❄️3. Tak Mampu Menepati Janji❄️


بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم


❄️❄️❄️

Aku tidak pernah menyesali karena aku mencintaimu. Yang aku sesali hanyalah ketidakmampuanku untuk terus ada di dekatmu

-Reno Narendra -

Setelah membujuk Jelita untuk mau tinggal di kostan akhirnya Reno sedikit terlambat pulang hari ini. Mereka sempat mengelilingi beberapa tempat untuk mencari kontrakan yang bisa disewa dengan harga yang tidak terlalu mahal. Setidaknya di tempat itu Jelita jauh lebih aman daripada harus tinggal di rumah bersama ayahnya yang biadab itu.

Reno langsung memasuki dapur dan melihat asisten rumah tangganya sedang menyiapkan makan malam. Bi Lala namanya, perempuan yang awalnya dulu menjaga Reno ketika bayi kini sudah bertukar posisi menjadi asisten rumah tangga. Sebab sang majikan tidak ingin pusing-pusing lagi mencari asisten rumah tangga yang klop di hatinya.

"Masak apa, Bi?"

"Loh Den Reno baru pulang?"

"Iya."

"Kok lama banget, Den? Pasti pacaran dulu ya sama mbak Jelita."

Reno tertawa geli mendengarnya. "Haha bibi bisa aja. Hari ini masakan kita banyak, 'kan?"

"Banyak atuh, Den."

"Oke, ini setengah makanannya tolong dibungkus ya, Bi. Aku mau kasih buat Jelita."

"Lho, tumben, Den? Emang di rumah Mbak Jelita nggak dikasih makan lagi?"

"Dia sekarang ngekos. Belum ada makanan, aku mau mandi dulu habis itu aku mau antar makanan ini buat Jelita."

Bi Lala hanya menganggukkan kepalanya dan mengikuti perintah tuan mudanya. Meskipun belum pernah bertemu dengan Jelita, Bi Lala yakin bahwa Jelita adalah anak yang baik. Cerita yang Bi Lala dengar dari Reno terkadang membuat hatinya teriris perih. Tidak tahu bagaimana jika dia yang ada diposisi gadis itu mungkin dia tidak akan setegar Jelita. 

"Oh iya. Papa sama mama mana, Bi?"

"Kalau tuan dari kemarin emang nggak pulang, Den. Tapi kalau nyonya kayaknya pulang malam lagi deh, Den. Soalnya tadi pagi bilangnya banyak mau ketemu klien penting."

"Oh gitu." Respon Reno kecil. Meskipun diberikan kedua orang tua yang lengkap dan hidup serba mewah tetap saja sebetulnya Reno tidak bahagia. Sejak dia kecil kedua orang tuanya sibuk mengejar karir masing-masing, mengumpulkan pundi-pundi rupiah sebanyak-banyaknya.

"Yaudah, saya mau mandi dulu. Pokoknya nanti ini semua udah siap ya, Bi."

"Iya den, iya. Dari tadi kayaknya gak jadi-jadi deh mandinya."

Reno hanya terkekeh pelan kemudian meninggalkan dapur.

Beberapa saat kemudian Bi Lala mendengar deru mesin mobil kedua majikannya yang datang secara bersamaan. Benaknya bertanya-tanya sebab tidak biasanya mereka pulang bersamaan seperti ini.

Bi Lala pun langsung bergegas ke depan. Meninggalkan makanan yang sudah siap untuk dihidangkan.

Sayup-sayup telinga bi Lala mendengar pertengkaran antara tuan dan nyonya-nya itu.

"Aku kurang apa, Mas! Selama ini aku nggak pernah nyusahin kamu, harusnya kamu bersyukur punya istri seperti aku. Mana ada perempuan yang lebih mandiri dari aku dan nggak nyusahin suaminya, ha?"

"Tapi aku ini laki-laki normal. Aku butuh dilayani sementara kamu nggak bisa kasih aku perhatian seperti itu. Wajar dong aku mencari kesenangan dan menemukan wanita yang aku inginkan."

"Tapi tetap aja, Mas. Ini salah."

Bi Lala masih mematung berdiri di tempatnya, menyaksikan pertengkaran Fandi dan Tania---majikannya---yang sangat sengit itu.

