7. Es Krim

Seperti hari-hari sebelumnya, Adit duduk di meja belajar dengan laptop terbuka, menampilkan kursor berkedip-kedip tanpa satu kata pun tertuang. Sudah setengah jam Adit duduk. Ketika ia hendak bangkit dari kursi, ponselnya menyala, menampilkan nama Sakti Editor, editornya di penerbit Six in Sundays. Adit mengembuskan napas berat sebelum menerima telepon Sakti.

"Iya, Mas," sapa Adit.

"Adit, gimana perkembangan naskahnya?"

Tentu saja Sakti langsung bertanya hal tersebut.

"Lagi dikerjain, Mas," jawab Adit seraya menyugar rambut.

"Biasanya kamu kirim dua atau tiga bab naskahmu tiap dua minggu, tapi udah sebulan ini nggak ada kiriman naskah. Saya khawatir kamu sedang kesulitan menulis."

Adit mengetuk jemarinya pada meja. "Bab yang ini ... agak sulit. Akan saya kirim bila sudah selesai."

"Kamu ingat kan, akan ada festival buku empat bulan lagi? Saya ingin buku barumu ini ada di festival tersebut."

Mata Adit memejam. Tiba-tiba ia pening. Jemarinya mengurut pangkal hidung, berharap pusingnya segera pergi.

"Iya, Mas, akan saya usahakan."

"Oh, iya. Saya ingin mampir ke rumahmu. Banyak buku baru yang mungkin bisa kamu baca-baca untuk referensi. Kapan saya boleh mampir?"

Punggung Adit segera menegak.

"Saya ... udah pindah, Mas."

Ada jeda beberapa detik dari sambungan telepon.

"Maksudnya?" tanya Sakti bingung.

"Saya pindah, nggak tinggal di Jakarta lagi. Sekarang saya di rumah nenek di Sukabumi."

Jeda, lagi. Sepertinya editor Adit terkejut dengan berita yang tiba-tiba ini.

"Semua baik-baik aja?" tanya Sakti, ada nada cemas di suaranya.

"... Baik-baik aja," jawab Adit.

"Papa Mama gimana kabarnya, Dit?"

Adit diam. Benar. Ia tidak menceritakan tentang kepergian Papa di media sosialnya. Tidak banyak yang tahu, termasuk editornya. Adit baru saja bilang bahwa dirinya baik-baik saja, bukankah aneh bila kemudian Adit menjawab bahwa papanya baru saja meninggal?

Adit sendiri bahkan masih belum bisa percaya Papa pergi.

Adit sendiri masih berharap Papa muncul di depan pintu rumah menyuruh ia dan Mama pulang ke Jakarta.

"... Baik," jawab Adit, suaranya tersendat. "Mas gimana kabarnya?"

"Saya baik," sahut Sakti cepat. "Kalau begitu, saya kirim lewat paket aja bukunya, ya."

"Iya, Mas."

Percakapan berhenti. Adit menatap nyalang layar ponselnya yang meredup kemudian mati. Ia kembali fokus pada layar laptop. Kursor masih mengedip. Kata tidak juga tertuang.

Rasanya Adit ingin meninju dinding.

***

Hal pertama yang melintas dalam pikiran Mona ketika menemukan Adit tengah berdiri di selasar minimarket adalah—dirinya jadi sering berpapasan dengan laki-laki itu.

Adit sedang berkontemplasi di hadapan varian mie instan seolah sedang mengerjakan ujian. Kedua tangannya saling melipat dengan kaki kiri mengetuk lantai. Mona menemukan ekspresi serius Adit itu imut. Biasanya ekspresi Adit ada garang-garangnya.

Mungkin karena merasa diperhatikan, Adit menoleh ke arah Mona. Otomatis, Mona melengkungkan senyum gugup, yang dibalas Adit dengan anggukan, sebelum melihat varian mie instan kembali.

