Enam
Selamat membaca...
**
Aku pernah punya pemikiran bodoh. Alangkah indahnya kalau hidup bisa diprediksi seperti cuaca. Andai saja ada alat untuk menebak jalan takdir, akan banyak air mata yang terselamatkan. Orang-orang tidak perlu merasakan sakit hati yang terlalu dalam. Mereka punya waktu untuk menyiapkan diri menghadapi badai hidup, karena sudah bisa diprediksi sebelumnya.
Sayangnya hidup tidak berjalan seperti itu. Yang terjadi di depan kita adalah serangkaian kejutan yang bisa saja sangat tidak mengenakkan. Setidaknya, itu yang terjadi padaku.
Pernikahanku baru memasuki bulan keenam ketika perubahan itu terjadi. Saat itu hubunganku dengan Dody sudah sangat baik. Seperti kata ibunya, dia laki-laki yang sangat bertanggung jawab. Becca tidak salah saat mengatakan kalau aku tidak salah memilih suami.
Dody mendirikan perusahan IT bersama beberapa temannya. Mereka menciptakan berbagai program dan aplikasi. Aku tidak terlalu mengerti soal itu. Yang aku tahu persis, jam kerjanya fleksibel. Semenjak kami menikah dia selalu mengantarku ke kantor, tidak lagi mengizinkan aku naik busway seperti biasa. Aku punya trauma masa kecil karena pernah mengalami kecelakaan, sehingga tidak bisa mengemudikan kendaraan apa pun. Jadi kalau tidak disopiri Becca, aku tergantung pada transportasi umum.
Keadaan rumah tangga kami juga baik-baik saja. Kami sudah melewati tahap canggung dan telah rutin bercinta beberapa kali seminggu seperti pasangan pengantin baru yang lain. Semua berjalan sempurna. Saat itu kupikir bahwa kami sudah menemukan jalan kami menuju cinta.
Dody memang tidak banyak bicara seperti aku, tapi dia mendengarkan semua yang kukatakan dengan tekun. Saat kalimat sarkas dan absurdku mulai berhamburan, dia hanya tertawa kecil sambil mengusap kepalaku. Tipe laki-laki yang kupikir bisa menjaga hatiku bila kutitipkan padanya.
Namun ternyata itu hanya mimpi indah. Semua yang sempurna tidak punya tempat yang abadi di dunia. Dan badai yang tidak kuprediksi itu datang pada suatu malam. Dody mengusap punggungku yang terbuka di balik selimut. Kami bercinta sebelumnya dan Dody melarangku memakai baju tidurku kembali. Aku tahu maksudnya. Dia pasti sedang bersemangat dan menginginkan satu sesi lagi sebelum subuh. Aku kemudian hanya menarik selimut untuk membungkus tubuh, dan segera tertidur.
"Aku keluar sebentar," Dody berbisik di telingaku.
Saat membuka mata, aku melihatnya sudah berpakaian lengkap. Aku dapat menghidu aroma sampo dan parfumnya. Dia sudah mandi.
"Ke mana?" Aku benar-benar masih mengantuk.
"Nana baru saja menelpon. Pesawatnya akan segera take off dari Singapur. Dia minta aku jemput di bandara."
"Bukannya Nana tinggal di Ottawa?" Dody beberapa kali bercerita tentang Nana setelah kupancing.
"Entahlah. Dia nggak bilang apa-apa selain minta dijemput." Dody menunduk dan mencium keningku. "Aku nggak lama, setelah ngantar dia, aku langsung pulang. Kamu tidur saja lagi."
Tidur lagi. Itu ide bagus, tapi aku sudah kehilangan kantuk. Apakah Nana dan suaminya kekurangan uang sampai mereka harus menyuruh Dody menjemputnya? Itu jelas alasan yang mengada-ada. Si Nana itu seharusnya berpikir, sedekat apa pun hubungannya dengan Dody di masa lalu, dia tidak seharusnya menghubungi suamiku di tengah malam seperti ini. Sahabatnya itu bukan lagi pemuda lajang yang bisa diberdayakan setiap saat.
Sebentar yang dimaksud Dody ternyata tidak sama dengan sebentar yang ada dalam pikiranku. Dia menelepon untuk minta maaf karena aku harus naik taksi ke kantor pagi itu. Dia tertahan di tempat Nana. Katanya dia akan menceritakan alasannya saat dia menjemputku pulang kantor. Ya, seolah ucapannya dapat memperbaiki suasana hatiku yang telanjur rusak.
"Nana akan bercerai dengan suaminya," mulai Dody saat kami sedang menunggu makan malam kami diantarkan di restoran. "Dia kelihatannya terpukul. Aku tadi tinggal lama untuk mendengarkannya."
Aku tiba-tiba merasa kenyang sebelum melihat bentuk makanan yang tadi kupesan. "Kasihan, ya." Aku mencoba terdengar bersimpati. Raut Dody tampak prihatin, bukan saat tepat untuk mengeluarkan isi kepalaku yang penuh ribuan kata-kata sarkas.
