2. Pindah
"Adit, obatnya diminum, ya."
Adit tengah menatap layar laptop ketika Mama masuk ke dalam kamarnya dengan kantung obat di tangan. Adit menatap obat tersebut seolah menatap kotoran.
"Aku nggak sakit, Ma," elak Adit. Bagaimana kalau nanti ia ketergantungan obat tersebut?
"Ayolah, Dit ...." Mama duduk di tepi tempat tidur dengan mata nyalang. "Mama mau Adit sembuh ...."
Sembuh dari apa? Adit tidak merasa sakit. Adit baik-baik saja. Adit menatap layar laptop kembali, memperhatikan kursor berkedip-kedip tanpa satu pun kata yang tertuang. Padahal, sudah satu jam Adit duduk untuk menulis. Biasanya menulis mudah bagi Adit.
Kenapa sekarang sulit?
"Obatnya Mama taruh di meja. Tolong diminum," ucap Mama, menaruh obat tersebut bersama dengan gelas berisi air putih.
Mama pergi, meninggalkan Adit dengan obat tersebut. Adit menatap lama obat tersebut. Membuka isinya, membaca namanya. Kemudian ia membuka laman internet dan membaca fungsi obat tersebut.
Antidepresan.
Antipsikotik.
Apa yang terjadi satu bulan ini hingga Mama meminta Adit meminum dua obat tersebut? Apa semua ini ada hubungannya dengan Adit yang kesulitan menulis? Ada hubungannya dengan Papa yang tidak pulang ke rumah? Ada hubungannya dengan Sazkia dan Vino?
Adit bingung. Semua membingungkan. Adit hanya ingin dunianya baik-baik saja. Tapi, dua obat ini sepertinya menjadi bukti bahwa Adit jauh dari kata baik-baik saja.
Adit mengambil obat tersebut dan menaruhnya di laci, begitu saja.
Dia baik-baik saja.
***
Rumahnya berantakan lagi. Adit menatap horor sekelilingnya. Kemudian menatap Mama yang menangis histeris di samping Adit, memintanya untuk meminum obat. Suara tangis Mama begitu pilu, sehingga Adit tak tega dan akhirnya meminum dua tablet obat yang ada di tangan Mama.
"Kenapa berantakan, Ma?" tanya Adit, duduk bersila di atas karpet ruang keluarga.
Mata Mama memerah. Horor terlukis di wajahnya. Mama tidak menjawab apa-apa, hanya memeluk Adit dan mengusap kepala Adit seolah Adit masih anak-anak.
"Yang penting Adit kembali ...," gumam Mama.
Kembali? Kembali dari apa? Kenapa Adit nggak mengingat apa-apa? Apa yang sudah terjadi?
Ketidaktahuan membuat Adit tidak nyaman. Dadanya bergemuruh gelisah. Ia mendorong Mama pelan.
"Sebenarnya ada apa, Ma?" tanya Adit.
Mama tampak tergugu. Ia mengambil ponselnya dan menunjukkan sesuatu di ponsel tersebut. Sebuah video. Mata Adit melebar. Itu video dirinya. Tengah mengobrak-abrik barang di sekitar seperti kesetanan. Semua kekacauan ini ... karena dirinya?
"Adit lagi sakit," gumam Mama lirih. "Adit sakit sejak Papa pergi, Dit ...."
Adit termenung di tempat.
"Adit keluar rumah ... tanpa bawa apa-apa ... Adit bilang Adit mau nyari Papa ... Adit hilang seminggu ... semua orang sibuk nyari Adit ... terus Adit akhirnya pulang sendiri ... badan Adit kotor ... Adit bilang ... Adit nemu Papa ... tapi Papa nggak mau ikut Adit ... Adit menyebut bapak-bapak yang seumuran Papa sebagai Papa Adit ...."
Penjelasan itu membuat sisi kepala Adit sakit, seolah menolak rentetan informasi tersebut. Adit memegang kepalanya, mengernyit. Mama menyadari itu, berhenti cerita, dan kembali mengusap kepala Adit dalam dekapannya.
"Adit nurut Mama, ya ... minum obatnya ... makan dan tidur yang teratur ...."
Dunia terasa berputar dan terus berputar.
Adit seperti terjebak dalam arusnya.
***
Ucapan belasungkawa di media sosial terkait kepergian Papa. Unggahan foto Sazkia dan Vino berangkulan dengan senyum lebar, berikut komentar di unggahan tersebut yang memberi selamat atas pertunangan mereka. Dan Adit yang kini sendiri di dalam kamarnya, menyaksikan itu semua dengan tak percaya.