"Iya, salah. Karena semuanya gara-gara kamu. Kamu nggak bisa jadi istri yang baik. Aku sudah berulangkali bilang bahwa seharusnya kamu di rumah untuk melayani aku. Maka, semua kebutuhan kamu akan aku penuhi."

"Tapi seharusnya kamu juga paham dong, Mas. Aku nggak bisa diam di rumah, aku ini perempuan karir!" Tania tak ingin kalah telak. Karena pada dasarnya tetap saja perselingkuhan itu salah dan tidak akan pernah ada pembenaran.

"Yasudah, kejar saja karirmu itu. Aku tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan ini."

Tania tergelak dalam tangisnya. Dia menggelengkan kepala karena tak habis pikir pada Fandi. Tania berjalan mendekati Fandi, jari telunjuknya tepat mengarah ke wajah suaminya itu.

"Aku pastikan kamu akan menyesal, Mas. Kamu tidak akan bahagia sama pelakor itu. Dia nggak bisa semandiri aku, dan aku pastikan dia hanya akan mengincar harta kamu!"

"Aku tidak peduli. Aku tidak suka wanita mandiri, jadi aku harap kamu mengerti."

Reno yang berjalan menuruni anak tangga pun masih kebingungan saat menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya yang tak biasa.

"Ma, Pa." Panggilan Reno berhasil menghentikan argumen keduanya. Sepasang mata mereka serentak menatap Reno.

Tania yang sudah dibalut emosi kini berjalan mendekati putranya. Dia menunjuk Fandi kembali.

"Tanya papa kamu. Dia sudah berselingkuh dengan seorang pelakor dan sekarang dia mau menceraikan mama!"

Pernyataan Tania membuat Reno terkejut bukan main. Aliran darahnya seakan berhenti mengalir saat kalimat perceraian itu keluar dari mulut ibunya. Pandangan Reno beralih pada Fandi, memastikan bahwa apa yang dia dengar dari mamanya itu tidak benar adanya.

Reno tidak bisa membayangkan bagaimana jika harus menyaksikan kedua orangtuanya itu berpisah. Saat keduanya masih Reno sangat jarang berkumpul bersama, apalagi jika harus melihat kedua orang tuanya berpisah. Pasti dia tidak akan pernah lagi merasakan berkumpul bersama disaat hari-hari spesial.

Fandi tidak bereaksi apa-apa. Tidak menjelaskan apapun kepada Reno karena baginya semua ini sudah jelas. Dia yang sudah dimabuk cinta oleh Fiona tidak memperdulikan apa-apa lagi. Sebab yang terlintas di benaknya sekarang hanyalah bagaimana caranya cepat bersatu dengan Fiona.

"Pa, apa benar yang dibilang sama mama?"

"Apa perlu Papa ulangi lagi?"

Kedua tangan Reno terkepal di sisi tubuh. Ingin sekali rasanya membogem mulut lelaki brengsek itu. Reno tidak rela ibunya disakiti oleh siapapun.

"Sekarang kamu sudah tau, 'kan? Papa hanya ingin menyampaikan hal itu pada kamu dan mama kamu. Kamu mau ikut papa atau mama kamu terserah, semua pilihan ada di tangan kamu." Kata Fandi dengan santainya.

Tania memicingkan matanya, dia gagal mempertahankan air matanya agar tidak jatuh. Menjadi wanita karir adalah pilihan Tania, itu semua dilakukan agar dia tidak mengalami apa yang dialami oleh ibunya dulu. Ayahnya pergi meninggalkan ibunya lantaran ibunya hanyalah seorang perempuan yang mampu mengurus rumah tangga saja. Tidak pandai menata diri hingga membuat sang suami merasa bosan karena dipandang tak menarik lagi.

Sejak saat itu Tania bertekad agar mampu menjadi wanita yang multitalenta. Agar tidak ada alasan bagi suaminya untuk meninggalkannya, terlebih Tania selalu menjaga tubuhnya agar tetap terlihat menarik. Tapi ternyata semuanya sia-sia, seorang lelaki bejat memang tidak akan pernah bersyukur dengan apa yang dia miliki.

"Rumah ini bisa kamu ambil. Anggap ini adalah harta yang aku tinggalkan untuk kamu." Kata Fandi tanpa rasa bersalah.

"Pa, aku harap Papa pikirkan lagi keputusan papa. Mama itu cinta sama Papa." Reno berusaha meyakinkan sang ayah. Berharap dengan begitu Fandi mau membatalkan niatnya.

