11. Makan Siang
Suasana hati Danu tidak pernah bisa Mona tebak.
Siang ini di akhir pekan, Danu mengajaknya makan di luar. Semua awalnya baik-baik saja. Danu bahkan memakaikan Mona helm. Mereka berangkat menuju restoran steak yang tentu saja dipilih Danu. Kemudian mereka duduk di dekat jendela, di mana Mona bisa melihat seliweran kendaraan bermotor di jalan raya.
Hingga pesanan makanan Danu ternyata salah.
"Kan saya udah bilang saya mau steak saya medium well. Ini kenapa medium?"
Suara Danu cukup kencang hingga beberapa orang yang duduk di sekitar meja mereka menoleh penasaran. Suara Danu pula membuat bahu Mona menegak penuh antisipasi. Mona selalu menjadi orang yang tidak menyukai konfrontasi apa pun, apalagi di depan umum seperti ini.
Pramusaji yang kena semprot Danu itu meminta maaf dan akan membawakan steak sesuai pesanan Danu. Danu berdecak kesal, menyingkirkan hotplate ke sisi meja yang kosong.
"Mood aku udah buruk. Kita pergi aja," cetus Danu sambil mengecek layar ponselnya.
Mona menatap Danu dengan sorot cemas. "Tunggu sebentar aja, Nu ... kan mau dibawain sama waiters-nya ...."
Danu melirik ke arah Mona, terdiam beberapa detik, kemudian mendengkus.
"Ya udah."
Punggung Mona kembali rileks. Tiap kali Danu berulah, Mona menjadi orang yang harus siap siaga. Seolah dirinya sedang berjalan di atas cangkang telur.
Pesanan Danu tiba lima belas menit kemudian. Tidak ada hambatan atau omelan lagi. Namun, satu hal yang Mona perhatikan ... Danu sering mengecek layar ponselnya. Bisa dibilang Danu seperti sedang makan sendirian dengan ditemani ponsel, bukannya ditemani kekasihnya.
"Kamu lagi liat apa?" tanya Mona cukup penasaran.
Danu tersentak, seolah tersadar bahwa di hadapannya tengah duduk Mona. Dengan cepat, Danu mengunci layar ponsel dan menaruhnya secara terbalik, menampilkan logo ponsel.
"Nggak liat apa-apa," jawab Danu cepat. "Aku mau nyoba saus punya kamu, Mon."
Danu menusuk daging steak yang sudah dipotong dan mengoleskan daging itu ke saus di hotplate Mona. Mona memperhatikan gerak-gerik Danu. Sudah bersama Danu hampir enam tahun, Mona tahu ada yang sedang Danu sembunyikan, namun ia tak memaksa Danu memberitahu hal yang tidak ingin dibicarakan laki-laki itu.
Hal itu sudah seperti aturan tak tertulis di antara hubungannya dengan Danu. Tentu saja, semua karena Mona yang 'sakit' tidak bisa meminta banyak.
Danu masih bersamanya saja sudah sebuah anugerah.
Ponsel Danu berdenting. Dengan cepat, Danu mengambil ponselnya. Senyum terukir di wajah Danu tak lama setelah ia menatap ponsel. Danu mengetikkan sesuatu di ponselnya, membuat Mona menduga laki-laki itu tengah mengirim pesan pada seseorang.
Siapa orang yang bisa membuat Danu tersenyum seperti itu?
Ada gelisah ... yang tiba-tiba hinggap di hati Mona.
Mona menyuap makanan ke mulutnya, menatap ke luar jendela.
Rasanya ia ingin pergi dari tempat ini. Jauh dari Danu.
***
Ketika Sakti menelepon Adit untuk kesekian kali, Adit tahu bahwa saran Mona untuk jujur adalah keputusan tepat. Adit tidak tahu harus menjelaskan dari mana, jadi ia mulai dari memberitahu Sakti tentang kepergian papanya. Sakti tentu saja terkejut, lebih terkejut lagi ketika Adit mengatakan bahwa ia tengah menjalani pengobatan ke psikiater.
"Semua baik-baik aja, sekarang?" tanya Sakti setelah lama terjadi jeda di sambungan telepon.
