10. Merajut Bersama
Sudah genap dua bulan Adit tidak menulis apa-apa. Buku dari editornya sudah ia baca semua, namun, buku-buku itu tak juga menyembuhkan writer's block akut yang Adit alami. Perasaan hampa di relung hatinya tampaknya menjadi momok utama dirinya tidak bisa menulis. Adit ingin tidak merasa hampa, namun, ia tidak tahu caranya.
Selama ini, Papa selalu menjadi motivasi terbesar Adit untuk menunjukkan bahwa ia bisa sukses dengan caranya sendiri. Tetapi, ketika Papa tidak ada di dunia ini lagi, motivasi itu juga hilang bersamaan dengan kepergian Papa.
Dan, kesadaran menghantam Adit. Mengapa dirinya bersusah payah membuktikan dirinya pada orang lain? Buat apa?
Kehilangan tujuan nyatanya membuat Adit tidak tahu lagi harus melakukan apa.
Adit menutup laptopnya dan mengembuskan napas keras-keras. Ia mendongak menatap langit-langit kamar, kemudian berputar-putar di kursinya.
Ting-tong.
Suara bel di pintu menghentikan aksi berputar-putar Adit. Adit tahu ada Nini di lantai bawah sedang—lagi-lagi—merajut. Adit menunggu hingga bunyi pintu dibuka. Benar. Beberapa detik setelahnya, pintu terbuka dan Adit mendengar suara—
Mona.
Adit bangkit dari kursi, segera turun ke lantai bawah. Biasanya, Mona akan pergi begitu saja setelah menyerahkan kotak katering sehingga Adit tak mendengar suaranya. Namun kali ini, tampaknya Mona akan tinggal sebentar di rumah Nini.
Mona sedang di ruang keluarga mengobrol dengan Nini. Di kedua tangannya, Mona mendekap keranjang rotan berisi benang-benang yang serupa dengan milik Nini.
"Eh, Adit," sapa Nini begitu matanya menangkap figur Adit di anak tangga. "Mona mau belajar merajut sama Nini. Udah jalan tiga bulan, loh. Kamu mau ikut?"
Mona menoleh ke arah Adit dan untuk beberapa saat mereka bersitatap. Adit memutus tatapan mereka untuk menatap Nini.
Apakah Adit punya kerjaan lain selain bengong? Tentu saja tidak ada. Apakah Adit mau belajar merajut untuk membunuh waktu? Mungkin. Apa itu artinya Adit akan menghabiskan waktu bersama Mona? Tentu saja. Apa Adit mau menghabiskan waktu bersama Mona? Bisa jadi, Adit sudah lama tidak berbincang dengan teman sebaya.
"Mau?" tanya Nini untuk kedua kali.
Adit mengangguk.
Dan mata Mona melebar terkejut.
***
Sejak Adit tinggal di rumah Nenek Bunga, sebenarnya, Mona meragu untuk melanjutkan belajar merajutnya. Bagaimana bila Adit terganggu dengan keberadaan Mona? Maka dari itu, sudah dua minggu Mona tidak berdantang ke rumah Nenek Bunga.
Tetapi, minggu ini, Nenek Bunga sendiri yang mendatangi rumah Mona untuk bertanya kapan Mona main ke rumahnya untuk belajar merajut. Mona tentu saja tidak bisa menolak. Pertama karena tak ada alasan yang logis, kedua, karena ia rindu berada di samping Nenek Bunga.
Mona duduk di sofa yang berseberangan dengan Adit. Dua tangan Mona sudah sibuk merajut, sementara Adit masih dipandu Nenek Bunga untuk membuat simpul. Lucu juga melihat Adit kebingungan dan Nenek Bunga sampai mengomel karena Adit tidak juga berhasil mengikuti instruksinya.
Nenek Bunga mengajarkan Adit membuat kotak terlebih dahulu. Kemudian, Nenek Bunga meninggalkan Adit dan Mona berdua karena ingin membuat makan malam—katering Mona hanya untuk makan siang.
