Part 07

Jangan pernah merasa paling tak berguna di dunia ini. Jangan seolah Allah membedakan takdir yang terjadi. Namun introspeksilah diri, kesalahan apa yang pernah kita perbuat di dunia ini.

×××××

Sejak pagi tadi, kedua matanya tak henti menelisik penjuru sekolah. Sampai kini perempuan yang ia cari tak menampakkan diri. Ikhsan melangkahkan kakinya menuju ruang biologi. Cepat-cepat ketika bel istirahat berbunyi ia menuju ke sini, berharap Ran ada di sina nanti.

Mata Ikhsan celingukan menelaah ruangan tersebut yang kini dipenuhi oleh anggota-anggota lain. "Lihat Kak Ran nggak?" tanyanya pada salah seorang yang seangkatan dengannya. Namun pertanyaannya hanya dibalas gelengan.

Namun entah mengapa kakinya melangkah menuju ruang Lab. Kimia, ia berharap perempuan itu ada di sana. "Mohoh maaf Bu, saya mau tanya di dalam ada Ran?"

"Fuji Ran ada di rooftop, katanya tadi sih mau belajar."

Ikhsan menarik napasnya lega, akhirnya ia menemukan perempuan itu. "Terima kasih, Ibu."

Dan langsung saja ia berlarian menapakkan kakinya di tangga, pokoknya ia harus meminta maaf. Sesampainya di atap, ia belum menemukan sosok gadis itu. Desiran angin kencang menyambutnya lagi di sini.

"Ikhsan?" sapa gadis itu dari belakang. "Ngapain ke sini?"

Semula semangatnya mengebu-gebu untuk bertemu Ran, namun ketika bertemu perempuan itu nyalinya seketika ciut. Hatinya mendadak kacau saat menelisik raut wajah yang kelihatan sayu. "Hm ... Aku mau bicara sama kamu," kata Ikhsan memberanikan diri.

Ran mengangguk dan memberi ruang kepada Ikhsan agar melanjutkan perkataannya, "Tentang apa?"

"Tentang kemarin, aku mau minta maaf, Ran. Aku benar-benar menyesal dengan perkataan itu." Kedua telaga itu terlihat sendu serta Ikhsan nampak tak bersemangat lagi ketika bertemu Ran. Bahkan wajah gadis itu tak se-excited seperti kemarin.

Ran mengangguk pelan sesekali menarik napasnya dalam. "Aku hanya ingin membantu kamu, toh kalau memang kamu nggak percaya dengan kemampuanmu lebih baik mundur terlebih dahulu."

Dengan cepat Ikhsan menggelengkan kepalanya. "Bukan seperti itu Ran, aku ... Aku hanya takut untuk memulai. Tapi insya allah sekarang aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk olimpiade ini," ucapnya sungguh-sungguh seraya tersenyum simpul.

Sejak mendapatkan pencerahan dari pak Insan kemarin, ia termotivasi untuk berusaha sampai adanya keputusan Allah nanti. Kini, Ikhsan percaya Allah akan memberikan jawaban dari tiap pertanyaan hamba-Nya. Yang perlu ia tekuni bahwa Allah adalah sebaik-baik pembuat skenario di muka bumi.

Ran akhirnya membalas dengan senyuman lebar, hingga membuat ujung matanya ikut tertarik. "Alhamdulillah jika kamu sudah menyadari hal ini. Setiap orang akan mengalami jatuh dalam kehidupannya. Aku pun pernah. Saat kamu bilang aku nggak akan mengerti tentang perasaanmu sehancur itu, sebenarnya aku merasa tersinggung," balas Ran sedikit mengecilkan volume suaranya. "Tapi it's okey, aku sadar kamu sedang dilema kan saat itu?"

Mengangguk pelan, Ikhsan memasang wajah kikuknya. Ah, saat ini entah mengapa perasaannya tampak gaduh. "Sekali lagi aku minta maaf, Ran."

"Iya Ikhsan ... Aku baik-baik saja dengan hal itu."

"Dan apa yang harus aku mulai sekarang? Pre-test yang sempat tertunda kemarin?"

Ran menerawang jauh, jemarinya menopang dagu dan ruat wajahnya tampak bingung. Seketika ia menggeleng. "Aku rasa nggak sempat untuk hari ini. Bagimana jika kamu kerjakan di rumah? Nanti besok kita evaluasi."

Ikhsan menyetujui dan menerima beberapa kertas yang diberikan Ran. "Jika ada yang ingin aku pertanyakan boleh aku whatsapp kamu? "

"Boleh kok, asal jangan modus, ya!" jawab Ran seolah bercanda sambil mengerlingkan mata sebelah kirinya. Namun alih-alih percandaan yang ia buat justru menjadi boomerang bagi lelaki itu. Desiran darah Ikhsan gemetar dan hatinya seolah ikut terombang-ambing. Apakah ini yang dinamakan mencintai dalam diam?