"Baik, Mas. Hanya butuh waktu untuk menulis lagi ... mungkin ...," jawab Adit walau sedikit ragu.
Bila Adit butuh waktu untuk bisa menulis kembali, sebenarnya seberapa banyak waktu yang ia butuhkan? Adit mengempaskan punggung ke kursi belajar, berputar-putar di sana.
"Menulis bisa kamu pikirkan nanti. Yang penting kamu pulih dulu, Dit," sahut Sakti. Ada kehati-hatian dalam suaranya. "Lakukan hal yang bisa kamu lakukan saat ini, jangan diforsir. Untuk novel barumu ... mungkin bisa ditunda hingga tahun depan."
Tahun depan? Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang? Adit berhenti berputar. Adit tidak berniat memberitahu Sakti dengan tujuan naskahnya ditunda hingga tahun depan. Adit hanya ingin Sakti tahu kondisinya. Itu saja.
"Aku bisa selesaiin tahun ini, Mas. Aku ... yakin."
Adit tidak yakin.
"Dit ...." Sakti menghela napas. "Nggak apa-apa kalau kamu butuh istirahat tahun ini. Kebetulan orang terdekatku juga pernah mengalami apa yang kamu alami, jadi aku kurang lebih mengerti situasinya sekarang .... Nggak apa-apa, Dit."
Nggak apa-apa.
Apakah benar nggak apa-apa kalau Adit hanya istirahat saat ini? Tanpa melakukan tulis-menulis? Kalau dirinya bukan penulis, lalu dia siapa?
Adit tidak pernah tahu rasanya kehilangan identitas ternyata ... semenyeramkan ini.
"Baik, Mas," ucap Adit akhirnya, menyerah. "Tapi, walau gitu ... aku akan tetap coba nulis sedikit-sedikit."
"Betul. One step at a time. Selain itu ... aku juga turut berduka atas kepergian papamu, Dit."
Adit tak mengobrol banyak dengan Sakti setelahnya. Ia hanya menatap layar ponsel yang kini hitam gelap. Adit tak juga beranjak dari kursi belajar, tapi ia sendiri tidak tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini.
Adit bersyukur editornya memahami apa yang ia alami dan menyarankannya untuk mengambil jeda istirahat. Tetapi, Adit tetap tak nyaman dengan kenyataan bahwa buku barunya akan terbit tahun depan. Adit ... tidak terima.
Cukup lama Adit berada di posisi tersebut hingga suara derum motor membuatnya menoleh ke arah balkon. Apa itu Mona dan kekasihnya? Adit sempat melihat Mona pergi bersama kekasihnya di jam makan siang. Ketika Adit melihat jam, ternyata sudah jam empat sore. Kemungkinan tadi Mona makan siang di luar rumah.
Adit seperti menguntit ketika mengamati Mona dari jendela kamar. Hubungan Mona dan kekasihnya saat ini tampak baik-baik saja dari luar. Mona melambaikan tangan, tersenyum tipis pada kekasihnya ketika laki-laki itu pergi dengan motornya. Begitu kekasihnya tak terlihat lagi ketika berbelok ke kiri, senyum tipis di wajah Mona terhapus. Mona mengembuskan napas berat kemudian beranjak ke dalam rumah.
Adit ingin menceritakan soal editornya pada Mona, tetapi sepertinya, ini bukan saat yang tepat.
***
Sudah tidak aneh lagi bagi Mona melihat Adit berada di balkon kamar. Namun, kali ini, bukan laptop yang berada di pangkuan Adit, melainkan rajutan yang minggu kemarin tengah Adit kerjakan. Untuk beberapa detik, Mona hanya memandang takjub ke arah Adit. Lagi-lagi Mona merasa seperti memiliki ... teman seperjuangan.
"Hai," sapa Mona seraya duduk di bean bag.
Adit masih fokus pada rajutan di depannya, hanya bergumam, "Hm," sebagai balasan.