"Susah juga," ucap Adit.
Mona mengangguk. "Nanti juga terbiasa, kok."
Untuk beberapa saat, Adit dan Mona sama-sama sibuk dengan rajutan di tangan masing-masing.
Ketika merajut, pikiran Mona teralihkan pada benang di tangannya. Fokus membuat Mona tenang. Ketika satu alur rajutannya berhasil, Mona merasa sudah melakukan suatu progres. Menurut American Counseling Association, merajut menghasilkan hormon serotonin, sebuah anti-depresan alami. Mona menyesal baru belajar tiga bulan ini merajut.
"Aku bosan. Mau sambil nonton film?" tawar Adit menurunkan hakpen dan benang dari tangannya.
Mona mengangguk. Ia melihat Adit menyalakan televisi dan mulai mencari-cari film di layanan streaming film.
"Kalo horor kamu takut, nggak?" Adit kembali bertanya.
Mata Mona melebar. "Aku suka horor."
Kali ini, Adit menatap Mona. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Sama."
Ada satu kesamaan antara Adit dan Mona! Tunggu. Sebelum itu, ada juga kan, satu kesamaan mereka? Contohnya pergi ke psikiater yang sama. Mona bertanya-tanya apa lagi kesamaan di antara mereka.
Apa Mona bisa menjadi sahabat Adit, ya? Apa Adit mau jadi sahabat Mona?
Adit bertanya apakah ada film yang ingin Mona tonton. Mona setuju menonton apa saja meski bukan horor sekalipun. Dia sudah terbiasa membiarkan orang lain memilihkan sesuatu untuknya, terutama bila bersama Danu. Bersama Danu, hampir tidak pernah Mona menentukan di restoran mana mereka makan siang. Danu akan bertitah dan Mona menurutinya.
Adit berakhir memilih satu film yang cukup terkenal pada masanya. Kalau tidak salah, film ini ditonton lebih dari sepuluh juta kali. Tiap liburan pun, selalu ditayangkan di televisi nasional.
Adit kembali ke posisi merajutnya. Suara menggema dari televisi sama sekali tidak mengganggu laki-laki itu. Sesekali, Adit melihat ke arah rajutannya, kemudian melihat ke layar televisi.
Mona mengerjap.
Kenapa dia jadi mengamati Adit begini?
... Aneh.
***
Adit kira suasana akan canggung bila ia duduk di ruang keluarga bersama Mona. Ternyata, tidak secanggung itu. Beberapa kali, Adit bahkan meminta Mona menunjukkan cara merajut saat Adit lupa cara yang ditunjukkan Nini.
Adit berhasil membuat dua granny square dan entah dari mana Adit merasa sangat bersemangat untuk membuat lebih banyak rajutan.
Siang berganti malam. Adit sudah tak heran lagi ketika menemukan Mona di balkon seberang. Adit menganggukan kepala pada Mona sebelum duduk di lantai, dengan laptop berada di antara kedua tungkai kakinya yang bersila. Adit harap kali ini ada inspirasi yang lewat dan tahu-tahu layar laptopnya terisi kata-kata.
Harapan Adit rupanya terlalu muluk.
Sudah setengah jam Adit hanya menatap kursor berkedip tanpa tahu harus menulis apa. Adit mengembuskan napas keras-keras, menutup layar laptop. Pandangan Adit lantas tertuju pada Mona yang tengah menatapnya.
Untuk beberapa detik, tatapan Mona dan Adit bertemu.
"Susah, ya?" tanya Mona tiba-tiba.
Kedua alis Adit terangkat.
"Udah dua bulan kamu nggak update cerita." Mona memperjelas.
Adit menurunkan alis dan membentuk huruf O di bibir. Ternyata, Mona tak hanya membaca novelnya, tetapi juga blognya, di mana cerita yang belum rampung Adit bagikan. Selalu seru membaca reaksi pembacanya. Adit juga mendapat sudut pandang baru dari pembaca terkait ceritanya.
