16. Psikosis Mona
Semua terjadi sangat cepat.
Segera setelah perempuan itu—Aleta—menyatakan maksud kedatangannya, Mona membanting pintu menutup, kemudian terdengar suara pintu dikunci dari dalam. Mona meninggalkan Adit dan Aleta terperangah di depan pintu, beberapa detik hanya diisi hening, hingga Aleta tiba-tiba menggedor pintu rumah Mona lagi kali ini dengan meneriakkan bahasa yang kasar meminta Mona berani menemuinya.
Baru kali ini Adit melihat ada selingkuhan yang lebih galak dibanding kekasih asli.
Adit menahan pergelangan tangan Aleta untuk yang kedua kali walau sebenarnya ia malas sekali harus menyentuh tangan perempuan itu.
"Pergi lo dari sini," usir Adit tajam.
"Emang lo siapa?" Aleta menarik tangannya dari genggaman Adit. Aleta kemudian melirik kue di tangan Adit. Aleta mendecih. "Lo selingkuhan cewek itu, ya?"
Brengsek.
"Pergi sekarang juga atau gue panggil satpam," ancam Adit, sama sekali tak sudi menggubris tuduhan Aleta.
Aleta menyilangkan tangannya di perut. "Panggil aja. Gue nggak takut."
Adit menatap lurus Aleta dengan tatapan datar, kemudian ia mengambil ponsel dari saku celana dan benar-benar memanggil satpam kompleks. Aleta benar-benar tak terpengaruh dengan tindakan Adit. Perempuan berambut panjang sepinggang itu malah duduk di teras rumah Mona dengan satu tungkai kaki menyilang ke kaki lain.
"Ternyata yang dibilang Danu bener. Ceweknya sakit jiwa," sahut Aleta kemudian mendengkus geli. "Baru gitu aja langsung kena mental."
"Maksud lo apa?" tanya Adit tajam, tersulut.
Aleta menoleh ke arah Adit. Parasnya yang cantik itu kontras sekali dengan sifatnya. "Danu nggak pantes sama cewek penyakitan kayak dia. Dia lebih pantes sama gue."
Darah Adit terasa mendidih. Butuh banyak pertahanan diri bagi Adit untuk tidak emosi dan tidak menggeplak wajah perempuan itu dengan kue di tangannya.
"Percaya diri banget lo, nggak akan sakit juga," sahut Adit dingin.
Punggung Aleta menegak. "Lo nyumpahin gue sakit jiwa?"
"Oh, lo nggak?" tanya Adit pura-pura terkejut dengan kedua alis naik.
"Sial—"
"Aya naon ieu?"
Satpam kompleks, Mang Hasan, muncul lengkap dengan pentungan di pinggang. Aleta masih menatapnya penuh permusuhan sementara Adit langsung menjelaskan bahwa Aleta sudah mengganggu ketenangan kompleks dengan datang tanpa diundang. Mang Hasan tampak kebingungan, tapi karena Aleta mulai menyumpah-nyumpahi Adit seperti orang kesetanan, Mang Hasan segera bertindak.
"AWAS LO!" sahut Aleta saat menyalakan mesin motornya.
"Lo yang awas. Hati-hati banyak truk!" seru Adit sebal.
"Brengsek. Lo nyumpahin gue ketabrak truk?!"
Perdebatan itu terhenti dengan Mang Hasan yang mengusir halus Aleta. Sepeninggal perempuan itu, Adit segera kembali ke rumah untuk memberitahu keadaan Mona pada Nini.
Wajah Nini langsung berubah pucat.
***
Adit tidak tahu bahwa sakit yang ia dan Mona derita bisa seserius itu hingga ia melihat Nini memanggil tukang kunci untuk membuka pintu rumah Mona dari luar. Karena kegaduhan yang mereka buat, para tetangga keluar dari rumah masing-masing dan bertanya ada apa. Begitu tahu bahwa Mona sedang 'sakit', mereka cemas dan memilih menunggu di sekitar rumah Mona.
Satu jam kemudian, pintu berhasil dibuka dari luar. Nini segera melangkah masuk ke dalam rumah. Adit mengikuti, jantungnya berdebar-debar menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun begitu melihat Mona berada di tempat tidur kamarnya dan meringkuk seperti janin, jantung Adit seperti meluruh ke lantai. Adit melihat Nini memeluk Mona dan mengusap-usap punggung Mona, sementara Mona menatap kosong ... seolah tanpa jiwa.
