17. Hari Baru

Pagi itu Mona terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang aneh. Aneh, karena dia sama sekali tidak ingat apa yang kemarin ia lakukan. Mona ingat pagi kemarin dirinya mengantarkan kotak katering, kemudian berdiam di rumah nonton film bersama Anwar, kemudian setelah itu ada gedoran di pintu ... dan blank. Mona tidak ingat kelanjutannya. Seolah ada yang memblok ingatan tersebut.

"Mona udah bangun?"

Pertanyaan itu mengejutkan Mona hingga ia tersentak. Nenek Bunga ada di ambang pintu dengan nampan berisi makanan. Keberadaan Nenek Bunga begitu ganjil di mata Mona hingga satu kesadaran menyentaknya.

Bahu Mona menurun. "Aku ... kena 'episode' lagi, ya?"

Nenek Bunga tidak menyahut, jadi Mona tahu bahwa tebakannya benar.

"Nenek udah buatin sup ayam. Mona makan terus minum obat, ya," sahut Nenek Bunga.

Mona mengangguk. Nampan itu ditaruh di atas bantal sementara Mona duduk bersila, mulai makan. Nenek Bunga memperhatikan Mona dengan sorot ... sedih. Sudah jarang Mona melihat sorot itu. Terakhir kali adalah ketika Mona mengalami 'episode' sebelumnya, sekitar setahun yang lalu.

Karena Mona selalu mengalami 'episode' lanjutan, Mona masih belum bisa lepas dari obatnya. Kata psikiaternya, memang perjalanan pengobatan orang beda-beda. Mona bahkan sudah menerima bahwa dirinya akan selamanya minum obat, bila memang itu yang diperlukan.

"Hari ini hari Minggu, kan?" tanya Mona memastikan.

Nenek Bunga mengangguk.

Wajah Mona berubah cerah. "Hari ini ngerajut bareng Adit, dong!"

Mona tidak mengerti arti dari ekspresi Nenek Bunga. Namun, ekspresi itu berubah dengan senyum tipis di wajahnya. Nenek Bunga kemudian mengusap kepala Mona penuh sayang.

"Iya, hari ini Mona ngerajut bareng sama cucu Nenek, ya."

Mona mengangguk, makin bersemangat menghabiskan makanan agar dirinya bisa cepat-cepat minum obat dan bersiap-siap menyambangi rumah Nenek Bunga. Rasanya sudah lama sekali sejak Mona menemui Adit. Adit apa kabar, ya? Kenapa Mona rasanya ... sekangen itu bertemu Adit? Kapan terakhir kali mereka bertemu? Pasti nggak lama, kan? Mereka 'kan, bertetangga. Tapi kenapa ... rasanya lama sekali?

"Mona."

Panggilan Nenek Bunga membuat Mona mendongak.

"Kamu jangan melamun begitu. Jangan semua dipikirin," Nenek Bunga mengingatkan. "Fokus habiskan makanan kamu kemudian minum obat. Itu aja dulu, ya?"

Ah. Ia overthinking lagi. Mona mengangguk, menuruti nasihat Nenek Bunga.

"Oh, iya. Habis ngerajut, aku mau main sama Danu, ya, Nek!"

Kali ini, Nenek Bunga menangis, dan Mona tidak tahu alasannya.

***

Kata Nini, Mona lupa bahwa ia dan Adit sudah lama tidak bertegur sapa. Mona juga lupa bahwa ... Danu selingkuh. Wajah Nini ketika menceritakannya sangat sedih, sampai Adit sendiri bisa menemukan titik air mata di pelupuk mata Nini.

"Jangan kaget, ya, Adit. Bersikap seolah nggak ada apa-apa di depan Mona. Jangan ... ungkit soal yang terjadi kemarin," pesan Nini. "Nini mau istirahat dulu. Dari semalam, Nini nggak tidur karena takut Mona bangun dan nggak ada siapa-siapa yang jagain dia."

Nini dan Mama beristirahat, sementara Adit yang 'gantian' menjaga Mona meski dari kejauhan. Kata Nini juga, keadaan Mona sudah stabil, hanya perlu pengawasan saja.

