Part 01

SMA Negeri 02 Palembang, Februari 2017

Mentari telah menyusup dan merangkak menyapa bumi. Perlahan-lahan semburat panasnya pun menerpa kulit milik para insan di sini. Terik matahari satu per satu menyipitkan mata manusia, membuat insan tak berdaya membenci berhadapan langsung dengan sumber daya energi itu. Padahal di dunia belum seberapa, di banding di padang masyhar nanti yang katanya matahari hanya lima jengkal di atas kepala.

Empat lelaki berseragam putih abu-abu berjalan beriringan menuju kantin belakang. Dengan ransel yang hanya menggantung di bahu kanan, lalu memasang ancang-ancang untuk melompati dinding yang melebihi tinggi mereka. Satu lelaki berponi dengan baju di keluarkan sedikit kesulitan untuk memanjat, dan tinggal lelaki itu sendirilah yang belum berhasil meloloskan diri dari perangkap yang disebut neraka.

"Cepetan, San!" teriak lelaki itu sedikit menengadahkan kepalanya. Bahkan tak ada niatan untuk membantu teman satunya yang kesulitan.

Ikhsan Fisabilillah, lelaki itulah yang sampai sekarang tak dapat menerobos dinding tinggi itu. Indra pendengarannya menangkap ketukan sepatu yang semakin dekat. Ikhsan lebih berusaha untuk mengalahkan dinding setinggi tiang bendera baginya ini, disebabkan postur tubuhnya yang sangat simetris. Sedikit berisi, pendek, dan tak cekatan.

"Hei, siapa itu?!" pekikkan itu melayang di kantin belakang. Membuat sang pelaku bergidik ngeri dan membalikkan kepalanya ke belakang. "Ikhsan!" teriak guru wanita berkaca mata tersebut. Sehingga membuat sang pelaku berhasil lolos dan meloncat.

Napasnya tersengal-sengal. Teman-teman yang lainnya pasti telah pergi saat tahu ada bu Nani tadi. Namun ia telah tahu ke mana tujuan mereka. Warnet. Keahlian Ikhsan untuk menjadi hacker tak bisa diragukan lagi. Walau di dunia nyata, ia tak bisa apa-apa, namun di dunia online Ikhsan adalah pakarnya.

Biasanya yang dilakukan oleh Ikhsan untuk mendapatkan uang tambahan dengan cara menjual item-item yang telah di cheat duplikasikannya dan di jualnya lagi dengan player-player yang lain. Siapa sangka terkadang dari situ pun ia bisa menghasilkan uang tanpa modal dan tanpa harus bersusah payah.

Setelah sampai di warnet, yang lain telah menempatkan posisinya masing-masing. Ikhsan menyewa komputer di sudut ruangan dan mengaktifkan situs resmi khusus pengguna hacker. Ia merogoh ransel dan menemukan buku kecil dan membuka di lembar terakhir. Terdapat nomor telepon yang tertera.

Tugasnya adalah melacak di mana lokasi pemilik nomor telepon tersebut. Ikhsan mengernyitkan dahi tatkala layar monitor menunjukkan lokasi yang tak ia ketahui. Ilustrasi mobil di peta tersebut berjalan menuju ke selatan, di sudut layar terdapat tulisan 15 jam truk akan segera sampai tujuan. Sudut bibirnya terangkat, senyum licik terpatri di wajah Ikhsan.

"Gimana?" celetuk remaja yang berada di samping Ikhsan.

"Misi selesai! Nanti malam kita ke sana dan ajak preman belakang sekolah." Tak lama itu ia mematikan komputer, lalu membayar harga sewa. Ikhsan membalikkan badan, teman-temannya mengekori.

Tepat malam hari tiba, Ikhsan dkk, beserta empat preman yang selalu mangkal di belakang sekolah menyusuri jalan menggunakan motor. Di tangan Ikhsan ada tablet yang selalu di tatapnya serius. "Belok kanan, Ar," perintahnya kepada Arvi. "Berhenti, Ar. Kita tunggu di sini."

Arvi mematikan mesin motornya dan menyembunyikan motor tersebut di semak-semak belukar. Sama pun dengan yang lainnya. Mereka bersembunyi di antara semak-semak tersebut. Kecuali Ikhsan yang matanya masih menyorot fokus ke layar.

