Part 03

Aku sadar, saat ini Rabb-ku memberikan kesempatan supaya aku membersihkan hati.

Ikhsan

➡➡➡

Setelah perjanjian yang dibuatnya bersama bunda, Ikhsan memberanikan diri untuk tetap mengikuti kata hati. Sebenarnya tak semudah itu untuk mendaftarkan lagi agar bersekolah disaat usianya sudah hampir menginjak delapan belas tahun.

Memang belum terlambat, namun dirinya seolah tak percaya apakah bisa menjalankan nanti ke depannya.

Pun ada rasa takut yang menjalar pada hatinya. Penolakan. Ikhsan paham tak semudah itu mengubah image dirinya, ketika penjuru dunia pun tahu akan dia. Dua tahun itu menjadi hal paling terberat baginya dan keluarga.

Bahkan abi yang berprofesi sebagai ustad kondang harus terkena dampaknya. Pahlawan di kelaurga mereka harus menerima cemooh. Banyak majelis-majelis menolak agar lelaki itu tak memberi ceramah.

Ikhsan tahu betapa terpukul abi, ketika dakwahnya untuk mensyiarkan agama Allah harus dihadang dengan segala cara. Maka dari itu, sampai saat ini lelaki itu seolah tak menerima bahwa anaknya adalah seorang pencuri handal di masa itu.

“Bunda sudah menelpon Om Ridwan, beliau bilang kamu bisa sekolah lagi karena kebetulan bulan ini sudah memasuki awal semester baru. Tapi ...,” wanita berparas anggun itu menggantungkan perkataannya.

Ikhsan menatap bundanya dengan lekat. “Tapi apa, Bun?” tuntutnya seraya menggenggam tangan halus milik wanita di depannya ini.

“Tapi Om Ridwan nggak mau kamu mengulangi lagi kesalahan yang pernah kamu perbuat itu.”

Ikhsan mengangkat wajahnya sendu, mata setajam elang itu membungkus hangat. Ia tumpahkan rasa penyesalan lewat perasaan yang berkecamuk di dada seraya memeluk hangat ibunda. “Ikhsan janji, Bun nggak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ikhsan tidak akan lagi mengecewakan bunda dan abi.”

×××

“Sudah saya katakan Pak Ridwan, saya nggak mau menerima anak itu di sekolah ini,” bentak kepala sekolah tersebut dengan lugas. Hidung mancung yang bertengger kaca mata membuat sosok dirinya yang sangat tegas. “Saya nggak akan merusak citra sekolah yang sudah lama kita bangun bersama-sama.”

Ikhsan dan bundanya tertunduk tatkala pria yang berstatus kepala sekolah itu menolak kedatangan mereka. Sama pun seperti Ridwan yang bernotaben sebagai wakil kesiswaan tak mampu berbuat apa-apa.

“Setidaknya kasih dia kesempatan satu kali saja, Pak.”

Pria itu menatap Ikhsan lekat yang kini sedang menundukkan kepalanya. “Saya tahu Ridwan, setiap orang berhak memiliki kesempatan. Namun kamu lihat tadi saat Ikhsan memasuki sekolah kita, dia dicemooh siswa-siswi di sini. Bahkan mereka rela menghambur demi menumpahkan amarah.”

“Dia bisa membuktikan kepada siswa di sini bahwa dia mampu mempertahankan citra sekolah,” pungkas perempuan berbibir tipis tersebut. Mata yang menyipit, lengkungan senyum yang lebar menambah kesan anggun di dalam dirinya. “Maaf sebelumnya Pak, saya ikut campur. Seorang pendosa pun dapat diampuni oleh sang Pencipta, lalu kenapa kita hanya seorang hamba-Nya tak bisa melakukan?”

Semula tekad yang sudah putus dan pandangan yang tertunduk membuat Ikhsan mengendur. Tetapi ketika perempuan itu datang dengan suara lantangnya membuat Ikhsan kagum setengah mati. Perempuan itu, yang ia temui di kereta kemarin. Yang sukses membuat dirinya terkagum ketika membaca tulisan dari buku catatan yang ia baca. Seperti sebuah harapan yang tercurah untuk perempuan itu di masa depan.

“Ada apa ke sini, Ran?” tanya pria yang telah berkepala empat tersebut tanpa mengindahkan pernyataan dari Ran tadi.

Ran mengangguk seraya memberikan bundelan yang berada di tangannya. “Itu daftar nama yang akan mengikuti perlombaan akademik maupun non akademik, Pak. Di sana juga sudah tertera berapa anggaran yang kita butuhkan.”

“Baiklah,” ucap kepala sekolah sembari menandatangani berkas tersebut.

Ran tampak ragu seolah ingin menyampaikan sesuatu, “Hm ... Bagaimana jika lelaki ini Bapak kasih kesempatan untuk mengikuti perlombaan tersebut agar dia bisa mempertahankan nama baik sekolah.”