"Iya, kasihan." Dody menyetujui. "Ternyata menikah karena cinta itu nggak menjamin pernikahan akan langgeng, ya?"
"Cinta itu sama seperti perasaan lain, Dy. Marah, kesal, senang, dan sedih. Datang dan pergi. Nggak abadi."
Dody menatapku dalam dengan matanya yang selalu suka kulihat. "Menurutmu begitu?"
Aku mencoba tertawa. "Beberapa orang mungkin akan mencintai orang yang sama seumur hidupnya. Seperti dalam novel dan film roman. Tapi aku yakin nggak banyak yang seperti itu. Kebanyakan orang memilih move on, dan biasanya berhasil."
"Move on itu langkah besar, Rhe. Nggak semudah diucapkan."
Memang langkah besar untuk orang yang sudah mencintai orang yang sama sejak kecil, tapi aku tidak mengucapkannya. Kami belum pernah beradu argumen sebelumnya. Aku tidak mau perdebatan kami yang pertama disebabkan oleh perempuan lain. Dody bisa saja menuduhku cemburu.
"Move on itu pilihan, Dy. Kamu nggak akan bisa melakukannya kalau hatimu menolak. Ada kok orang yang menikmati sakit dan galaunya patah hati."
Dody tersenyum kecil. "Kamu seperti pakar cinta. Mantan pacarmu pasti banyak, ya?"
Sepanjang pernikahan kami yang berumur enam bulan waktu itu, Dody baru kali itu menanyakan hal seperti itu. Dia tahu aku pernah pacaran dengan Ray, saat peristiwa aku terselip lidah di hari ulang tahun pernikahan orangtuanya, tetapi tidak pernah mengungkitnya.
"Nggak banyak." Aku mengikuti alur percakapan yang dibangunnya. "Masih bisa dihitung dengan jari tangan. Normal saja." Aku mengawasinya baik-baik saat mengatakan, "Aku lebih gampang move on sih daripada kamu yang jatuh bangun suka sama orang yang sama sejak dulu."
Raut terkejut Dody sudah bisa kuprediksi. "Apa? Dari mana kamu tahu?"
Aku berusaha mengembangkan senyum manis. "Jelas sekali terbaca. Aku sudah tahu saat pertama kali masuk kamarmu dulu. Lebih banyak foto Nana daripada fotomu sendiri. Wall paper Macbook-mu juga muka dia, kan? Orang bodoh juga tahu."
"Foto-foto Nana sudah nggak ada di sana kok."
Disingkirkan mertuaku, aku tahu. Tante Aira, aku memanggilnya Ibu sekarang, berulang kali minta maaf soal insiden foto itu. Dari dia juga aku tahu kalau Nana dulu pacaran dengan Dody sebelum perempuan itu akhirnya menikah dengan orang lain. Ya, aku sudah tahu, aku hanya pura-pura bodoh.
"Di Macbook-mu masih jadi wall paper, kan?" Aku mengucapkannya seolah hal itu biasa saja. Seperti membahas buku menu, padahal aku merasa hatiku tercubit mengingat hal itu. Dody melakukan pekerjaannya dengan Macbook-nya, dan itu berarti dia setiap saat ditemani wajah Nana. Aku sudah lama tidak nyaman dengan hal itu, sejak hubungan kami membaik, tetapi tidak berniat protes, karena tahu perasaannya masih terikat pada Nana. Menghilangkan wajah itu dari Macbook-nya tidak lantas menghilangkan perempuan itu dari hatinya. Dia butuh waktu untuk berpaling kepadaku. Lagi pula, kupikir Nana bukan lagi halangan, karena dia sudah menikah, dan tinggal jauh di Amerika Utara sana.
"Belum sempat kuganti saja." Suara Dody seperti merasa bersalah.
Ya, seolah mengganti wall paper butuh waktu setahun saking rumitnya. Dia mungkin tidak mengira aku tahu wall paper-nya. Aku memang tidak pernah menyentuh barang pribadinya. Ponselnya saja kupegang karena dia memintaku mengambilkannya.
"Mengapa kamu dulu melepas Nana dan membiarkannya menikah dengan orang lain?" Sudah telanjur, jadi sekalian saja kulanjutkan.
Dody tidak langsung menjawab pertanyaanku. Saat mengangkat kepala untuk melihatnya, aku mendapati dia menatapku lekat, seolah ingin membaca isi kepalaku. Aku tidak akan membiarkannya melakukan itu. Jadi aku membalas tatapannya sambil tersenyum.
"Kami memang hanya ditakdirkan untuk menjadi sahabat," jawabannya sangat normatif.
Aku tidak ingin mengejar. Namun aku sungguh ingin tahu apa yang dirasakannya saat tahu mantan kekasihnya itu sedikit lagi akan mendapatkan status single-nya kembali. Entah mengapa, hatiku terasa sakit memikirkan hal itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top