5. Sekeping Ingatan
Hari Minggu menjadi hari libur Mona dalam usaha kateringnya. Di hari itu biasanya Mona membersihkan sudut-sudut rumah walau tak banyak yang perlu dibersihkan. Kemudian menghabiskan hari dengan membaca buku di balkon kamar. Satu-satunya kamar yang berpenghuni.
Ketenangan di hari itu tiba-tiba musnah ketika Mona melihat jendela balkon di rumah seberang Mona akhirnyaterbuka, dengan Adit berdiri di sana menatap Mona.
Mona mulai cegukan.
Rumah di kompleks ini rata-rata memiliki empat kamar. Dua kamar di lantai bawah dan dua kamar di lantai atas. Dari sekian kamar tersebut, Mona tak menyangka Adit berdiam di kamar yang berseberangan dengan kamarnya.
Mona meraup botol minum yang ada di samping bean bag, menegak isi botol berharap cegukannya mereda. Dari ekor mata, Mona mendapati Adit mulai menyapu balkon kamarnya, tampak tak begitu peduli dengan keberadaan Mona.
"Aku nggak mau kamu ketemu atau ngobrol lagi sama dia."
Suara Danu terngiang di kepala Mona.
Bagaimana ini? Mona ingin sekali mengobrol dengan Adit. Seperti, apakah Adit sudah betah tinggal di Sukabumi? Apa Adit sudah kulineran? Apa Adit sudah mencoba makanan katering Mona? Bagaimana kondisi Adit sekarang? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti tersendat di kepala Mona saja.
"Lagi baca apa?"
Mona nyaris menjatuhkan novelnya ke luar balkon. Adit tiba-tiba bertanya! Adit berbasa-basi dengannya! Mona mendekap novelnya erat dengan mulut membentuk huruf O.
"Novelnya ... Nagi ... Nagita ...," gumam Mona.
"Oh. Novel Nagita bagus-bagus."
Perasaan senang membuncah di dada Mona. Ada satu kesamaan antara Adit dan Mona. Menurut Mona, novel Nagita bagus-bagus! Kalau tidak bagus, mana mungkin Mona membaca ulang novel Nagita hingga novel ini terlihat usang?
Adit selesai menyapu. Dia hilang dari balkon dan kembali dengan ember. Oh. Saatnya mengepel.
Mona memperhatikan Adit diam-diam di balik novel. Adit tampak tak terpengaruh sama sekali dengan Mona.
"Kamu deket sama nenekku, ya?"
Pertanyaan kedua!
Mona menurunkan novel dari wajahnya. "Iya ...."
Kira-kira apa yang Nenek Bunga katakan pada Adit, ya?
Adit mengangguk-angguk.
"Kalo katering? Udah berapa lama usaha katering?"
Pertanyaan ketiga!
"Udah tiga tahun ...," jawab Mona dengan tatap takjub. Apa sekarang ia sedang mengobrol dengan Adit? Benar-benar mengobrol?
Mona ingin sekali bertanya sesuatu pada Adit seperti Adit yang bertanya padanya—walau mungkin hanya basa-basi, tetapi, bibir Mona seperti terkunci, hanya menatap ke arah Adit dan aktivitas membersihkan balkonnya.
Setelah pertanyaan itu, Adit tak menanyakan apa-apa lagi. Ia menyelesaikan aktivitasnya dan pergi dari balkon, menutupi jendela geser dengan tirai.
Seharusnya Mona menanyakan sesuatu sebelum Adit pergi.
***
Sepertinya Mona tidak nyaman dengan keberadaan Adit.
Jadi, Adit meninggalkan balkonnya untuk memberikan Mona privasi. Semoga saja nanti malam Mona tidak ada di balkon sehingga Adit bisa mencoba menulis di sana dengan nyaman juga.
Adit turun ke lantai satu. Nini sedang menonton drama Korea di ruang keluarga. Bertepatan dengan itu, pintu utama terbuka, menampilkan Mama dengan kantung belanjaan, yang Adit tebak makan siangnya juga ada di sana.