Mona memilih menghampiri Adit, berdiri berjarak dengannya.

"Lagi ngapain?" tanya Mona.

Adit menoleh sekilas ke arah Mona, sebelum menunjuk rak di hadapannya. "Bingung mau milih yang mana."

"Yang itu enak," tunjuk Mona ke arah bungkus warna kuning pucat.

"Iya, tapi bosen." Adit tersentak, ia menoleh pada Mona. "Oh, iya. Aku mau coba langganan kateringmu."

Mata Mona melebar.

"Berat badanku bertambah karena makan terus. Aku mau coba nggak makan apa pun selain makanan kateringmu," jelas Adit.

"Beneran?" tanya Mona tak percaya.

Adit mengangguk.

"Oh, wow, oke ...."

Mona masih mengamati Adit dengan sorot tak percaya, sementara Adit menjatuhkan pilihan pada varian mie instan rasa terbaru. Sepertinya, Adit ingin mencoba varian tersebut.

"Aku duluan, Mon."

"Eh, i-iya."

Adit melenggang keluar dari selasar dan hilang di belokan, sementara Mona masih termenung di tempat. Apa mengobrol dengan teman sebaya memang semudah ini? Kenapa tiap kali Mona mengobrol dengan teman-teman Danu, rasanya seperti ada bongkahan batu di dadanya?

Apa tak apa-apa Mona mengobrol dengan Adit di belakang Danu?

***

Malam itu, mendapati Mona ada di balkon kamarnya, Adit sempat ragu untuk melangkah. Bisa saja Mona jadi tidak nyaman dengan keberadaan Adit. Tapi, Adit sudah dua kali mengalah, jadi ia melanjutkan langkahnya dan duduk di lantai dengan laptop di pangkuan.

Mata Mona beralih dari novel di tangannya ke arah Adit yang ada di seberang balkon.

Kali ini, Mona tidak cegukan.

"Hai," sapa Adit sambil melambaikan tangan.

Mona tidak membalas untuk beberapa detik.

"Hei," sapa Mona balik, suaranya pelan sekali.

Adit membuka laptop, kembali ke dokumen yang telah lama ia kerjakan, hanya untuk melihat kursornya berkedip-kedip tanpa satu kata pun berhasil keluar dari kepalanya. Lagi. Seperti ada yang memblokir kreativitasnya. Adit tidak mampu mengimajinasikan apa pun. Sesuatu yang dulu semudah membalikkan telapak tangan. Sekarang seberat mendaki gunung.

Adit mengembuskan napas berat, bersandar pada dinding balkon, mendongak memandangi langit yang pekat tanpa bintang.

"Kenapa?"

Pertanyaan Mona itu membuat Adit menoleh ke arahnya.

"Nggak apa-apa," jawab Adit langsung.

Tidak banyak orang yang tahu Adit menulis cerita. Adit tidak mau menjelaskan apa-apa pada tetangga yang masih 'asing' baginya ini.

Mona menatap laptop Adit. Seperti menebak bahwa alasan Adit mengembuskan napas adalah karena sesuatu yang ada di laptop tersebut.

"Kamu udah muterin Sukabumi?" tanya Mona.

Adit menggeleng. "Kata nyokap, harus ditemenin, nggak boleh sendirian. Males juga kalo harus ditemenin, jadi belum pergi ke mana-mana."

"Oh ...."

Hening kembali menyapa. Adit kembali fokus pada layar laptop. Pada kursor yang mengedip. Pada isi kepalanya yang kosong.

Apa Adit tidak akan bisa menulis lagi? Bila dirinya bukan penulis, lalu dia siapa? Apa dia harus mencari pekerjaan lain? Apa seharusnya ia berkuliah agar mendapat gelar sarjana? Apa Adit sudah menyia-nyiakan hidupnya?