"Lima menit lagi, Bro!" serunya bersemangat dan tidak ada rasa gugup sekali pun. Arvi dan Danu meniarabkan tubuh mereka di jalanan. Misi inilah yang selama ini mereka gencar.

Jalanan telah sepi karena pukul telah menduduki posisi tengah malam. Ikhsan pun mematikan layar ketika lampu mobil menyorot jalanan yang gelap ini. Sangat apik sekali mereka bersembunyi. Dan saat truk pengangkut komputer ujian SMP Mahesa berhenti tatkala melihat dua remaja terguling di jalan, supir dan satu temannya turun dari truk untuk melihat yang terjadi.

"Bocah cilik, Dul," kata supir tersebut sembari membalikkan tubuh Arvi yang telah dilumuri cairan darah. Satu temannya membelalakkan mata tak percaya ada dua remaja seperti tertabrak lari.

"Ayo nggawa menyang rumah sakit," balas satunya lagi dengan tergesa-gesa sambil menggendong Arvi. Namun tak lama itu Arvi dan Danu menyemprotkan cairan etanol ke mata supir dan temannya itu. Sehingga membuat kedua orang yang dijebak menjatuhkan Arvi dan Danu ke aspal.

Para preman pun menjotos korban sampai babak belur dan tak sadarkan diri. Preman berbadan kekar itu mengangkut supir dan menguntalkannya ke semak-semak. Setelah selesai preman itu mengangkat alisnya. "Gue bawa mobilnya, Bro," serunya kepada Ikhsan.

Ikhsan terlihat pucat, deru napasnya pun tak terkontrol.

"Ajak Ikhsan dan Arvi, Om. Kelihatannya mereka berdua masih ketakutan," perintah Yudha segera.

"Yudh, bagaimana kalau ada orang yang tahu?" pungkas Ikhsan dengan gemetar.

Yudha mendorong tubuh Ikhsan segera agar menaiki mobil menyusul para preman. "Udah lo tenang aja," tampiknya biasa saja.

Dan setelah itu hari-hari Ikhsan di lewati penuh tekanan. Memang mereka mendapatkan untung yang sangat besar. Hatinya tertekan. Di dunia online ia sangat pakar, namun kejadian waktu itu seperti pembunuh berantai.

Sampai seminggu semua kehidupan berjalan dengan lancar, namun berita tentang pencarian pelaku terus menyebar. Truk yang dicuri waktu itu pun sudah ditemukan. Ikhsan tak henti bersembunyi dalam ketakutan, meringkuk di selimut, bahkan keluarga pun menduga-duga ada apa gerangan.

Ikhsan tak akan melupakan hari yang membuatnya seperti ditelanjangi. Di kamarnya, ia ditangkap dengan bukti sebagai pengatur siasat untuk pencurian dan pembobolan situs komputer ujian. Ikhsan baru menyesal. Ayah yang dikenal sebagai ustad kondang harus terseret dengan kasus yang ditimpanya.

Dan dengan hukuman pidana dan dijerat selama dua tahun dalam jeruji besi adalah bencana. Tangisan ibu akan selalu membekat, bahkan teriakan wanita itu bukan lagi sekadar tangisan, tapi kehancuran.

✔️

Dua tahun itu, Ikhsan sangat ingat sekali. Bagaimana tuntutan keluarga kepada para preman dan teman-temannya untuk menjerat hukuman penjara seumur hidup. Ia ingat sekali pandangan teman sebaya yang selalu mencemooh ketika Ikhsan di hadapkan di layar televisi.

Dua tahun di balik jeruji besi bukan sekadar pelajaran, namun arti sebuah kehidupan ia temukan. Dua tahun tidak ada apa-apa dibanding penderitaan sekolah Mahesa dan para korban. Mata kedua korban tersebut mengalami ablepsia, dan yang pasti tak dapat menghidupi keluarga lagi.

Dua tahun tidak sebanding ketika ia merusak masa depan kedua korban itu. Bahkan ayah pernah bilang kepadanya hukum pidana yang diberikan padanya hanya secuil biji jambu, kecuali hukum islam: jika seseorang mencuri maka tangannya akan dipotong.

Satu minggu yang lalu ia telah keluar dari Lapas Khusus Anak. Dua tahun cukup merubah fisiknya dengan signifikan. Tubuh yang semula sedikit berisi, sekarang ringkik dan lampai. Pipinya tirus dan tak gembul seperti dulu. Dan juga perjalanan itu telah membawa ia pada tujuh belas tahun. Masa di mana Ikhsan beranjak dewasa. Kenikmatan remaja memang tak dirasakannya, namun di masa yang akan datang tak akan tahu ia akan menjadi apa.

