15. Aleta
Sudah dua minggu berlalu. Percakapan Mona dan Adit berakhir hanya sampai di teras malam itu. Ketika Mona menyerahkan kotak katering, dia akan segera pergi tanpa mengobrol sebentar dengan Adit. Balkon kamarnya juga tidak berpenghuni lagi walau Adit seringkali menunggu Mona di seberang balkon. Dan yang terakhir, Mona berhenti belajar merajut dengan Nini.
Nini sempat bertanya apa Adit dan Mona bertengkar, yang tentu saja Adit bingung menjawab apa, maka dia hanya menjawab "Nggak tahu," karena masalah antara Danu dan Mona adalah privasi mereka di mana Adit berada di luar garis.
Sepanjang dua minggu itu, Adit tidak bisa tidur dengan tenang. Beberapa kali ia terbangun tengah malam dan berakhir berdiri menatap balkon di seberangnya. Ada keinginan kuat dalam diri Adit untuk menggedor pintu rumah Mona dan memaksanya memutuskan hubungan dengan Danu. Bahwa Mona berhak mendapat laki-laki yang lebih baik dibanding bajingan itu. Tetapi, Adit lagi-lagi teringat bahwa dia hanyalah orang luar yang tak ada hak untuk mendikte hidup orang lain.
"Ma, aku lagi riset tentang hubungan yang toksik buat cerita aku," ucap Adit ketika berjongkok di depan teras rumah membantu Mama merapikan taman.
Mama menyerok pupuk dari karung, menaruhnya dengan telaten di pot tanaman. "Bukannya kamu lagi buat cerita fantasi anak-anak? Kok ada hubungan toksik segala?"
Adit meneguk ludah. "Ini ... cerita yang lain. Project iseng," dalihnya.
"Oh, gitu, tumben kamu ada project iseng segala." Mama mengangguk pelan. "Kamu mau tanya apa?"
"Hm ... menurut Mama, hubungan toksik itu yang kayak gimana?" tanya Adit.
Mama menaruh peralatan tamannya, kemudian menarik sarung tangan yang ia pakai sehingga terlepas. Mama yang tadinya berjongkok, kini duduk di tepi teras taman.
"Banyak artinya sih, Dit, Mama juga nggak paham-paham banget. Biasanya Mama suka mengandalkan intuisi. Kalo Mama rasa hubungan ini udah nggak sehat, Mama akan bicarain itu ke orang tersebut, atau memilih pergi. Tapi ... pergi juga nggak semudah itu."
Mata Mama menerawang. Adit tahu apa yang Mama pikirkan. Hubungan Mama dan Papa juga, bagi Adit, terbilang toksik. Dan selama itu pula, Mama tidak pergi meninggalkan Papa. Tiap kali Adit bertanya, Mama menjawab bahwa itu demi Adit. Tiap kali Mama menjawab seperti itu, Adit jadi bertanya-tanya apakah dirinya yang menjadi penghambat mamanya bahagia.
Mama kemudian menoleh ke arah Adit, menatap ragu anaknya.
"Kenapa, Ma?"
"Mama boleh ... ngomongin Sazkia?"
Pertanyaan itu ternyata sanggup membuat Adit terdiam beberapa detik sebelum ia mengangguk. Adit tahu, lambat laun, percakapan tentang Sazkia akan kembali ke permukaan dan Adit harus menghadapinya.
"Waktu Adit bilang Adit ngebiayain uang kuliah S2 Sazkia, Mama nggak pernah komentar apa-apa, kan?"
Bahu Adit menegang. Ternyata ... tentang itu.
"Tapi di titik itu, intuisi Mama jalan. Bahwa hubungan Adit sama Sazkia udah mulai nggak sehat. Karena, Dit, saat itu, bukan kewajiban kamu membiayai Sazkia. Mama tau waktu itu kamu ingin segera menikahi Sazkia, tapi Sazkia memberi syarat bahwa dia ingin lulus S2 terlebih dahulu, maka kamu jadi membiayai dia. Tapi, hal itu terdengar aneh di telinga Mama. Karena di telinga Mama, Sazkia terkesan memanfaatkan kamu yang sangat mencintai dia."
Mata Mama kembali menerawang. Adit mengalihkan tatapannya ke depan.
"Mudah bagi kita untuk mendeteksi hubungan toksik orang lain, tapi sulit bila itu terjadi pada diri sendiri," gumam Mama. "Karena semua hubungan melibatkan perasaan. Dan perasaan nggak selalu rasional."
***
Malam itu, Mona tengah duduk bersama teman-teman Danu di pelataran luar sebuah kafe kekinian. Asap rokok, vape, dan shisa mengelilinginya. Mata Mona menatap kosong gelas di hadapannya sementara Danu tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya entah membicarakan apa. Padahal Mona satu SMA dengan mereka, tapi Mona merasa seperti orang luar. Orang yang diajak Danu untuk ikut, lalu diabaikan begitu saja.