Mona tidak mengatakan apa-apa walau Nini berusaha mengajaknya bicara, hingga akhirnya, Nini mengambil ponsel Mona.
"Nenek pinjem hape Mona sebentar ya ...," gumam Nini seraya menaruh ibu jari Mona di ujung ponsel agar lockscreen-nya terbuka.
Adit mengamati Mona. Mona masih diam. Tanpa ekspresi. Tanpa sorot hidup dari kedua matanya. Seolah seseorang telah mengambil jiwa Mona.
Nini keluar kamar, membuat Adit mengikutinya. Ponsel Mona ada di telinga Nini, tampaknya Nini sedang menghubungi seseorang, meski Adit tidak tahu siapa yang tengah Nini hubungi. Kerabat terdekat Mona—kakaknya—seingat Adit dari cerita Nini, bekerja jauh di Palembang.
"Halo, Danu. Ini Nenek Bunga, tetangga seberang rumah Mona."
Nama Danu yang muncul dari suara Nini nyatanya mampu membuat mata Adit melebar. Darah Adit kembali mendidih. Buat apa Nini menghubungi brengsek satu itu? Apa belum cukup Danu membuat Mona menjadi seperti ini?
"Nini—"
Nini melayangkan tatapan tajam ke arah Adit seolah tahu apa yang akan Adit katakan. Kata-kata Adit kembali ke tenggorokan. Nini agak menjauh dari Adit, suaranya masih terdengar, menjelaskan situasi.
"Iya. Mona membutuhkan kamu sekarang."
Danu adalah orang terakhir yang Mona butuhkan. Adit yakin hal itu.
Obrolan Nini dan Danu tak berlangsung lama. Nini kembali menghampiri Adit. Adit tidak mau melihat Nini. Bagi Adit, Nini sudah melakukan kesalahan yang besar. Nini malah melukai Mona lebih dari yang seharusnya.
"Kamu akan mengerti nanti," gumam Nini, menepuk bahu Adit penuh simpatik. "Nini juga nggak mau melakukan ini, tapi ini cara satu-satunya."
Adit tidak mengerti apa yang Nini maksud, hingga akhirnya Danu benar-benar datang ke rumah Mona dengan wajah yang begitu kalut, sampai Adit sempat mengira bahwa laki-laki yang sama itu tidak pernah berselingkuh di belakang Mona. Nini segera mengarahkan Danu ke arah kamar Mona, di mana Mona masih meringkuk di tempat tidur, dengan tatapan yang tentu saja masih kosong.
Danu bersimpuh di tepi tempat tidur Mona, menggenggam tangan Mona.
"Mon ... ini aku ...," gumam Danu begitu lirih.
Mata Mona bergerak. Mencari. Hingga sampai pada figur Danu. Air mata meleleh begitu saja, tapi tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Mona.
"Mona ... kamu bisa denger aku, kan?"
Kali ini, Mona mengangguk. Bibirnya bergetar pelan, seperti ingin menggumamkan sesuatu, tapi karena terlalu lemah, tidak ada yang bisa mendengarnya.
"Mona makan dulu, yuk ... habis itu Mona minum obat, ya ...," sahut Danu, kali ini mengusap-usap punggung tangan Mona.
Mona menggeleng. Air mata masih meleleh. Mona semakin meringkuk, seperti melindungi dirinya entah dari apa.
"Ayo ... makan dulu. Habis itu kita bisa main, jalan-jalan. Mona mau pergi ke mana? Aku akan temenin Mona ke mana pun Mona pergi. Aku akan tetep di sisi Mona. Jadi, Mona makan dulu sekarang, ya?"
Singgungan kata 'jalan-jalan', rupanya cukup mampu membuat Mona mendongak, menatap Danu.
"Mau kan jalan-jalan sama aku?"
Mona mengangguk.
"Nah, kalo gitu, Mona makan dulu, ya."
Mona mengangguk lagi.
Adit melihat bagaimana Danu berhasil membuat Mona terduduk di tepi tempat tidur, berhasil menyuapi sesendok demi sesendok makanan ke mulut Mona, berhasil membuat Mona mengangguk dan menggeleng dengan pertanyaan demi pertanyaan sederhana yang diajukan.