Adit mengembuskan napas lebih keras dibanding sebelumnya seraya menutup layar laptop. Sekilas, Adit melihat Mona sedikit terperanjat dengan gerakan tiba-tiba Adit. Perempuan itu menatap Adit bertanya, namun Adit mengedikkan kedua bahu, tak menjawab apa-apa.

Adit hendak kembali ke kamarnya, ketika satu pikiran melintas.

Satu pikiran yang datang mungkin karena ia dan Mona bertemu tanpa sengaja beberapa kali. Mungkin karena Mona sudah lebih dahulu mengalami apa yang Adit alami. Mungkin juga karena Mona satu-satunya manusia yang seumuran dengan Adit.

"Mon."

Adit memanggil Mona. Dan kalimat selanjutnya yang Adit katakan, sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang dulu, yang sempat berpikir bahwa lebih baik menghindari Mona.

"Beli es krim, yuk."

Mona mengangguk.

***

Entah apa yang Adit pikirkan, mengajak Mona makan es krim di udara Sukabumi yang dingin.

Warung Ucok ada di blok sebelah. Hanya butuh waktu lima menit keduanya sampai di sana dan memilih-milih es krim dari freezer. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Warung tersebut masih buka.

Mona memilih es krim dung-dung, sementara Adit es krim berlapis cokelat kacang. Mona berterimakasih karna Adit ternyata menteraktirnya.

"Enak, nggak?" tanya Adit ketika mereka berjalan kembali ke rumah masing-masing sambil makan es krim.

Mona mengangguk. Es krim dung-dung selalu jadi kesukaannya sejak kecil.

"Waktu aku kecil, Ayah sering beliin pas dia pulang kantor."

Tiba-tiba saja Adit berhenti berjalan, membuat Mona ikut tersentak dan menoleh ke arahnya, bingung.

"Nenek aku cerita kalau ...." Adit tidak melanjutkan kalimatnya tapi Mona mengerti.

"Nggak apa, itu udah lama terjadi, kok," ucap Mona meyakinkan Adit. Kemudian, Mona tersadar sesuatu, cepat-cepat ia menambahkan. "Aku juga minta maaf. Aku cerita tentang ayahku, padahal ayah kamu baru saja ...."

Mona juga tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

Sorot mata Adit tampak redup, namun ia segera melanjutkan langkahnya di samping Mona.

"Nggak usah minta maaf, nggak apa-apa," sahut Adit.

Ada hening yang canggung di antara mereka. Mereka tak mengatakan apa-apa hingga sampai di depan rumah masing-masing.

"Kamu dekat dengan nenekku, ya?" tanya Adit ketika Mona tengah menggeser gerbang rumah.

Mona berbalik, menatap Adit yang juga tengah menatapnya. Perlahan, ia mengangguk.

"Nenek Bunga sering cerita soal kamu ... jadi, aku tau. Maaf kalo kamu nggak suka."

Adit mengangkat kedua bahunya. "Malah aku mau bilang makasih udah jadi temen ngobrol nenekku. Yah, walau jadinya ngomongin aku."

Mona tersenyum tipis. Lagi-lagi Mona merasa ringan bila bersama Adit, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekalipun Mona melakukan kesalahan kecil yang tidak disengaja.

Apa Mona kasih tahu saja tentang tumpukan novel Adit di rumahnya?

Jantung Mona berdegup cepat. Ia ingin memberitahu Adit sekarang juga. Mona ingin menyemangati Adit melanjutkan karyanya. Mona ingin Adit tahu bahwa dia adalah satu dari sekian pembaca yang menunggu novel baru Adit.

"Ad—"

Suara derum motor memotong ucapan Mona. Baik Mona maupun Adit menoleh ke asal suara. Tenang yang baru saja ia dapatkan dari Adit, seketika runtuh begitu saja begitu melihat pengendara motor tersebut.

Danu.

***

Siapa yang kangen aku?

Kangen Mona dan Adit juga boleh, deh, wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top