"Anwar~ Anwar~"

Adit menoleh ke rumah di seberangnya, di mana Mona memegang mangkuk kecil berisi makanan kucing. Mona mondar-mandir di depan gerbang rumah dengan daster batik dan rambut digelung ke atas. Khas keseharian Mona di pagi hari. Nyari Anwar. Mona benar-benar ... bersikap seperti biasanya, seolah tidak ada apa-apa.

Karena Mona tidak ingat apa yang terjadi kemarin malam. Sama seperti Adit yang masih belum mengingat semua yang terjadi pada episode psikosisnya—dan kemungkinan tidak akan ingat.

"Anwar~ Makan dulu, yuk, Anwar~"

"Mona, kucing kamu tadi bapak lihat di rumah Pak Bayu," sahut bapak-bapak yang tengah memberi makan burung di kandang. Bapak itu tetangga sebelah Mona. Sudah pensiunan dan lebih senang mengurus burung dibanding lemak yang berkumpul di perut.

Mona tersenyum lebar ke arah bapak tersebut. "Makasih, Pak Anwar."

Iya. Nama kucing Mona dan nama tetangganya sama. Entah apa yang mendasari Mona memberi nama kucingnya Anwar. Padahal Anwar Manusia dan Anwar Kucing tidak ada mirip-miripnya.

Mona bergerak ke arah rumah di sebelah rumah Adit—rumah Pak Bayu. Sekali lagi, perempuan itu memanggil nama Anwar. Seekor kucing tiga warna abstrak muncul. Abstrak karena memang warnanya seperti tercampur ke sana-sini, bukan bercak atau totol-totol.

Mona membawa Anwar dalam satu gendongan. Ia hendak berjalan kembali ke rumahnya, sebelum tersadar dan tiba-tiba menoleh ke arah Adit. Tentu saja Adit yang tengah duduk di teras sambil menyeruput kopi, agak terkejut dengan tatapan riang penuh gembira Mona. Tatapan itu ... jelas berbeda dengan tatapan kosong yang kemarin Adit lihat.

"Adit, selamat pagi~"

Mona menyapanya ringan. Adit mengangguk kaku. Mona kembali berjalan dan kini hilang dari pandangan Adit begitu perempuan itu menutup pintu rumahnya.

Melihat Mona melupakan semua yang terjadi kemarin, hati Adit rasanya ... remuk.

***

1 tahun kemudian ....

"ADIIIT!!! ADIIIT!!!"

Suara Mona itu terdengar bahkan dari halaman belakang. Tak berapa lama, suara pintu depan dibuka terdengar.

"AAADIIIITTT!!!"

Nini yang ada di dapur menyahut teriakan Mona dengan santai. "Ada di halaman belakang, Mona."

Derap langkah kaki. Pintu digeser terbuka. Dan kemudian derap langkah kaki lagi hingga sampai di hadapan Adit. Adit mendongak dari pekerjaannya, melihat Mona yang membentangkan ujung rok selututnya, bermaksud pamer.

"Cantik, nggak?"

Adit mengangguk. "Cantik. Bajunya."

Mona langsung mendesis seperti ular. "Akunya nggak cantik?!"

Adit menggeleng.

"IDIIIH," geram Mona kesal.

Adit kini tertawa melihat kerutan di dahi Mona. "Iya, iya, cantik."

Mona nyengir lebar, senang dengan pujian tersebut. Ia pun duduk di sebelah Adit sambil menaruh bantal di atas kedua kakinya yang bersila.

"Mau dibantuin nggak, tanda tangan bukunya?" tanya Mona menawarkan.

"Ogah. Nggak authentic nanti," tolak Adit langsung, kini melanjutkan pekerjaan dengan Mona di sebelahnya. "Ngapain beli baju baru?"

"Sore ini mau jalan dong, sama Danuuu," sahut Mona, pamer lagi.

Bahu Adit sedikit menegang mendengar nama Danu. Walau sudah setahun berlalu, selalu ada alarm di alam bawah sadar Adit bila Mona menyinggung nama Danu. Adit berharap, Mona tidak pernah menyebut-nyebut nama sialan itu lagi. Tapi, meski sering bertengkar, Mona dan Danu tetap bersama, hingga saat ini.

Adit merilekskan bahunya. Lanjut menandatangani. Sementara sesuatu seperti tengah menggedor-gedor nuraninya. Ingin sekali Adit bilang bahwa si brengsek itu telah selingkuh, tetapi, Adit tentu saja nggak mau Mona mengalami episode psikosis lanjutan. Berat.