Adit terdiam untuk waktu yang lama.
***
Mona berhasil minum obat dan kini tengah tertidur lelap di kamarnya. Nini dan Mama akan bermalam di rumah Mona. Kunci rumah Mona juga disembunyikan agar Mona tidak lagi mengunci rumah dari dalam tanpa penjagaan siapa-siapa.
Adit baru sadar dirinya lapar—dan ia juga belum minum obat malam, sehingga ia pergi mencari makan untuknya dan Nini dan Mama—karena Nini dan Mama juga pasti belum sempat makan karena kehebohan yang terjadi. Adit awalnya tidak ingin membelikan makan untuk Danu, tapi entah kenapa, ia membelikan juga.
Sepulangnya dari mencari makan, Adit melihat Danu tengah menyulut rokok di teras rumah Mona, bersebelahan dengan kue ulang tahun yang tadi sore Adit taruh di meja teras. Saking kacaunya, Adit lupa menaruh kue itu ke dalam kulkas.
Adit berjalan, mengeluarkan sebungkus makanan dari plastik yang ia bawa, kemudian menjulurkannya pada Danu.
Danu melirik ke arah bungkus tersebut, kemudian melirik ke arah Adit.
"Makasih," gumamnya pendek, mengambil bungkus makanan, dan menaruhnya di meja teras. Danu kembali mengisap rokoknya dalam-dalam.
Adit tentu saja ingin memilih tak acuh. Tetapi, ketika ia sudah masuk ke dalam rumah Mona, Adit kembali ke teras.
"Kenapa lo selingkuh?"
Pertanyaan itu tak bisa Adit bendung lagi.
"Kalo lo sesayang itu sama Mona, kenapa lo selingkuh?"
Danu melirik Adit, mengisap rokoknya dalam-dalam.
"Gue nggak mau berantem," gumam Danu.
"Gue cuma nanya."
"Pertanyaan lo bikin gue mau nonjok lo sekarang."
Adit tetap berdiri menatap dingin Danu, sementara Danu hanya menatap ke arah luar rumah Mona yang sudah sepi—para tetangga kembali ke rumah masing-masing begitu tahu keadaan sudah tenang.
"Menurut lo, gampang buat gue tinggalin Mona?" tanya Danu balik. "Lo nggak liat yang barusan?"
Gigi Adit bergemeletuk. Adit tahu. Adit tahu bahwa Mona sangat bergantung pada Danu. Adit tahu bahwa definisi kebahagiaan Mona adalah bila hubungannya baik-baik saja dengan Danu. Tapi di sisi lain, Adit tahu, bahwa Mona bisa saja tidak akan sembuh bila tetap bersama orang yang brengsek seperti Danu.
"Gue udah mau mengakhiri hubungan gue sama Aleta, karena gue sadar Mona mulai curiga. Tapi, Aleta nggak terima dan akhirnya ganggu Mona," sahut Danu menjelaskan. "Mereka semua cuma selingan. Gue akan tetap kembali pada Mona."
"Aleta bukan satu-satunya selingkuhan lo?" tanya Adit terkejut.
Danu berdeham, kini sadar bahwa dirinya sudah salah bicara. Ia bergerak tak nyaman dan menghindari kontak mata dengan Adit.
"Lo yang selingkuh, tapi lo yang malah nuduh Mona selingkuh sama gue," sahut Adit. "Balikkin bungkus makanannya."
Danu mendengkus tapi tetap mengembalikan bungkus makanan yang baru saja diberikan Adit.
Adit melangkah pergi, nggak mau dekat-dekat dengan spesies seperti Danu, takut tertular virus selingkuhnya. Namun, langkah Adit terhenti ketika Danu bersuara.
"Soal itu," gumam Danu.
Adit menoleh ke arah Danu.
"Besok kalo Mona nyapa lo, sapa balik aja."
Alis Adit mengerut dalam.
"Maksud lo?"
Danu balas menatap Adit.
"Tadi dia bilang ke gue, kalo dia mau temenan sama lo. Jadi, gue iyain. Setelah itu baru dia mau minum obat."
***
Di sini Adit savage banget
Makaci udah baca Di Seberang Rumah <3
Kita ketemu Sabtu minggu depan, ya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top