4. Balkon Kamar
Berat badan Adit bertambah.
Adit tahu akhir-akhir ini dia lebih sering di kamar dibanding menggerakkan badannya. Namun, ia tidak menyangka berat badannya akan bertambah cukup signifikan. Mungkin ini ada hubungannya dengan obat yang Adit minum. Nafsu makannya bertambah. Dia bolak-balik kamar dan kulkas cukup sering.
Ini bolak-balik yang ketiga ketika Adit melihat Mama dan Nini—panggilan untuk neneknya—mengobrol di ruang keluarga.
"Adit."
Panggilan Nini menghentikkan langkah Adit menuju kamar. Adit menoleh dengan tatapan bertanya. Ketika Nini menepuk sofa di sebelahnya, itulah pertanda Adit harus mendekat dan mengobrol sebentar dengan Nini. Sebentar di sini bisa lebih dari setengah jam.
"Kamu udah ketemu Mona?" tanya Nini ketika Adit baru saja menaruh pantatnya di sofa.
Adit berpikir sebentar. Mona?
"Perempuan seumuran Adit yang tinggal di seberang rumah," jelas Nini seperti sadar arti ekspresi Adit.
Bibir Adit membentuk huruf O. Yang kemarin menyeret-nyeret motor dengan wajah merah padam itu, ya?
"Kemarin aku yang ambil katering Nini dari dia," sahut Adit.
Mata Nini berkilauan ketika mendapat jawaban dari Adit. "Oh, ya? Terus, kalian ngobrol?"
Bagaimana bisa mengobrol ketika Mona langsung kabur begitu melihat batang hidungnya?
Gelengan Adit memudarkan kilau di mata Nini. Entah apa yang ada di pikiran Nini. Mungkin saja neneknya itu ingin menjodohkan Adit dengan Mona. Padahal, mendapat kejelasan dari Sazkia saja, Adit belum.
Tapi foto kebersamaan Sazkia dan Vino bukannya sudah jelas?
"Adit udah bisa nulis?" tanya Mama, mengalihkan topik begitu sadar raut tak nyaman di wajah anaknya.
Kalau melihat kursor kedip-kedip di layar laptop termasuk menulis, mungkin sudah.
Adit menggeleng lagi.
"Aku merasa hampa," kata Adit jujur. "Aku nggak merasakan perasaan apa-apa. Susah nulis ketika nggak menaruh perasaan di dalamnya. Selama aku masih merasa hampa, sepertinya aku belum bisa menulis."
Mama dan Nini lagi-lagi menatap prihatin. Adit mulai benci dengan tatapan tersebut. Kalau diingat-ingat, hanya Mona yang tidak menatapnya begitu kemarin. Mona malah menatapnya seperti penggemar yang bertemu idolanya. Kayak mau fan-sign tapi takut dan malu-malu.
"Mungkin kamu butuh keluar rumah, jangan di dalam kamar aja," imbuh Nini.
Mama mengangguk. "Tapi, Dokter Devan bilang kamu perlu didampingi. Mama bisa dampingi kamu. Adit mau ke mana?"
Adit bergerak tak nyaman. Selama ini, dia orang yang independen. Adit bahkan pernah backpacker ke gunung. Masa sekarang, ke mana-mana Adit harus didampingi seseorang? Itu seperti ... merenggut kebebasan Adit.
"Aku nggak boleh sendirian?"
"Nggak."
Mama dan Nini menjawab serempak dengan tatapan horor yang sama.
Adit menghela napas berat. Ia memainkan apel di tangannya. Pindah ke Sukabumi, berat badan naik, ke mana-mana harus ditemani, hal baru apa lagi yang akan Adit temui?
"Nini punya ide!"
Mama dan Adit menoleh pada Nini. Mata Nini kembali berkilauan.
"Minta Mona ajak kamu keliling Sukabumi aja!"
Gimana?
***
Adit menghempaskan diri di tempat tidur. Kepalanya berdenyut-denyut. Telinga Adit rasanya bocor mendengar cerita Nini tentang Mona. Apa Mona adalah cucu baru Nini? Tampaknya, Nini bahkan lebih sayang Mona dibanding dirinya.
Adit baru bisa lepas dari jeratan cerita Nini ketika neneknya itu ingin buang air kecil.
Pintu kamar terbuka. Adit langsung duduk tegak. Jangan-jangan Nini langsung ke kamarnya setelah dari kamar mandi? Namun, begitu melihat Mama, Adit menghela napas lega.
Mama menaruh nampan berisi obat dan air putih. Adit melirik jam di dinding. Sudah saatnya minum obat.
Mama tampak lebih ceria di Sukabumi. Padahal baru dua hari mereka tinggal di sini. Mungkin Mama kangen dengan ibunya. Selain lebaran dan tahun baru, bisa dibilang mereka jarang berkunjung ke rumah Nini.
"Ide Nini bagus, Adit," ucap Mama seraya duduk di kursi belajar.