"Kapan putus sih kamu sama dia?" tanya Adit.

Mona tertawa mendengar candaan Adit—yang sebenarnya bukan candaan. "Nggak bisa banget sih liat orang lain seneng."

"Seneng apanya. Kemarin aja kamu baru nangis gara-gara dia lupa ulang tahun kamu."

"Ih! Itu kan udah masa lalu!"

Adit memutar bola mata. Bila bicara dengan manusia bucin, memang tidak ada menangnya.

"Mona, Adit, ini ada pudding," sahut Mama membawa nampan ke halaman belakang.

"Makasih, Tante." Mona nyengir lebar.

"Eh, cantik banget dress-nya," puji Mama pada Mona.

Mona nyengir makin lebar. "Akunya nggak cantik, Tante?"

"Jelas cantik, dong!"

Mona dan Mama cekikikan sebelum Mama pamit ke ruang kerjanya lagi. Meninggalkan Mona berdua dengan Adit yang masih sibuk menandatangani halaman depan novelnya. Sudah tiga dus halaman Adit tandatangani dari pagi. Tangannya pegal juga. Adit berhenti sejenak, mengambil pudding dan makan bersama Mona yang sudah makan lebih dulu.

"Kamu besok ada seminar lagi ya, di Bandung?" tanya Mona membuka percakapan. "Kemarin sore, Nenek Bunga cerita."

Adit mengangguk. "Mau dibawain apa?"

Mona nyengir lebar—lagi. "Kok tau?"

"Perut gembulmu itu udah menjawab segalanya, Mon."

Mona langsung mencak-mencak dibilang gembul. Adit tertawa kecil dan meminta maaf. Perut gembul Mona memang jadi topik sensitif bagi perempuan itu. Katanya,  badannya kurus, tapi perutnya maju macam bapak-bapak sarungan—sebenarnya nggak maju banget, Mona aja yang berlebihan.

"Mau ikut, boleh nggak?"

Adit hampir saja tersedak dengan pertanyaan Mona.

"Mana ada? Ngaco," sahut Adit langsung. "Kamu mau diomelin pacarmu itu?"

Bibir Mona mengerucut. Perempuan itu tentu saja ingin jalan-jalan gratis. Daripada dibawakan sesuatu, bukannya lebih baik melihat langsung dan memilih hal yang ia sukai?

"Tapi kan seminarnya untuk umum! Aku boleh dong, dateng juga? Aku bisa minta tanda tangan novel baru kamu di sana."

Adit menatap Mona dengan sorot seolah Mona datang dari planet Mars. Mona makin cemberut. Tentu saja karena keinginannya tidak terkabulkan.

"Kan ada editor kamu. Kita nggak hanya berdua. Danu nggak akan marah," ucap Mona masih membujuk.

Adit menandaskan isi puddingnya. "Sekali nggak, tetep nggak."

"Yaaah, Adit, mah," rengek Mona. "Ya udah, deh, batal."

"Mau dibawain apa?" tanya Adit mengulang pertanyaannya.

Mona mengangkat kedua bahu. "Adit pulang selamat aja udah cukup."

Adit mendengkus geli. Arti kalimat Mona adalah, dia nggak tahu apa yang mau ia pilih dan menyerahkan pilihannya pada Adit.

Mona ini ... awalnya malu-malu, sekarang jadi malu-maluin.

Untung teman.

***

Wajah Danu kusut ketika berdantang ke rumah Mona sore ini. Ini sudah yang keempat kalinya dalam bulan ini wajah Danu begitu. Ketika Mona tanya, Danu selalu jawab nggak ada apa-apa. Mona mengenal Danu bukan setahun dua tahun saja, jadi, Mona tahu bahwa ada yang ditutupi oleh Danu.

Mona menoleh ke arah dress yang terpajang di handle pintu lemari. Ia menurunkan rajutan di tangan ke bantal yang ada di atas kedua kakinya yang bersila. Mona menghela napas kecil. Dress itu batal Mona pakai karena Danu bilang acara jalan-jalannya ditunda—entah ditunda sampai kapan, hanya Danu yang tahu.

Denting halus ponselnya membuat Mona beralih dari melihat dress.

Adit: Balkon.