"Ma—"
Panggilan Adit terhenti. Memori di otak menyentak Adit. Cukup kuat hingga Adit memegang kepalanya dan bersandar pada dinding kemudian jatuh meringkuk ke lantai. Mama berseru memanggil namanya, Nini bangkit dari sofa. Pandangan Adit mengabur. Napasnya berubah menjadi satu-satu, dengan isak yang tak berhenti.
Adit ingat.
Adit ingat satu momen dalam episode psikosisnya. Adit ingat apa yang ia lakukan. Hal memalukan itu. Adit ingat teriakannya pada orang yang tak bersalah—Sazkia, tunangannya sendiri. Adit ingat—
"Nggak apa-apa, Adit, nggak apa-apa ...." Sahutan Mama tak mampu menenangkan isakan Adit.
Mengapa Adit melukai Sazkia dengan perkataannya?
Tak heran Sazkia meninggalkan Adit. Mungkin, Adit sendiri tak sanggup bersama orang sepertinya.
Nini memeluk Adit. Adit menyurukkan kepalanya ke bahu Nini. Rasanya sakit saat Adit tahu ia menyakiti orang yang ia sayangi. Ini baru satu memori yang hadir. Bagaimana kalau ada memori ia menyakiti hati Mama? Bukankah dia jadi anak yang durhaka?
Setelah satu memorinya kembali, Adit memilih untuk berdiam diri di kamar, tak berselera makan.
"Adit, kamu harus makan dulu," ucap Mama di tepi tempat tidur dengan tangan mengusap bahu Adit lembut. "Ada obat tambahan untuk ... keadaan seperti ini ... jadi kamu harus makan. Nggak apa-apa, Adit ... semua udah berlalu ...."
Bagaimana bisa ini berlalu ketika Adit baru mengingatnya sekarang seperti baru saja terjadi?
"Yang kemarin itu bukan Adit. Mama tau itu bukan Adit ...."
Hal itu tidak bisa membenarkan apa yang sudah ia katakan pada Sazkia. Dalam ingatan Adit, Adit menyalahkan Sazkia atas ... kematian Papa. Dan kata-kata lain yang seharusnya tidak ia katakan.
"Aku mau sendiri."
"Adit ...."
"Aku mau sendiri, Ma."
Mama pun pergi.
Adit tidak tahu berapa lama ia berbaring hingga napasnya kembali tenang. Yang ia tahu, dari sela jendela, langit sudah berubah menjadi oranye. Di nakas tempat tidur, Mama menaruh piring berisi makanan dan obat. Obat ini berbeda dengan dua obat yang biasanya Adit minum. Obat untuk keadaan seperti ini.
Adit tahu Mama akan tenang bila Adit meminum obat tersebut, maka ia mulai makan makanan yang sudah dingin, dan lima belas menit kemudian, meminum obat yang sudah disiapkan Mama.
Dirinya benar-benar menyedihkan.
***
Journaling selalu menjadi aktivitas yang menenangkan bagi Mona. Sesaat, dia bisa lupa akan masalahnya dan apa yang ia alami. Dia juga bisa lupa akan kesepian yang ia rasakan. Mona biasanya baru sadar waktu telah berlalu dengan cepat ketika Anwar menyundul bahunya, minta makan.
Setelah memberi Anwar makan, Mona menggeser jendela rumah yang berseberangan dengan rumah Nenek Bunga. Sejak mamanya Adit pulang entah dari mana, rumah Nenek Bunga sepi, sepertinya semua orang ada di dalam rumah.
Mona menoleh pada tumpukan novel di meja. Tumpukan novel dengan nama penulis yang sama. Adit. Sebenarnya, sejak kali pertama Adit sampai di Sukabumi, hal pertama yang Mona inginkan adalah ... meminta Adit menandatangani tumpukan novel itu. Tumpukan novel yang membuat hari-hari kesepiannya berwarna.