Mona ingin pulang.
Mona ingin duduk di balkon kamarnya, mengobrol dengan Adit, atau merajut bersama dengan cucu Nenek Bunga itu. Mona ingin jauh dari Danu, sejauh-jauhnya, tetapi, dia juga tidak ingin kehilangan. Tidak lagi.
Danu masih tertawa, mengobrol dengan bahasa yang kasar, dan sesekali menyesap batang rokok di selipan tangannya.
"Danu ...," sahut Mona, mengetuk pelan bahu Danu dengan jari telunjuknya.
Danu menepis tangan Mona seolah baru saja mendapat gangguan, kemudian tetap lanjut bicara bersama teman-temannya.
Mona menghela napas, kemudian berdiri dari kursi menuju toilet. Tidak ada gunanya juga ia izin ke toilet pada Danu. Laki-laki itu terlalu sibuk bersenang-senang untuk peduli pada Mona.
Sesampainya di toiilet, Mona menyelesaikan urusannya, kemudian mencuci tangan di wastafel. Untuk beberapa saat, Mona menatap refleksi dirinya di cermin. Wajahnya ... terlihat buruk. Sudah dua minggu ini, Mona merasa dirinya mengalami penurunan. Ia tidak sadar waktu sudah berlalu ketika tengah merenung. Beberapa kali ia tidak menyadari Anwar sedang menyundul bahunya meminta makan. Mona seperti ... mayat hidup. Hidup, tapi tidak benar-benar hidup.
Pintu toilet terbuka, menampilkan salah satu teman perempuan Danu. Seharusnya, Mona protes pada Danu karena laki-laki itu boleh-boleh saja memiliki teman perempuan, tetapi kenapa Mona tidak boleh memiliki teman laki-laki? Jawaban Danu selalu sama. Bahwa ia memiliki teman perempuan untuk Mona, agar ada seseorang yang menemaninya.
Tapi selama ini, Mona tak pernah merasa ditemani oleh teman perempuan Danu. Mereka kebanyakan mengabaikan Mona dan sibuk dengan obrolan mereka sendiri yang tak Mona mengerti.
Mona sudah seperti hiasan dinding yang menonton kebersamaan Danu dan teman-temannya.
Teman perempuan Danu itu, Cika, menatap Mona melalui cermin, sebelum ia mencuci tangan di wastafel sebelah Mona. Mona tengah menarik tisu dan mengelap tangan ketika suara Cika memecah hening toilet ini.
"Putusin Danu."
Tangan Mona berhenti bergerak.
"Lo berhak dapet cowok yang lebih baik daripada si brengsek itu." Cika membuka pouch yang ada di pegangannya, mengambil eyeliner. "Gue ngomong gini karena kayaknya nggak ada yang ngomongin ini ke lo."
Mona masih bungkam. Kabut putih mengelilinginya, membuatnya tidak tahu harus bereaksi apa.
Putus dari Danu adalah hal yang tidak pernah Mona inginkan, walau ide untuk membuat keputusan itu seringkali hadir.
Cika mengaplikasikan eyeliner. Mona menatapnya. Kemudian, setelah menaruh kembali eyeliner ke dalam pouch, Cika menoleh padanya.
"Si Brengsek itu selingkuh."
***
Adit ingin memberitahu Mona bahwa akhirnya ia berhasil menulis seribu kata, setelah sekian lama menabung satu dua paragraf di buku tulis. Ketika ia mengetahui jumlah kata yang tertuang, Adit tidak menyangka. Langkah kecil yang ia lakukan berhasil membuatnya sampai di titik ini. Walau masih jauh dari kata sempurna, setidaknya, Adit sudah melangkah.
Akbar: Seminggu lagi pernikahan Sazkia. Lo beneran nggak mau dateng?
Pesan dari Akbar itu datang di sela-sela Adit menulis. Adit langsung membalas, karena tahu, Akbar akan mengirim pesan lain bila diabaikan.
Adit: Nggak.
Buat apa dia datang ketika tidak diundang? Adit juga tidak yakin dirinya kuat melihat Sazkia bersanding di pelaminan bukan dengannya, setelah bertahun-tahun Adit memperjuangkan Sazkia.
Keseharian Adit kini diisi dengan menulis-merajut-menulis-merajut hingga Adit bosan sendiri. Bila inspirasinya mulai memudar, ia akan pergi ke kedai kopi terdekat atau jalan-jalan seputar Lapangan Merdeka, beli telur gulung atau seblak.
Sekarang, Adit sudah boleh bepergian tanpa pendamping, tapi tentu saja, Adit harus memberitahu Mama di mana tujuan bepergiannya dan berapa lama ia pergi. Saking parnonya—dan Adit tidak menyalahkan Mama soal itu—Mama meminta Adit mengirimnya live location melalui aplikasi pesan singkat.
