13. Teman Adit

Hal pertama yang Mona perhatikan dari wajahnya pagi itu adalah kedua matanya yang bengkak dan sembab. Bila Mona berpapasan dengan Adit yang biasanya duduk di teras rumah, bisa-bisa, Adit tahu Mona menangis semalaman karena masalah kemarin. Namun begitu Mona ke luar rumah untuk mengantarkan katering, tidak ada siapa-siapa di teras rumah. Malah ... ada satu pengendara motor yang tengah celingukan dengan ponsel di tangan.

"Permisi," sahut pendengara motor itu begitu menemukan Mona yang tengah mengeluarkan motor dari carport.

Mona menaikkan kaca helm. "Iya, ada apa?"

"Rumah blok G1 no. 7 di mana, ya?"

Itu rumah Nenek Bunga.

"Ada perlu apa?" tanya Mona kembali.

Pengendara motor itu terdiam sesaat, kini menatap Mona untuk beberapa saat. Mungkin terdengar aneh, karena biasanya pertanyaan seperti itu langsung akan dijawab dengan gamblang. Tapi, Mona malah seperti mencari tahu dulu maksud kedatangan orang ini sebelum memberikan jawaban.

"Saya teman dari cucu rumah itu. Namanya Adit. Kenal?"

Cara pengendara motor ini menyuarakan maksudnya benar-benar langsung pada intinya, sehingga Mona sendiri akhirnya sadar penampilan laki-laki ini sesuai dengan laki-laki umur 20an seperti Adit.

"Rumahnya yang ini." Mona menunjuk rumah di seberang. Laki-laki itu segera menoleh. "Tanda bloknya ketutupan daun, jadi sering kelewatan."

"Oh, oke. Terima kasih, ya."

Mona melihat laki-laki itu turun dari motornya dan memencet bel rumah. Mamanya Adit muncul tak lama kemudian. Dari wajah mamanya Adit, Mona bisa menebak bahwa bukan dirinya saja yang tidak bisa tidur malam itu. Teman Adit dan mamanya Adit tampak mengobrol singkat sebelum mereka masuk ke dalam rumah. Mamanya Adit bahkan tidak menyadari keberadaan Mona.

Apa yang tengah terjadi? Apa ... ada hal buruk yang terjadi pada Adit?

Mona mengantarkan katering dengan perasaan gamang. Selama itu pula, Mona mencemaskan Adit, apalagi terakhir kali bertemu mereka tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ketika Mona mengantarkan kotak katering terakhir ke rumah Nenek Bunga, yang membukakan pintu adalah teman Adit itu. Teman Adit melihat Mona beberapa detik sebelum ia mengambil kotak katering Mona dan menutup pintu begitu saja setelah mengucap terima kasih.

Balkon kamar Adit tertutup rapat dan lampu kamarnya juga gelap. Mona ingin menghubungi Adit lewat ponsel tapi baru sadar bahkan mereka belum bertukar kontak. Yang bisa Mona lakukan hanya mengecek apakah balkon kamar Adit sudah terbuka atau belum.

Mona tidak bisa ikut campur lebih dari itu. Mau bagaimana pun, dia hanya tetangga di seberang rumah neneknya Adit.

Jam makan siang, ponsel Mona berdering. Sungguh konyol ia berharap Adit menghubunginya. Nama Danu tertera di layar dan hal pertama yang Mona ingat adalah ucapan Adit kemarin.

Tanpa Adit memberitahu Mona pun, Mona sudah menebak. Selama ini dia hanya mengelak. Karena dengan mengelak, semua akan lebih mudah, dan keadaaan ini tidak akan berubah.

Mona mengambil ponsel, mengusap layar untuk menerima telepon Danu.

"Mona," panggil Danu, terdengar ceria di sebelah sana, ironis sekali dengan sembab di kedua mata Mona. "Hari ini aku pulang cepat. Mau dibawain apa?"

Ini. Ini yang membuat Mona berpikir ribuan kali untuk menyudahi hubungannya dengan Danu. Karena dari semua sikap buruk Danu padanya, akan ada satu sikap baik yang memaafkan segalanya. Mona menunggu dan terus menunggu sikap baik tersebut. Ketika mendapatkannya, ia pun bisa mematahkan pilihan meninggalkan Danu.

"Danu ...," isak Mona pelan dengan kedua bahu bergetar.

"Eh, kamu kenapa? Mona ... kamu nangis?"

Suara lembut Danu malah membuat deru tangis Mona mengencang.

"Jangan tinggalin aku, ya ...."