Aneh sekali. Bersama Adit, Mona tak merasa canggung lagi. Saat mereka merajut kemarin pun, Mona bisa duduk nyaman di satu ruangan dengan Adit. Apa sekarang Mona dan Adit sudah berteman? Semoga saja.
Mona mulai membaca buku di pangkuannya, menuju halaman terakhir yang kemarin ia tinggalkan. Cukup lama Mona menyelami dunia yang ditulis pengarangnya. Ia yakin tadi baru jam 8 malam, namun ketika ponselnya berdenting dan layarnya menyala, jam sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam.
Mona mengambil benda pipih itu. Notifikasi dari aplikasi e-commerce. Mona kira ... ada pesan dari Danu. Tujuan Mona membaca sebenarnya adalah sambil menunggu pesan dari kekasihnya. Mona memang sering bertukar pesan kadang menelepon sebelum tidur dengan Danu.
Kali ini, tidak ada satu pesan pun.
Apa Danu sudah tertidur? Hampir tidak mungkin, mengingat Danu suka sekali tidur dini hari.
Mona membuka aplikasi pesan. Danu ada di pesan teratas, sengaja Mona sematkan di sana. Segera Mona melihat kontak Danu.
... Online.
"Mon?"
Mona mendongak dari layar ponsel. Adit sedang menatap ke arahnya.
Mona duduk tegak. "Kenapa?"
"Aku kesulitan slip stitch. Udah liat video, tetep nggak bisa."
Mona menatap rajutan di tangan Adit. Rajutan syal itu ternyata sudah selesai, tinggal disimpul mati. Mona cukup takjub dengan keterampilan Adit karena lelaki itu baru belajar merajut kurang dari seminggu.
"Kita ketemu di bawah?" tawar Mona.
Adit mengangguk.
Pertemuan itu terjadi di depan gerbang rumah Mona. Mona teringat saat Danu datang dan membuat gaduh suasana. Semoga saja laki-laki itu tidak muncul lagi. Mona tahu ia berpasangan dengan laki-laki yang posesif, tetapi Mona juga tahu kemungkinan besar hanya Danu yang mau menerimanya.
Mona tidak bisa meminta banyak.
"Jadi begitu," gumam Adit kala mengamati Mona melakukan simpul mati di rajutannya.
"Sisa benangnya diselipin kayak gini," ucap Mona yang sudah menyiapkan jarum tapestry.
Adit mengangguk-angguk. "Thanks, Mon."
Adit masih di tempat, melihat Mona menyelipkan sisa benang ke untaian rajutan. Sorot lampu jalan menyinari setengah wajah Adit, membuat wajah tersebut dua kali lebih tegas dan terlihat jelas. Dilihat dari dekat, Adit memiliki garis wajah oval dengan pori-pori cukup besar. Bekas jerawatnya juga terlihat. Yang menjadi fokus Mona adalah bulu mata Adit yang panjang ... seperti rusa.
"Mon? Kamu ngapain?"
Mona mengerjap, ia melihat ke arah untaian rajut. Rupanya, sisa benang sudah semua diselipkan Mona. Ya ampun! Mona gelagapan, menyerahkan syal tersebut ke arah Adit.
"U-Udah beres," ucap Mona seraya berbalik menuju rumahnya.
"Mon."
Namun panggilan Adit tentu saja membuat langkah Mona terhenti. Mona kembali berbalik, menatap Adit yang juga tengah menatapnya. Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat, hingga suara Adit memecah hening di antara mereka.
"Makasih buat sarannya waktu itu. Aku disuruh istirahat sama editorku."
Mona memproses ucapan Adit kemudian bibirnya membentuk huruf O. "I-Iya. Aku seneng kamu akhirnya bisa jujur."
Adit mengangguk. "Besok aku mau jalan-jalan sama nyok—mamaku. Kira-kira aku harus jalan-jalan ke mana, ya?"
Mata Mona melebar. Adit tengah meminta pendapatnya! Dengan segera, Mona kembali berdiri di hadapan Adit dan mulai membeberkan tempat wisata di Sukabumi.
Sampai rasanya, Mona yang lebih bersemangat dengan rencana jalan-jalan itu dibanding Adit.
***
Danu mencurigakan nggak, sih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top