Mona menutup novel dan kini sepenuhnya menatap Adit penasaran.
"Kamu kok nggak memilih untuk istirahat?"
Pertanyaan yang sangat wajar dari seseorang yang tahu kondisi Adit. Nini dan Mama juga menanyakan hal serupa. Adit harus istirahat. Adit jangan lihat laptop dulu. Adit jangan lihat media sosial. Adit tahu maksud Nini dan Mama baik, tapi Adit tidak tahu harus melakukan apa selain menulis dan terhubung dengan pembacanya lewat media sosial.
"Empat bulan lagi ada festival buku. Editorku ingin naskahku sudah selesai agar bisa diikutsertakan di festival itu. Ini ... bukan saat yang tepat untuk istirahat."
Mona mengangguk-angguk. Mata bulatnya kemudian menerawang ke atas, sebuah gestur yang kini Adit ketahui karena sedang memikirkan respon yang tepat untui menjawab. Adit menunggu.
"Kamu ... nggak kasih tau kondisi kamu ke editormu?"
Kondisi bahwa Adit sakit jiwa?
Mona menggerakkan kedua tangan di depan sebagai gestur, jangan salah paham. "Maksudku, pasti susah untuk memberitahu hal itu. Hanya saja, menurutku, kamu akan lebih lega kalau editormu tau. Mungkin editormu akan paham dengan kondisi kamu."
Adit tak menjawab apa-apa untuk beberapa detik. Bagaimana caranya Adit memberitahu Sakti tentang sakit jiwanya ketika Adit sendiri masih belum menerima apa yang terjadi padanya?
"Kamu tau, Mon," ucap Adit. "Aku berharap, dengan menulis cerita, aku bisa balik ke aku yang dulu. Aku berharap yang terjadi denganku sekarang hanya mimpi buruk. Semua tetap sama. Tapi nyatanya? Semua berubah."
Ada jeda yang begitu panjang. Adit menghindari tatapan Mona ke arahnya. Adit tidak mau lagi mendapat tatapan yang sama dari Mama dan Nini, tatapan prihatin, seolah Adit adalah orang termalang di dunia. Adit tidak suka tatapan itu.
"Aku nggak akan pernah bisa paham sama apa yang kamu laluin, Dit."
Sepenggal kalimat itu nyatanya mampu membuat Adit mengarahkan tatapannya tepat ke netra mata Mona.
Dan, di sana, tidak ada tatap prihatin itu.
Mona menatapnya dengan keteguhan yang entah datang dari mana. Mona yang sedikit kikuk tiap interaksi, kini tampak berbeda.
Adit tercenung.
"Pasti berat, ya?"
Pertanyaan itu membuat mata Adit perih. Tidak mungkin kan, dia menangis hanya karena pertanyaan Mona?
"Dit ...." Mona menyilangkan kedua kakinya. "Yang paling susah itu ... di kondisi kayak gini ... adalah menerima. Itu sulit. Bahkan buat aku yang udah jalan lima tahun."
"Dan yang kamu butuhin sekarang memang istirahat, Dit. Mau sekeras apa pun kamu berusaha buat nulis, kamu nggak akan bisa di kondisi yang sekarang. Semakin kamu berusaha melawan arus, semakin kamu merasa ... terpuruk."
Yang Mona katakan ... ada benarnya. Tiap kali Adit membuka laptop dan tidak menghasilkan apa-apa, semakin Adit mempertanyakan identitasnya sebagai penulis. Tentu saja, Adit pun semakin frustasi.
Apa istirahat adalah hal yang ia butuhkan?
***
Iyaaa, istirahat ya, Dit. Jalan-jalan! Kulineran! Rebahan!
Udah chapter 10 aja. Gimana nih kesan pesan cerita Di Seberang Rumah? Semoga suka, ya! Terima kasih juga karena sudah membaca, memberikan vote, dan komentar. I wuf you <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top