Karena Mona tidak punya siapa-siapa lagi bila Danu juga memutuskan pergi.

***

Setelah minum obat khusus untuk "menenangkannya", Adit bisa tidur dan berusaha untuk tidak memikirkan Sazkia dan Vino. Paginya, Adit sudah membaik, hanya saja ia membiarkan lampu kamar gelap dengan balkon tertutup rapat. Efek obatnya membuat Adit ingin tidur lebih lama dibanding biasanya. Melupakan sesaat apa yang kini menjadi realita. Bahwa dia dan Sazkia, tidak lagi bisa bersama.

Iya. Adit masih berharap Sazkia kembali padanya setelah Adit sembuh.

Kini, harapan itu pupus sudah.

"Adit."

Panggilan Mama dari balik pintu kamar menyapa gendang telinga Adit. Adit tidak ingin bergerak membukakan pintu ataupun menyahut. Adit ingin pura-pura tidur sehingga Mama bisa meninggalkannya dengan damai.

"Ada Akbar, Dit."

Akbar?

Adit terduduk di atas tempat tidur. Alisnya mengerut dalam. Walau tahu ia sudah membuat Akbar cemas karena kemarin malam memutus panggilan telepon begitu saja, Adit tidak menyangka temannya itu akan datang, hari ini juga. Akbar jarang muncul di group chat, bahkan Adit menduga Akbar menonaktifkan obrolan, namun, Akbar adalah orang pertama yang akan datang bila temannya mengalami masalah tertentu. Cuek, tapi perhatian.

"Kayaknya Adit masih tidur, Akbar."

Suara Mama sayup-sayup terdengar.

Adit turun dari tempat tidur, segera membuka pintu kamar, menampilkan punggung Mama dan Akbar yang hendak meninggalkan ambang pintu kamar Adit. Keduanya menoleh ke belakang nyaris serempak. Mama menampakkan wajah lega—baginya, Adit yang mau bangkit dari berbaring di tempat tidur adalah tanda yang bagus. Sementara mata Akbar melebar melihat penampilan Adit.

"Ayo masuk," ucap Adit membuka pintu lebih lebar.

"Mama buat makanan di bawah, ya," sahut Mama dengan senyum tipis.

Begitu hanya ada mereka berdua, Akbar segera bersuara. "Naik berapa kilo?"

Sopan sekali.

Adit tidak menjawab, dia hanya kembali ke tepi tempat tidur dengan kedua kaki menyilang. Akbar melihat itu, kemudian ia menarik kursi belajar Adit dan duduk di sana dengan satu tungkai kaki menyilang ke tungkai kaki lain. Kedua tangan Akbar saling tertaut, satu jari telunjuknya mengetuk punggung tangan, berpikir.

"Gue turut berduka cita."

Adit sudah menduga Akbar dan Mama sudah mengobrol sebelumnya.

Adit mengangguk. "Macet nggak di jalan?"

Adit lebih ingin mengalihkan topik ke hal lain.

Akbar berputar-putar di kursi belajar, kemudian berhenti tepat di depan botol obat-obatan yang ada di meja belajar. Akbar melihat botol tersebut cukup lama sebelum ia menyahut.

"Yah, nggak terlalu macet kalo naik motor."

"Lo naik motor ke sini?"

"Harusnya naik apa? Odong-odong?"

Adit tidak menyahut. Ia melihat Akbar berdiri dari kursi belajar menuju pintu geser balkon. Temannya itu menggeser pintu dan melangkah ke arah balkon. Kedua sikunya bersandar ke pinggiran balkon. Punggung dengan jaket varsitynya yang terlihat Adit. Adit tidak menyusul Akbar. Lebih nyaman di tepi tempat tidur.

"Pernikahan mereka private. Tapi, tetep aja ke-spill di group chat. Habis itu, Vino langsung keluar grup. Temen-temen bingung mau tanya ke siapa soal ini, karena sebelumnya lo juga udah keluar grup. Jalan satu-satunya ya nelepon lo langsung."

Lagi, Adit tidak menyahut.

Kabut putih itu mulai muncul lagi mengelilingi Adit. Adit beranjak dari tempat tidur menuju balkon, berdiri berjarak dengan Akbar.

"Sazkia ninggalin gue karena gue sakit. Gue nggak bisa nyalahin dia."

Hanya itu yang bisa Adit katakan. Bahwa semua sakit yang Adit rasakan sekarang bukan salah Sazkia. Ini salah dirinya yang mentalnya tidak begitu kuat sehingga bisa sakit seperti ini. Bila Adit baik-baik saja, mungkin ... mungkin Sazkia masih berada di sampingnya.