Sekejab saja mendengar hal itu, Ikhsan menoleh. Kedua telaganya menilik kembali kesungguhan di dalam perempuan yang ia kenali bernama Ran.

“Baiklah,” kata kepala sekolah menyetujui, “Saya akan memberi kamu waktu selama tiga bulan dan kamu harus menguasai salah satu cabang dari perlombaan tersebut.”

Ridwan menoleh ke arah Ikhsan, menatap lekat sepasang telaga yang sangat terluka. “Bagaima Ikhsan kamu mau?”

Pandangan Ikhsan penuh kalkulasi, tiap-tiap detak jantungnya berdo'a pada illahi apakah ia bisa memperjuangkan ini. Ikhsan menatap bunda penuh tanya, semua ia putuskan apa yang terbaik kata bunda. Dan ketika pertanyaan yang ia isyaratkan lewat kedua netra, bunda mengangguk sembari membungkus telapak tangannya memberi kekuatan.

Ran tersenyum kepadanya seakan memberikan energi agar ia mampu menjalani ini semua. “Nggak apa-apa, kamu harus optimis. Aku akan bantu kamu, San.”

Ikhsan mengangguk mantap, “Baiklah saya akan mencobanya.”

➡➡➡

Usai keluar dari ruang kepala sekolah, Ikhsan tak serta-merta untuk bernapas lega. Ia harus menghadapi siswa-siswi yang bergermbolan untuk menghakiminya.

“Bubar sekarang!” teriak Ridwan lantang. Lantas membuat para warga sekolah berlari ketakutan.

Pria yang selalu ia panggil om Ridwan adalah adik bungsu bunda. Menjabat sebagai wakil kesiswaan membuat Ridwan disegani oleh siswa-siswi di sini.

“San kenalkan ini adalah Ran,” ucap Ridwan seraya menghampiri bunda Ikhsan. “Ran ajak Ikhsan keliling dulu aja, ya. Bapak ada perlu sama bunda Ikhsan.”

Ran mengangguk setuju. “Ayo, San!” ajaknya sembari mengitari penjuru sekolah.

Setelah sampai di depan mushola, Ikhsan duduk di pelataran serta disusul oleh Ran yang duduk di sampingnya. “Kamu beneran nggak keberatan untuk membantu aku?”

Tersenyum lebar, Ran menggeleng cepat menandakan ia tak keberatan dengan hal itu. “Aku tahu kamu adalah anak yang baik, apalagi saat melihat bundamu sangat percaya bahwa kamu bisa melewatinya.”

Ikhsan menjalarkan kakinya sambil memejamkan matanya untuk menenangkan pikiran yang berkecamuk. “Aku pernah membuat Bunda patah saat itu. Bahkan ketika melihat air mata berderai tatkala aku di bawa oleh polisi, ketika aku harus berpisah bertahun-tahun dengannya. Maka dari itu aku nggak akan pernah mengecewakan keluargaku lagi termasuk Bunda.”

Ran menatap lekat sepasang telaga yang tersirat penuh luka. Yang ia nilai bukan tentang masa lalunya, namun tentang sekarang yang selalu diusahakan. Dan Ran melihat itu di dalam diri Ikhsan.

“Kamu bisa Ikhsan dan kamu nggak sendirian. Ada Bunda, aku, dan Pak Ridwan.”

Ikhsan mengitari pandangannya. “Kelas kamu di mana, Ran?”

Ran mengangkat alisnya dan menunjukkan kelasnya yang berada di samping kantin. “Itu kelas dua belas IPA dua,” katanya tanpa ragu.

Menganggukkan kepalanya, hatinya sedikit kecut. “Aku kira kamu masih kelas sepuluh.”

“Hm, kalau kamu nggak ada masalah itu apakah kita sebaya?”

Ikhsan mengangguk ragu, “Ya begitulah, Ran ... Sebuah kesalahan yang membuat aku seperti ini. Ah, rasanya aku canggung mau panggil kamu apa.”

Ran terkekeh pelan, lirikan tipis yang melengkung di matanya membuat wajahnya semakin terlihat manis. “Jadi aku harus panggil kamu Dek Ikhsan, gitu?”

Mendengar lelucon dari Ran membuat Ikhsan tertawa lebar. Kali ini, semenjak perkara itu dia dibawa lagi pada kebahagiaan. Setelah sekian lama luka itu menjalar, Ikhsan berusaha tegar. Dan akhirnya terjawab sudah segala hal tentang menunggu, tentang ikhlas yang tak akan mengkhianati, dan tentang rasa syukur yang memberkati.

Sampai jumpa di part selanjutnya, ya! Jangan lupa vote dan komen. Terima kasih sudah selalu mendukung kami 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top