Ikhsan tertegun sejenak pikirannya berada dalam kamuflase. Ran mampu membuat hatinya sekejab saja ikut andil, yang semula canggung namun sekarang berdetak hebat. Perempuan ini ajaib, dia bisa membuat perasaannya tak menentu.

Apakah aku bisa menggapaimu?

×××××

Sejak kejadian di lab. Kimia tadi, Ikhsan merubah kepribadiannya. Banyak diam. Walau Ran berulang kali mengajaknya berbicara, ia hanya mampu mengamati tiap inci raut wajah gadis itu atau hanya tersenyum manis untuk menanggapi.

Lagi-lagi dilema menghinggapi. Apakah ia pantas mencintai perempuan seperti Ran?

Gadis itu terlalu sempurna untuknya. Jika dibandingkan Ikhsan hanyalah sebutir debu dari seluruh alam semesta ini.

"Ikhsan dari tadi kamu diam aja. Ada masalah?"

Menggeleng cepat, Ikhsan menghadapkan tubuhnya di depan Ran. Sekilas saja matanya segera berpaling ketika sepasang netra itu bertemu dengan matanya. Lagi-lagi Ikhsan tak bisa mengendalikan diri.

"Ikhsan are you okay?" ujar Ran pelan seraya memasang wajah lugunya.

"Aku baik-baik saja, Ran," gumamnya pelan, "aku hanya kepikiran habis ini akan menghadap Bu Mia," alibi Ikhsan namun ia kali ini berkata jujur. Sehabis istirahat ia akan menemui bu Mia, entah hukuman apa lagi yang akan diberikan bu guru tersebut kepadanya.

Ran hanya menanggapi dengan satu kali anggukan, mereka kini berada di koridior lantai dua. Perjalanan mereka dalam keheningan, sesampai derap langkah menghentikan keheningan di atmosfer ini.

"Ran ... Fuji Ran!" teriakan itu melengking di sepenjuru lantai dua. Ran kontan menoleh seraya mengernyitkan alisnya.

Lelaki berperawakan tegap, tubuh semampai mendekati Ran. Wajah kucel dan kelopak mata yang tampak menghitam membuat raut wajahnya cukup mengerikan.

"Ada apa?" tanya Ran mengangkat bahunya.

Namun serta-merta membuat Ikhsan bergeming. Ketika lawan bicara Ran melangkah mendekati. Lelaki itu Yudha. Teman yang dahulu membuatnya sampai seperti ini. Terlihat berbeda dari tiga tahun yang lalu.

Tatapan mata setajam elang tersebut menatapnya balik. Yudha sama terkejutnya melihat Ikhsan berada di sini. "Ikhsan?"

"Lho kalian saling mengenal?" Ran menelisik seraya menggumam pelan dengan penuh tanda tanya.

"Sudah keluar dari lapas, San?" ujar Yudha sembari mencebikkan sebelah bibirnya dan sama sekali tak mengindahkan pertanyaan dari gadis berketurunan Jepang tersebut. “Kok lo kurusan sih, San? Beda banget dengan tiga tahun yang lalu,” lanjut Yudha sambil terkekeh dengan nada mengejek.

Ikhsan menarik sudut bibirnya, amarah tampak membara di sekitar wajahnya. “Semua orang berhak berubah, termasuk aku,” pungkas Ikhsan telak sambil memalingkan wajahnya masam. Ia tak akan memberi muka lagi kepada Yudha. Bukannya ia ingin memutus tali silaturahmi, namun manusia seperti Yudha tak pantas untuk menjadi temannya lagi.

Dirinya tak akan melupakan kejadian tiga tahun yang lalu. Di mana para preman, Arvi, Danu, beserta dirinya harus dibekuk polisi. Menghabiskan tiga tahun di dalam jeruji besi. Menabahkan hati bahwa masa depan sulit untuk diraih. Namun Yudha: pelopor dari masalah ini malah bertepuk tangan, duduk dikursi kerajaan, dan tertawa hambar menyaksikan kami masuk televisi nasional.

Bermodalkan ayah sebagai konglomerat, berkedudukan tinggi di naungan pemerintahan daerah membuat Yudha tenang-tenang saja.

“Orang seperti kita ini mana bisa berubah. Lo liat gue sekarang masih bobrok macam dulu, kan? Tapi ya, nasib gue nggak seburuk lo jadi sampai sekarang belum ada tuh surat panggilan dari polisi,” kata Yudha dengan nada jemawa.

Ran mendengus kesal ketika mendengar ocehan Yudha. “Sudahlah San nggak usah di tanggepin. Anggap aja orang setres,” singgung Ran dengan frontal. Tanpa pikir panjang Ran mendorong tubuh Ikhsan agar segera melangkah ke depan.

“Lo kali yang setres!” teriak Yudha dengan suara melengking. Namun singgungan di bibirnya malah semakin melebar. Mangsa lama yang yang datang lagi.


•••
Heii, jangan lupa tinggalkan jejak!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top