"Keputusan Papa sudah bulat, Reno. Selama ini kamu juga tahu sendiri kalau mama kamu itu terlalu sibuk. Sekarang coba ingat baik-baik apa dia pernah melayani papa selayaknya seorang suami?"

"Tapi tetap aja, Pa. Tidak ada pembenaran untuk perselingkuhan."

Fandi membalikkan badannya dan melangkah pergi begitu saja. Dia betul-betul tidak peduli lagi.

Reno yang tidak tinggal diam, dia berusaha mengejar kepergian papanya itu. Tubuh Reno kembali memegang saat berdiri tepat di teras rumahnya tak kala matanya menangkap sosok perempuan yang sedang duduk di dalam mobil milik Fandi. Reno, mengenali perempuan yang sudah dipastikan menjadi penyebab kehancuran rumah tangga kedua orang tuanya.

Dia, Fiona---ibu---dari perempuan yang dia cintai. Kedua kaki Reno terasa lemas seketika, dia menjatuhkan tubuhnya begitu saja.

"Nggak, ini nggak mungkin..." Lirihnya pelan.

Fandi yang sudah masuk ke dalam mobilnya memilih untuk pergi meninggalkan rumah itu. Tak peduli lagi dengan keluarga kecilnya. Sebab bagi Fandi di tempat ini dia tidak menemukan kebahagiaan apa pun. Semuanya hanya topeng. Dulu, dia pikir saat memiliki seorang anak, Tania akan berubah dan mau tinggal di rumah untuk mengurusnya dan anaknya. Tapi harapan Fandi tidak pernah terpenuhi. Membuat Fandi mengambil kesimpulan bahwa Tania hanyalah seorang istri di atas kertas.

"Kamu nggak usah repot-repot bawain aku makanan kayak gini kali, Ren. Kasian kamunya pasti capek banget. Kamu pokoknya juga harus ikut maka ya." jelita memindahkan makanan dari rantang yang Reno bawa.

"Makanannya pasti enak banget, baunya aja udah bikin perut aku keroncongan."

Reno hanya menghiraukan Jelita. Dia tidak tahu bagaimana kedepannya dia harus menjalani hari-hari saat bersama Jelita. Setiap menatap wajah Jelita dia selalu teringat akan perempuan yang sudah merebut ayahnya itu.

Seandainya saja bukan ibu Jelita yang menjadi perusak rumah tangga kedua orang tuanya, mungkin Reno tak akan sehancur ini. Seandainya saja bukan ibu Jelita yang menyebabkan ini semua, mungkin dia sudah akan menangis bercerita di dalam pelukan Jelita. Seandainya bukan perempuan itu yang menyebabkan ini semua mungkin pertemuannya dengan Jelita akan selalu dipenuhi rasa bahagia.

Sekarang semuanya berbeda. Tidak lagi seperti sebelum-sebelumnya. Reno tidak tahu apakah besok dia masih bisa bertatapan dengan Jelita. Apakah dia harus mengakhiri hubungan ini? Untuk apa membahagiakan seorang anak dari perempuan yang sudah menyakiti hati ibunya.

"Kok kamu diam sih, Ren. Kenapa?"

"Aku pulang dulu. Aku capek banget. Kamu bisa kan makan sendiri?"

Kening Jelita mengkerut bingung. Tidak biasanya Reno bersikap dingin seperti ini.

"Oh, yaudah. Aku minta maaf ya karena aku udah bikin kamu repot."

"It's oke."

Reno bangkit dari tempat duduknya. Tidak menatap Jelita sama sekali. Tentu hal itu semakin membuat Jelita merasa janggal dan bingung. Dia meraih pergelangantangan Reno sehingga membuat langkah lelaki itu terhenti. Mata Reno turun menatap tangan Jelita yang kini menggenggam tangannya.

"Kamu kenapa?"

"Kenapa gimana?"

"Kamu tiba-tiba berubah. Apa aku tadi ada salah sama kamu?"

"Enggak kok. Biasa aja."

"Nggak, ini kayak bukan kamu, Reno. Kamu kenapa? Kamu ada masalah?"

Jelit menghadang langkah Reno, kini dia berdiri tepat di hadapan Reno.

"Kamu kenapa tiba-tiba jadi dingin sama aku? Apa karena aku udah pakai uang kamu buat bayar kost-an ini, kan aku udah bilang kamu nggak usah repot, Ren. Tapi kamu selalu aja maksa."