"Dit."

Panggilan itu sejurus dengan tatapan serius Akbar ke arahnya.

Adit menatap Akbar balik. "Apa?"

"Baru satu bulan sejak mereka tunangan, sekarang, mereka mau nikah bulan ini. Emang menurut lo nggak aneh?"

Adit tidak sepolos itu untuk tidak tahu maksud Akbar, tetapi, dirinya ingin mempercayai apa yang ingin ia percaya.

"Sazkia nggak ninggalin lo karena lo sakit. Tapi emang dari awal, dia ada affair sama Vino."

Lagi-lagi, Akbar segera mengeluarkan argumennya dengan cepat.

Adit bungkam. Ia tidak ingin percaya itu. Bila ia mempercayai itu, dirinya tidak bisa lagi menyalahkan sakit jiwanya lagi.

Melihat wajah Adit menggelap, Akbar segera mengalihkan tatapan ke arah luar balkon. "Sekarang ... nggak usah dipikirin dulu. Mumpung lagi di Sukabumi juga, mending kita kulineran. Gue yang teraktir."

***

Danu datang dengan senyum cerah di wajahnya.

"Nih, aku bawain kesukaan kamu," ucap Danu seraya menaruh barang bawaannya ke meja kopi ruang tamu.

Mona membuka pintu utama lebar-lebar seperti biasanya bila Danu datang berkunjung. Berikut membuka tirai dan jendela. Sehingga orang luar dapat melihat aktivitas di dalam ruang tamu rumah Mona. Kemudian, Mona duduk di hadapan Danu, memilah satu persatu barang bawaan kekasihnya. Ada jajanan kesukaan Mona. Lumpia basah, kue bandros, dan telur gulung.

"Makasih, Danu," gumam Mona dengan senyum tipis.

Danu baru mengamati detail wajah Mona ketika mereka akhirnya berhadapan. "Kamu habis nangis?"

Mona segera menyentuh ujung matanya. Apa sembabnya masih terlihat walau ia sudah mengenakan riasan wajah?

"I-Iya ... aku habis nonton drakor."

Tawa Danu mengudara. "Ada-ada aja, kamu. Yaudah, gih, dimakan dulu."

Mona mengangguk, mulai membuka lumpia basah terlebih dahulu. Ketika ia makan, beberapa kali ia menemukan Danu berbalas pesan entah dengan siapa di ponselnya. Namun, senyum Danu mengembang tat kala ponselnya berdenting menandakan ada pesan baru yang sampai.

Mona tak berani bertanya dengan siapa Danu berbalas pesan.

Danu sedang baik. Suatu hal yang jarang terjadi. Mona tidak mau membuat suasana hati Danu memburuk, walau itu artinya, suasana hati Mona dirundung gelisah.

Perasaan tertekan itu muncul, membuat matanya menerawang membayangkan saat-saat Danu selalu baik padanya, berharap saat-saat itu kembali.

"Kok bengong?"

Pertanyaan Danu membuat mata Mona kini kembali fokus pada kekasihnya.

"Lagi ... mikirin drakor tadi."

Lagi-lagi Mona beralasan.

Danu kembali tertawa. Mona kira sore ini akan dihabiskan dengan duduk-duduk di ruang tamu, tetapi tiba-tiba Danu mengeluarkan kotak perkakas dari tas ranselnya kemudian berdiri.

"Mumpung aku lagi di rumah kamu, aku mau benerin lampu kamar yang kemarin rusak itu. Biar kokoh lagi."

Mata Mona melebar tat kala Danu melenggang begitu saja ke area dalam rumah, tepatnya ke arah kamar orangtua Mona. Mona meletakkan lumpia basahnya di meja sembarangan, kemudian ikut berdiri mengejar Danu.

Terlambat.

Danu sudah melihat lampu kamar orangtua Mona nyala terang benderang.

Danu terdiam di ambang pintu yang terbuka lebar. Kepalanya mendongak mengamati lampu tersebut. Kemudian, ia berbalik dan mendapati Mona ada di hadapannya dengan wajah pucat.

"Siapa yang gantiin?"

Suara Danu sedingin es. Mona gemetar, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Danu bergerak maju, kini kedua tangannya memegang bahu Mona dengan kasar.

"Siapa yang gantiin? Jawab."

***

Dunianya Mona ikut-ikutan nggak baik-baik aja, nih ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top