Keramaian di stasiun Light Rail Transit (LRT) sangat padat. Ikhsan berusaha menjejalkan tubuhnya untuk segera masuk ke dalam kereta. Dari stasiun Demang ia akan menuju Stasiun Jakabaring, lalu naik angkutan untuk mencapai kediamannya.

Ikhsan menghembuskan napasnya setelah berhasil duduk di kursi kereta. Penumpang yang padat didominasi oleh ibu-ibu sehingga membuat mereka berdiri dikarenakan kursi penumpang telah terjajar semua. Ikhsan iba ketika ada ibu hamil yang menjadikan dinding sebagai penopang.

Sehingga membuat Ikhsan berdiri dan menawarkan kursi miliknya. Dan berlaku pun pada perempuan yang duduk berhadapan dengan Ikhsan. Mereka sama-sama menawarkan kepada ibu hamil itu.

"Nggak apa-apa, kamu duduk saja. Biar ibu itu duduk tempat saya."

Perempuan bermata sipit dan berkulit putih itu mengumbar senyum kepada Ikhsan. Membuat debaran yang selama ini tak dirasa berdesir kencang. "Arigatō," kata perempuan itu dengan logat Jepang yang khas, lalu tak lama itu kembali duduk di kursi.

Ikhsan mengernyitkan dahinya berusaha mengingat setiap kata yang selalu ia tonton di kartun maupun anime. Ia tahu itu bahasa Jepang, namun tidak tahu apa itu artinya. Usai ibu hamil itu duduk, Ikhsan berdiri menggantungkan tangannya di atas kereta yang telah terdapat penunjangnya.

Karena lelaki itu lebih memilih tak menjawab, perempuan tersebut pun mengulangi ucapannya, "Terima kasih, ya."

"Sama-sama."

Ikhsan terlena dengan setiap tutur yang diucapkan perempuan itu. Sampai perempuan yang tak ia ketahui namanya sibuk dengan earphone dan ponselnya, Ikhsan malah menyoroti senyum yang tertera. Wajah seperti rembulan yang akan selalu menghiasi temaram. Senyum merekah yang akan selalu memperindah senja. Binar mata yang akan mengalahkan dunia.

Selama ini Ikhsan terjerat kamuflase yang terpatri dalam dunia, namun semua telah berubah, ia adalah Ikhsan yang sedang mencari jati diri sesungguhnya.

Gadis itu risih saat tahu lelaki tadi tak berhenti menatapnya, bahkan cepat-cepat ia menjauh dan berpindah dari gerbong sembilan. Wajahnya bukan untuk di pandang dan sebagai wanita muslimah ia sangat risih dengan perlakuan seperti itu.

Ikhsan pun memandang jauh tubuh yang berbalut gamis biru itu, yang tertunduk malu. Namun di kursi yang di duduki perempuan tadi terdapat buku notes bersampulkan gambar panda. Ikhsan segera mengambil dan melihat halaman pertama. Sebuah nama tertera.

Fuji Ran

Dan di bawahnya bertuliskan huruf hiragana yang tak ia ketahui artinya. Dan di lembar kedua terdapat ilustrasi yang menempel. Ilustrasi seorang lelaki nampak belakang dan serangkaian tulisan rapi yang indah.

Kamu calon mujahidku, bimbinglah aku nanti untuk selalu menjadi wanita terbaikmu. Menemanimu untuk selalu menegakkan Dien Islam. Mendampingimu dalam suka dan duka yang menimpa.

Wahai calon mujahidku. Aku adalah tulang rusuk yang bengkok, maka cintailah aku dan bimbinglah selalu.

Karena aku bukan wanita seteguh Summayah, sebab ketika dihina pun masih mengeluh sejagad raya.

Karena aku pun bukan Khadijah, yang merelakan harta-benda untuk perjuangan fisabilillah. Saat sedekah pun aku masih memperhitungkan nominalnya.

Karena aku adalah Ran, bukan wanita shalihah. Tapi aku akan terus berjuang untuk meneladani mereka.

Karena aku adalah Ran dan kamu adalah calon imam, maka cintailah aku pada kodrat semestinya.

Dari aku, tulang rusukmu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top