Ketiadaan Mona di hidupnya rupanya mampu membuat sudut di hati Adit kosong. Adit mulai sadar, ketika dirinya sedang sakit seperti sekarang, yang ia butuhkan adalah teman. Apalagi teman yang benar-benar mengerti apa yang ia rasakan. Meski pengalaman psikosis tiap orang berbeda, Adit bisa berbagi pengalamannya dan Mona akan mengerti apa yang ia alami.
Di hari pernikahan Sazkia dan Vino, Adit menjalani harinya dengan biasa, walau sebenarnya seperti ada yang mengganjal di tenggorokan Adit—di mana ia berusaha keras untuk tidak menangis. Adit tidak melihat sosial media sama sekali hari itu, karena ia tahu, foto pernikahan Sazkia dan Vino pasti terpampang nyata di story sosial media teman-teman mereka. Adit tidak ingin melihat hal yang hanya membuatnya sakit hati.
Adit tengah merajut di dalam kamar ketika Nini memanggil namanya dari lantai bawah. Adit menaruh pekerjaannya di nakas tempat tidur kemudian menghampiri Nini. Nininya itu tengah berada di dapur, mengaplikasikan whipped cream di atas kue cokelat berukuran sedang.
"Mona ulang tahun hari ini. Kirim ini ke dia, ya," sahut Nini begitu melihat Adit sudah berdiri tak jauh darinya.
Adit melebarkan mata. Hari ini ulang tahun Mona? Bila tahu itu dari awal, Adit akan menyiapkan hadiah, mungkin hasil rajutannya, atau membeli sesuatu yang pasti disukai Mona, seperti peralatan journaling—di satu kesempatan Mona pernah bilang dia suka jorunaling.
Tapi ... bisa jadi pemberian hadiah pada Mona malah membuat perempuan itu kembali bermasalah dengan kekasihnya.
"Nah, langsung kasih aja, ya."
Nini membawa kue tersebut di atas nampan kemudian memberikannya pada Adit. Tanpa bisa menolak, Adit pun mengayunkan langkah ke pintu utama. Di siang hari seperti ini, Mona sedang istirahat di rumahnya sebelum nanti berkeliling memberikan kotak katering untuk kali kedua.
Rasanya aneh berdiri di depan rumah Mona setelah lama mereka tidak bertukar sapa. Taman di rumah Mona entah kenapa terlihat kurang terawat dibanding pertama kali Adit melihatnya. Kata Nini, Mona juga tidak muncul di pertemuan RT kali ini. Seolah setelah berkeliling memberi katering, Mona akan berdiam diri di rumah.
Adit mengetuk pintu tiga kali, mengucap salam.
Tidak ada sahutan.
"Eh, Anwar," sahut Adit, melihat Anwar muncul dari balik jendela, menatap Adit balik. "Bukain pintunya, dong," tambah Adit bercanda.
Anwar mengeong kemudian hilang dari jarak pandang Adit.
Adit mengetuk pintu lagi untuk yang kedua kali, tapi tetap tak ada jawaban. Apa Mona sedang di lantai dua, ya? Tidur siang, mungkin?
Bila ketukan ketiga tetap tak ada jawaban, Adit akan memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya. Namun, tepat ketika ia hendak mengetuk pintu, suara derum motor membuat Adit membatalkan aksinya dan memilih menoleh ke belakang.
Mata Adit melebar.
Meski hanya melihat satu kali dan dari jauh, Adit yakin ... perempuan yang tengah duduk di atas motor melepas helm itu adalah ... perempuan yang sama.
Perempuan itu menoleh ke arah Adit, menaikkan satu alis, kemudian turun dari motor, seakan tak memusingkan keberadaan Adit di sana.
Dengan langkah penuh percaya diri, perempuan itu menggedor pintu rumah Mona, hingga mata Adit melebar, terkejut. Adit cepat-cepat memegang pergelangan tangan perempuan itu.
"Ngapain lo?" tanya Adit.
Perempuan itu menatap Adit tajam. "Gue nggak ada urusan sama lo, ya. Minggir."
Adit tetap menahan pergelangan tangan itu dari acara menggedor pintu rumah Mona.
"Lepasin!" sahut perempuan itu dengan mata melotot ke arah Adit.
Belum sempat Adit membalas ucapan perempuan itu, pintu rumah terbuka, menampilkan Mona dengan rambut yang masih awut-awutan dengan daster batik. Mona menatap Adit dan perempuan itu bergantian dengan wajah yang jelas bingung.
"Adit ...?" tanya Mona ragu. Ini ... kali pertama Mona memanggil namanya lagi.
Terdengar aneh.
"Jadi lo yang namanya Mona?" tanya perempuan itu dengan seringai di wajah.
Mona menoleh ke arah perempuan itu. "Kamu ... siapa?"
"Gue Aleta, pacarnya Danu yang baru. Gue minta lo putus sama Danu, karena sekarang dia udah sama gue."
***
Kangen sama Adit-Mona? Maaf yaaa kemarin aku nggak update cerita. Kamu mau double up nggak hari ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top