Reno memicingkan matanya, dia tersinggung karena perkataan Jelita. Padahal dia betul-betul tulus membantu agar Jelita bisa hidup lebih tenang.

"Kamu pandang aku serendah itu? Artinya kamu nggak percaya sama aku, Jel. Kamu anggap aku orang lain kan?" Reno tersenyum sarkas. Dia menepis tangan Jeluta dengan kasar.

"Benar ya kata orang-orang, nggak seharusnya aku itu pacaran sama orang kayak kamu, karena kamu ternyata nggak tau bagaimana caranya berterima kasih."

Jantung Jelita berdegup kencang, dia benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraan Reno saat ini. Ada rasa takut yang tidak bisa dijelaskan.

"Maksud kamu apa, Ren?"

"Aku capek,baju capek harus menghadapi masalah kamu dan kamu nggak pernah menghargai aku. Jadi lebih baik, kita akhiri hubungan ini. Mulai detik ini, aku secara sadar bahwa kamu bukan lagi kekasih aku. aku mau kita akhir hubungan ini."

Mulut Jelita terbuka, bibirnya bergetar dan dunia seakan runtuh dan hancur berkeping-keping.

"Maksud kamu kita putus? Kenapa? Apa salah aku? Kamu tersinggung, oke aku minta maaf, Ren. Aku nggak bermaksud kayak gitu."

"Nggak aku nggak tersinggung sama sekali. Cuma aku sadar bahwa nggak seharusnya aku menjalin hubungan sama seorang anak haram seperti kamu."

Air mata Jelia mengalir deras, perkataan Reno sangat menohok dadanya. Sakit sekali rasanya disaat orang yang selama ini menjadi penawar lukanya kini ikut memberi luka yang menyakitkan.

"Oke mungkin selama ini aku salah karena aku menganggap kamu baik dan bisa menghargai orang yang udah baik sama kamu. Ternyata aku salah. Kamu emang nggak pantas ditolong dan dicintai."

"Kenapa kamu jadi kayak gini, Ren. Kenapa kamu jadi hina aku kayak orang-orang itu. Ap kmu sekarang itu karena aku bicara kayak tadi? Mana janji kamu yang bilang kalau kamu bakal selalu ada untuk aku, kamu bakal jadi satu-satunya orang yang nggak akan pernah ninggalin aku. Mana, Ren. Mana!"

Jelia sudah menggelugut, kedua bahunya terguncang hebat lantaran rasa pedih yang Reno torehkan di hati ya.

Sekuat tenaga Reno menahan diri. Hatinya ikut sakit melihat air mata Jelita yang jatuh karenanya. Tapi disisi lain dia juga sudah tidak mampu lagi untuk terus bersama Jelita. Reno tak ingin jika terus bersama Jelit dia akan menyakitinya lebih dalam lagi.

Reno memejamkan matanya guna menahan air mata agar tak jatuh, dia langsung menaiki motornya. Jelita masih enggan membiarkan Reno pergi. Ditahannya tangan Reno agar lelaki itu tetap di sini.

"Kamu cuma becanda kan, Ren." Wajah Jelita penuh harap. Dia tidak ingin kehilangan satu-satunya tongkat dalam hidupnya. Jika dia kehilangan Reno. Sungguh, demi apapun dunia akan terasa jauh lebih kejam.

Reno tak bersuara sama sekali, dia mendorong Jelita kencang hingga menyebabkan gadis itu jatuh di atas tanah. Menyalakan mesin motor dan mengendarai dengan cepat. Reno melihat dari kaca spion motornya, terlihat Jelitaa berlari mengejarnya dari belakang. Kedua bola mata Reno digenangi air hingga melorot jatuh ke pipinya.

"Maaf, Jelita. Maaf. Sejujurnya aku sangat cinta sama kamu. Tapi saat bersama kamu justru bikin aku tersiksa." Kata Reno dalam hati. Reno hanya bisa berharap semoga kedepannya Jelita bisa melanjutkan hidup dan menemukan orang yang tulus menyayanginya.

"Untuk janji itu. Aku minta maaf karena aku nggak bisa menepatinya. Aku tidak pernah menyesali karena aku mencintaimu. Yang aku sesali hanyalah ketidakmampuanku untuk terus ada di dekatmu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top