Ponselnya sudah ditemukan, terselip di pinggiran tempat tidur, tetapi, Adit tidak menemukan chat bersama Sazkia di dalam ponselnya. Chat tersebut kosong. Profile picture Sazkia tidak ada. Padahal, yang Adit lihat dari ponsel Mama adalah foto tanaman kesayangan Sazkia. Adit diblokir.
Kemudian, ada chat dari teman-temannya yang tidak Adit balas. Dengan tanggal yang bervariasi. Isi pesannya juga aneh dan membingungkan.
Adit, lo di mana?
Dit, nyokap lo nanyain lo ke gue. Lo nggak apa-apa?
Adit ... kalo lo butuh temen cerita, gue siap dengerinnya
Dit? Sazkia kenapa?
Adit tidak tahu dirinya di mana saat pesan dari temannya itu dikirim. Adit tidak tahu apakah dirinya baik-baik saja saat temannya ditelepon oleh Mama. Adit tidak tahu kenapa temannya sampai menawarkan diri untuk mendengarkan cerita Adit—entah cerita apa. Dan, Adit tidak tahu apa yang terjadi dengan Sazkia sampai perempuan itu memblokirnya.
Sama seperti chat dengan Sazkia, chat Adit dengan Papa juga kosong. Begitu pula Vino. Ketiga orang yang menjadi sumber kegelisahan Adit sekarang, kini lenyap begitu saja.
Apa benar dirinya gila?
***
Adit menatap nyalang barang-barang yang diangkut ke truk oleh para pekerja berotot. Hari ini, Adit berpisah dengan rumah penuh kenangan masa kecilnya itu. Rumah ini akan dikontrakkan, barang-barang yang ada dipindahkan ke rumah nenek yang ada di Sukabumi. Adit akan tinggal di sana bersama Mama. Tidak ada Papa, tidak ada Sazkia, dan tentu saja tidak ada Vino.
Kata Mama, ini awal yang baru.
Entah apakah Adit menginginkan awal yang baru atau tidak.
Satu bulan terlewati dengan Adit yang rajin meminum obat. Adit yang lebih ingin berada di kamar karena seluruh syarafnya terasa sangat letih, seolah dia mengalami kelelahan yang luar biasa. Kata Mama, itu karena Adit berjalan kaki selama seminggu tanpa makan. Itu karena Adit mengobrak-abrik rumah mencari kepingan Papa.
Adit mencoba menulis selama sebulan, tetapi, tidak ada kata-kata yang keluar, seolah seseorang telah memblokir bagian otaknya yang penuh kreativitas dan imajinasi.
Kalau Adit bukan penulis, dia siapa?
"Semua barang kamu udah di-pack?" tanya Mama dengan senyum. Mata Mama masih menyorot sedih, tetapi, Mama sudah berhenti menangis sejak Adit meminum obat.
Adit mengangguk. Barang yang dibawa sedikit, karena furnitur tetap ada di sini. Mengingat rumah yang mereka akan tempati nanti adalah rumah nenek. Furnitur sudah ada di sana.
"Tawaran jadi pembicara offline juga udah aku cancel semua sesuai permintaan Mama," sahut Adit menambahkan. "Mama jangan nangis lagi."
Mama mengangguk pelan, terkekeh kecil. Untuk beberapa menit, Adit dan Mama hanya menatap para pekerja yang membawa barang-barang mereka ke truk. Mama menggenggam erat tangan Adit, mengusap punggung tangan Adit dengan ibu jarinya. Entah siapa yang perlu dikuatkan.
"Adit pasti bisa sembuh ...," gumam Mama. "Mama yakin Adit bisa sembuh. Mama yakin Adit bisa nulis lagi ...."
Atau mungkin, keduanya saling menguatkan.
***
Kebingungan yang Adit alami sekiranya persis seperti aku saat mengalami episode psikosis. Ada yang ingat episode psikosis tersebut (aku ingat), ada juga yang nggak (kayak Adit). Aku juga sempat kesulitan menulis dan terpuruk karena kehilangan fungsi menulis tersebut. Tapi sekarang aku udah lebih baik-baik aja dibanding pertama kali!
Terima kasih sudah membaca Di Seberang Rumah. Semoga aku bisa konsisten update. Jangan lupa juga cek karyakarsa.com/wulanfadi untuk ceritaku yang berbayar!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top