Laptop Adit yang terbuka berada di belakang punggung Mama. Iya. Kursor mengedip-ngedip genit ada di sana. Astaga. Adit sepertinya sudah gila karena menganggap kursor mengedip itu genit.
"Boleh nggak aku jalan-jalannya sendiri aja? Aku janji nggak akan pergi jauh-jauh. Paling ke Selabintana. Aku nggak kenal siapa Mona, nggak deket. Dia cuma tetangga."
Mama menatap Adit dengan sorot prihatin. Tatapan itu lagi. Adit menatap langit-langit kamar. Rasanya sesak.
"Kan, Adit bisa kenalan," saran Mama. "Kayaknya anaknya baik."
Adit memutar otak. Tidak ada saudara yang menetap di Sukabumi. Nini praktis tinggal sendiri di kota kelahirannya ini. Adit jadi tidak bisa meminta tolong pada sepupunya untuk menemaninya jalan-jalan. Satu-satunya opsi adalah ditemani Mama. Itu tidak buruk, dibanding harus bersama Mona.
"Ditemenin Mama aja, deh."
Adit bisa merasakan tatapan Mama, dan Adit tahu Mama ingin mencoba membujuk Adit lagi untuk bertemu dengan Mona. Tetapi, Adit masih tidak nyaman berkenalan dengan orang baru. Adit ingin ... sendirian.
"Ya udah, kalo itu mau Adit."
Mama meninggalkan kamar. Adit kembali sendiri. Hening menjadi temannya. Perasaan hampa itu tak kunjung hilang. Seolah tak ada alasan lagi bagi Adit untuk melengkungkan senyum secara tulus.
Adit bergerak menyamping, memejamkan mata rapat-rapat.
Kapan dirinya bisa kembali menulis?
***
Adit bosan tidak melakukan apa-apa karena kemampuan menulisnya macet. Maka, ia mulai memperbaiki apa saja yang bisa diperbaiki di rumah Nini. Mulai dari pipa yang bocor, gagang antena di atap rumah, jendela-jendela yang macet karena kekurangan oli, termasuk jendela geser di kamarnya.
Kamar Adit di lantai dua sebenarnya memiliki sirkulasi udara yang bagus bila jendela di kamarnya terbuka lebar. Apalagi, ada balkon. Adit membayangkan mengetik cerita di balkon tersebut dini hari atau tengah malam. Pasti asyik.
Usaha Adit membetulkan jendela geser tidak mudah. Sepertinya ada seseorang yang menarik paksa jendela ini sehingga rodanya keluar dari rel. Bunyi decitannya juga mengganggu ketentraman warga sekitar. Adit perlu bantuan video tutorial di internet untuk mengatasi masalah jendela.
"Adit, mau dibeliin makan apa?"
Pertanyaan itu muncul dari balik pintu kamar Adit. Mama tengah berdiri di ambang pintu dengan tas selempangnya.
"Mama mau pergi sendiri?" tanya Adit dengan mata melebar.
Mama boleh pergi sendiri. Kenapa dirinya nggak?
Oh, iya. Mama kan tidak sakit seperti Adit.
Mama mengangguk. "Sepertinya, Mama juga butuh jalan-jalan. Adit mau ikut?"
Adit menggeleng, dirinya menunjuk jendela di hadapannya.
"Jangan terlalu capek. Istirahat lebih penting."
Adit mengerti dirinya sedang sakit. Tapi istirahat adalah hal terakhir yang ingin Adit lakukan. "Aku perlu sibuk, apa pun itu sibuknya. Daripada terus-terusan merasa hampa dan nggak berguna."
Mata Mama lagi-lagi menyorot prihatin. Adit mencoba tak menghiraukannya dengan mencermati rel di jendela geser ini.
"Ya udah, Adit mau makan apa jadinya?"
"Ikut Mama aja."
"Oke."
Mama pergi meninggalkan Adit dengan pikirannya sendiri. Ngomong-ngomong soal makanan, Adit jadi penasaran dengan makanan di katering Mona. Di cerita Nini waktu itu, banyak penghuni kompleks rumah yang berlangganan katering Mona. Kalau rasanya enak, mungkin lebih baik Adit juga berlangganan. Lewat Nini saja, tentunya.
Lebih baik Adit menghindari Mona.
Adit fokus kembali pada jendela di hadapannya. Setelah setengah jam, akhirnya Adit berhasil membuat jendela itu bergeser dengan mulus. Pemandangan lantai sangat kotor di balkon membuat Adit segera turun ke lantai satu untuk mengambil sapu dan pel.
Begitu Adit kembali, dirinya membeku di tempat.
Dengan jendela yang terbuka, Adit bisa melihat dengan jelas keadaan di seberang rumahnya. Mona sedang duduk di bean bag dengan buku di hadapannya. Jaraknya tidak bisa dibilang dekat, tetapi tidak bisa dibilang jauh juga.
Adit masih membeku di tempat ketika Mona menatap ke arahnya, mungkin merasa diperhatikan.
Dan Mona mulai cegukan.
***
Lucu nggak interaksi Mona dan Adit? XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top