, Yuta pasti menolak tawaran Bobby tanpa perlu pikir dua kali.

Yah, seringkali manusia mendapatkan penyesalan di akhir.

...

Hwasa memekik histeris tatkala gebrakan meja yang dilakukan Johnny barusan, bahkan Seolhyun pun ikut berjengit hingga melangkah ke samping menjauhi lelaki tersebut.

“Hubungi saudara lo. Sekarang!” perintahnya mutlak. Bola matanya yang hitam makin saja terlihat gelap, seperti warna langit malam tanpa bintang. “Keadaan makin nggak waras, dan itu semua berawal dari villa itu!”

Bibirnya terbungkam rapat, wajahnya sendu meski tak berani menunduk ataupun menghindari raungan marah lelaki itu. Tangannya sampai bergemetar memegangi ponselnya sambil lalu melakukan kontak mata dengan Seolhyun. Sang teman yang menyadari ketidakberdayaannya segera menyusul, ikut membantu memegangi dengan benar ponselnya. Lalu melakukan panggilan ke saudaranya, si pemilik villa, yang entah mengapa sosoknya sulit dihubungi.

Sejujurnya bukan karena alasan kenapa saudaranya sulit dihubungi atau amukan Johnny menyebabknya demikian takut, melainkan Hwasa grogi ketika memegang benda pipih canggih ini. Belakangan ini dia jarang memainkan benda tersebut. Perasaan tak nyaman sekaligus takut mengusiknya hingga dia bersikap demikian pengecut, seperti seorang pecundang payah.

Nyaris mengalami tragedi serupa dengan teman-temannya—yang tentu belum diketahuinya—Hwasa juga mendapatkan teror berupa pesan singkat menyebutkan namanya. Namun, efek pesan itu amatlah menegangkan, atau beberapa kali dia sering menjumpai penampakkan di kaca lemari di kamarnya.

Sosok itu tampak seperti seorang kawan lama. Berdiri di belakang setiap kali dia bercermin seraya melontarkan senyuman menyeramkan dengan pandangan suram yang mengancam. Hwasa selalu menjerit melihat presensi si makhluk tersebut. Sementara dua malam terakhir ini, dia merasa ada seseorang yang mengawasi tidurnya.

“Lo jaga Hwasa,” ucapnya terhadap Seolhyun yang langsung mengangguk mengerti. “Hubungi orang itu sampai bisa, sementara gue mengawasi Taeyong.”

“Dia belum juga bangun?”

Johnny sengaja tidak memberitahukan kondisi Taeyong sekarang sebab tak mau membuat mereka khawatir, apalagi sampai berpikiran yang berlebihan. Untuk sekarang dia hanya perlu mengawasi kesadaran sang teman, sambil menunggu kabar dari paman Taeyong yang lagi berusaha untuk mencari keberadaan sang ponakan ke dimensi lain.

Hanya beliau harapannya, dan semoga saja beliau dapat membaw Taeyong pulang.

...

Jisoo masih di rumah sendiri. Pandangannya terus mengawasi sekeliling dengan was-was setelah insiden panggilan itu dia jadi cemas. Berharap tak memiliki teman, akan lebih baik untuknya tinggal sendiri daripada punya rekan berasal dari dunia lain. Sedangkan si adik akan pulang beberapa menit lagi, Junghwan-nya itu dijemput Ravn atas tawarannya lantaran enggan membiarkan Jisoo menyusul lewat taksi online, mengingat dia tidak becus menyetir. Bukankah baiknya dia turut membantu?

Suara mobil memasuki halaman parkir rumah langsung tertangkap telinganya. Jisoo segera menyambut kepulangan mereka dengan sukaria, kontan berlari ke depan untuk membukakan pintu. Lega rasanya begitu melihat sang adik bersama temannya itu telah sampai rumah.

Ravn menyusul di belakang Junghwan, lalu menyapa Jisoo yang menanti di teras rumah. “Sorry, Jis, lama. Tadi mampir beli nasi goreng dulu.”

Jisoo kontan memelototi sang adik, seolah ide mampir ke penjual nasi goreng merupakan kemauan lelaki muda ini.

“Bukan adik lo, gue yang minta,” jelas Ravn. Terlihat juga di tangannya lagi menenteng sebungkus plastik berisikan nasi goreng.

“Mandi dulu sana,” tegur Jisoo sekadar mendapatkan sikap tak acuh Junghwan yang lantas menyelinap masuk ke dalam tanpa membuka kebisuanya. Tumben banget diem gitu, biasanya suka protes kalau diusik.

Akan tetapi, keanehan mulai tercium sepeninggalan sang adik. Lagi-lagi Jisoo mendapatkan cegukan. Ia spontan menoleh kanan-kiri memastikan sendiri bahwa tidak ada sekelebat makhluk halus melewatinya, biarpun tindakan pencarian itu percuma lantaran mana bisa Jisoo melihat eksistensi mereka. Andai saja Taeyong di sini, barangkali dia mau memberitahukan padanya sosok yang barusan mampir untuk lewat.

Kalau gue telpon bakalan diangkat nggak, ya? Pikirnya meragukan niat baiknya sendiri.

Lapak ini nggak akan panjang sih, jadi tenang saja, semua akan berakhir pada waktunya.

Ngomong-ngomong, lho, Junghwan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top