Tampaknya, tumpukan novel itu harus menunggu entah kapan sampai Mona berani.
Begitu Mona menoleh ke arah rumah Nenek Bunga, mata Mona melebar. Nenek Bunga tengah berjalan ke arah rumahnya! Mona bangkit dari kursi dan segera membuka pintu utama. Nenek Bunga menampilkan senyum menenangkannya itu pada Mona. Sore ini, Nenek Bunga mengenakan gamis warna kuning mustard dengan kerudung hitam panjang.
"Apa kabar, Mona?" tanya Nenek Bunga, melenggang ke dalam rumah.
Mona tersenyum lebar. "Baik karena Nenek Bunga mampir."
"Bisa aja kamu."
Nenek Bunga tertawa kecil. Seperti biasa, Nenek Bunga duduk di sofa berlengan. Mona ke dapur membuatkan teh tanpa gula untuk keduanya, lalu kembali dan duduk di sofa samping Nenek Bunga.
"Adit gimana kabarnya, Nek?" tanya Mona.
Nenek Bunga menyesap teh kemudian tertawa kecil lagi mendengar pertanyaan Mona. "Kenapa kamu nggak tanya langsung sama orangnya?"
Pipi Mona menghangat.
"Malu ...."
"Kamu ini, baru kenal bilangnya malu, tapi nanti kalau udah kenal, paling malu-maluin."
Mona merengek. "Nenek mah ...."
Nenek Bunga menoleh pada tumpukan novel Adit, tersenyum. "Ayo, dong, berani ngobrol sama cucu Nenek. Adit kan nggak gigit."
"Deg-deg, Nek. Kayak ketemu artis."
Nenek Bunga kembali tertawa, namun tawa itu tak bertahan lama. Sorot matanya menyendu dengan jemari mengitari lingkaran gelas, seperti sedang banyak pikiran.
"Adit ... ingat."
Dua kata itu mengendurkan garis wajah Mona. Mona paham sekali rasanya. Pasti ... tidak mudah untuk Adit.
Suara klakson motor di luar rumah mengejutkan Mona. Mona bangkit dan mendapati Danu ada di depan rumahnya, melambaikan tangan.
"Siapa?" tanya Nenek Bunga.
"Danu, Nek."
"Kamu belum putus sama Danu?"
Mona terkekeh. "Nenek suka bercanda."
Mona tahu Nenek Bunga serius.
Nenek Bunga menaruh gelas di meja, kemudian bangkit dari sofa. "Lebih baik kamu cepat putus sama Danu. Dia nggak baik."
Mona tidak menyahut apa pun, hanya tersenyum kecil pada Nenek Bunga. Keduanya berjalan ke luar rumah. Ketika Nenek Bunga berpapasan dengan Danu, Nenek Bunga tidak mengatakan apa-apa dan menoleh pada Mona, pamit. Mona dan Danu menoleh ke arah Nenek Bunga hingga masuk ke dalam rumah di seberang rumah Mona.
"Nenek itu ngapain sih suka mampir ke rumah kamu? Kurang kerjaan banget," gerutu Danu. Sorot matanya yang menuntut itu mengarah pada Mona. "Bisa nggak, kamu nggak usah buka pintu untuk dia? Pura-pura aja nggak ada di rumah."
"Kita mau ke mana?" tanya Mona, mengalihkan pembicaraan.
"Ketemu teman-temanku. Sana siap-siap. Jangan lama."
Perut Mona seperti diremas sesuatu. Ia tidak suka tiap kali bertemu teman-teman Danu. Pandangan mata mereka seperti ... menghakimi Mona.
"Kok masih diem aja? Buruan."
Namun, bila ia membantah Danu, mereka akan bertengkar.
"Iya, aku siap-siap."
Mona tidak mau kehilangan Danu juga.
***
Apakah Danu red flag? 🚩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top