Senyum Mona mengembang. Mona mengambil keranjang rotan berisi peralatan merajutnya dan mengayunkan kaki ke arah balkon. Di sana Adit, tengah berdiri dengan memainkan ponsel. Begitu melihat Mona, Adit melambaikan tangan sekaligus menaruh kembali ponselnya ke dalam saku celana longgar.

"Jadi jalan-jalannya?" tanya Adit.

Adit duduk di bean bag. Laptop berada di pangkuan. Jemari mulai lincah mengetik. Di sela itu, Adit mengobrol dengan Mona. Kemampuan multitasking Adit masih membuat Mona takjub—walau kenyataannya multitasking itu mitos.

Mona duduk juga di bean bag—Adit ikut-ikutan beli bean bag beberapa bulan yang lalu karena melihat betapa nyamannya Mona duduk di bantalan empuk itu. Ia menaruh keranjang rotan di sebelahnya.

"Jalan-jalannya nggak jadi."

"Nggak jadi gimana?"

"Ya, nggak jadi. Batal. Di-cancel. Gimana, sih?"

Adit menaikkan alis. "Santaiii."

"Udah santai ini," gerutu Mona kesal.

"Kok nggak jadi? Kenapa?"

Mona mengangkat kedua bahu. "Nggak tahu. Kayaknya Danu lagi ada masalah deh, di kantornya. Soalnya, wajahnya kusut banget waktu ke sini. Tapi, Danu tuh orangnya nggak pernah cerita apa-apa soal kerjaannya. Katanya—kamu dengerin nggak, sih, Dit?"

Adit mendongak dari layar laptop.

"Dengerin, dengerin. Terus, gimana?"

Mona mendengkus geli. Entah seharusnya ia percaya Adit mendengarkan atau tidak. Temannya itu kadang kalau sudah larut dalam cerita yang ia tulis, kucing melahirkan di sampingnya saja, tidak terhiraukan oleh Adit.

"Ya, katanya, kalo urusan kantor itu urusan dia, bukan urusan aku. Aku nggak usah mikirin itu."

Alis Adit mengkerut. Jelas sekali Adit nggak setuju dengan kata-kata Danu. Tapi, Adit tidak berkomentar apa-apa, hanya berucap, "Oh, gitu, ya."

"Terus aku harus gimana, Dit?" tanya Mona.

"Ya ... nggak harus gimana-gimana?" Adit mengatakan itu seperti pertanyaan, bukan pernyataan.

Mona lagi-lagi mendengkus geli. Adit ini ... awal mengenal Mona kira misterius, tapi ternyata jalan pikirannya datar aja kayak jalan tol.

"Aku mau tau masalah Danu, Dit. Kali aja ada yang bisa aku bantu."

Adit memberi jeda dalam menjawab. Mata Adit menerawang.

"Mending jangan, deh."

"Kenapa?"

"Kalo dia jadi nyerahin masalahnya ke kamu, kan kamu sendiri yang repot."

Bila itu meringankan masalah Danu, sepertinya tidak apa-apa bila Mona sedikit repot.

Adit memicingkan mata. "Kan. Bucin."

"Ih! Apa salahnya bantuin ayang sendiri?" sungut Mona. "Kamu sih kelamaan nggak punya ayang. Jadinya nggak ngerti apa yang kurasain."

"Males ah, punya pacar. Repot."

Mona tahu bukan itu alasan sebenarnya. Mona tahu ketika tak sengaja melihat kotak bernama Sazkia di gudang rumah Adit ketika ia meminjam perkakas. Mona tahu bahwa nama tersebut juga masih tersimpan di sudut hati Adit, walau temannya itu tidak pernah mengungkit apa pun pada Mona. Nama Sazkia pun Mona tahu dari mamanya Adit ketika beliau salah bicara.

"Kenapa? Sorot mata kamu kayak bilang aku belum move on dari mantan aku," tuduh Adit langsung.

Mona melotot. "Aku nggak bilang apa-apa."

"Dia udah punya anak. Mana mungkin aku belum menyelesaikan urusan perasaanku?"

Tapi, Mona nggak percaya.

***

Author Note

Kaget nggak tiba-tiba udah setahun kemudian?!?! Tapi aku suka interaksi Mona sama Adit di satu tahun kemudian yang lebih luwes. Jadi kayak Matt sama Mou.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top