Tiga : Tertawa Paling Keras

Satu jam kemudian, suasana kafe mulai sepi. Satu per satu alumni yang mengikuti acara reuni pulang meninggalkan beberapa orang panitia dan alumni yang masih ingin bercengkerama. Termasuk geng GeLiSah yang memilih mengobrol sebentar di bagian sudut kafe yang dipesan khusus oleh Melinda untuk bisa mendapatkan privasi. Mereka ingin aman dari gangguan siapa pun, terutama mantan tunangan yang sejak dirinya turun dari panggung, terus berusaha menempel hingga ia lupa tugas semula sebagai ketua panitia reuni angkatan.

Untungnya, Radja cepat berlalu, membuat Sakura yang tadi menahan grogi dalam hati bisa bertingkah seolah-olah tidak ada masalah di depan kedua sahabatnya. Ia pun masih bisa cengengesan menyapa beberapa rekan seangkatan yang pangling melihat perubahan drastis dirinya. Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengubah seseorang dan dia tidak menyesal memilih jalan ini.

"Kurusan, ya, beib. Waktu gue ke Jepang bulan kemaren, lo masih agak gemukan." Melinda meneliti penampilan Sakura yang malam itu memakai jin hitam ketat, kamisol biru navy, dan kardigan tipis yang dipakainya sejak turun dari bandara, menghindari pandangan risi orang-orang terhadap cara berbusananya yang agak sedikit berbeda dari masyarakat umum di sini.

Sakura hanya mengangguk pelan tidak tampak terganggu dengan kekhawatiran Melinda. "Habis sakit, Lin. Aku masih di rumah sakit waktu kamu telepon kemarin lusa. Baru aja check out. Untungnya, pas berangkat aku nggak puyeng." Dia terkekeh.

Melinda melayangkan tatapan tajam kepadanya. "Lo masih sering pingsan? Kenapa nggak ngasih tahu? Kalau gitu, mending nggak usah berangkat, diem-diem aja di sana. Tunggu sehat baru balik ke sini."

Sakura mengabaikan tatapan cemas dari sang mantan artis dan memilih meneguk air soda.

Ghianna yang baru saja kembali dari kamar kecil berjalan mendekat sambil menggerutu saat kembali ke tempat duduk di samping kiri Sakura. "Ngelihat mantannya jadi bening, itu orang jadi kayak cacing kepanasan, gelisah setengah mati. Dari tadi mepetin gue nanya-nanya tentang lo," tuturnya gusar, membuat Sakura berpandangan dengan Melinda.

"Gue bilang aja, Aca sibuk. Nggak mau ngeladenin makhluk busuk macam lo, eh, dia malah ketawa. Gila, ya?"

Ghianna adalah orang yang paling kecewa saat tahu sahabatnya hanya dipermainkan pria berengsek itu bertahun-tahun lalu. Sakura bahkan tidak punya siapa-siapa lagi untuk dijadikan tempat bertumpu, kecuali Radja, dan pria itu malah memperalat Sakura hanya karena tidak suka ditunangkan dengan wanita yang sama sekali bukan seleranya. Wanita idamannya adalah yang cantik, seksi, berpenampilan amat menarik dan semua itu dimiliki Kathi.

Kini semua berubah. Ghianna nyaris tertawa menyadari nasib memang mempermainkan mereka semua. Siapa sangka di samping mereka saat ini duduk si gadis culun. Gadis yang dulu tenggelam bila dibandingkan dengan Kathi, pacar sang mantan tunangan, yang terang-terangan diakui di depan semua orang. Bukannya Sakura, tunangan asli pria itu.

"Nggak lagi, sih. Aku banyak duduk-duduk doang sekarang gara-gara kamu minta pulang. Kalau balik lagi ke sana, mulai deh aku teler lagi." Sakura mencoba meredakan suasana tegang dengan bicara santai, tetapi Melinda dan Ghianna kelihatan panik.

Kedua sahabatnya tahu apa yang terjadi dengan Sakura. Sayangnya, wanita itu berusaha menutupi seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Seriusan, aku nggak apa-apa." Sakura mencoba menenangkan."Kalau aku sakit, dokter nggak bakal kasih izin terbang ke sini."

Ucapan Sakura membuat alis Ghianna naik tinggi. "Mizuki gimana?"

"Mizuki bilang oke. Itu aja udah. Sekarang kita pulang, yuk. Aku belom beres-beres. Tadi cuma sempet anter barang ke apartemen terus ngacir ke sini."

Ghianna ingat tadi Sakura mengatakan ia sempat mengisi ulang baterai ponsel. "Nyewa di mana?"

Sakura membalas dengan menyebutkan satu daerah yang memiliki kawasan apartemen yang lumayan terkenal.

"Berarti tinggal lama, dong? Setahun-dua tahun, ya?" Melinda menyambar omongan Sakura dan dibalas tawa saja oleh nona separuh Jepang itu.

"Yang udah jadi orang sono, lupa pulang." Ghianna meraih satu gelas berisi air soda berwarna hitam kecokelatan dan tanpa ragu menyeruput isinya dengan sedotan.

Sakura menggeleng tidak setuju dengan kalimat sahabatnya. "Aku lahir di sana, Mama orang sana, menolak pun separuh darahku berasal dari sana. Tapi, aku nggak lupa sama Indonesia. Makam orangtuaku di sini. Ada keluarga Papa juga. Cuma aku nggak bisa sering-sering ke sini. Kalian, kan, tahu...."

Meski Sakura tidak melanjutkan kalimatnya, baik Ghianna atau Melinda paham penyebab wanita itu tidak bisa lama keluar dari negara kelahirannya. Saat Melinda hendak buka suara, ponsel Ghianna berbunyi dan dia segera bangkit sambil memberi kode kepada kedua sahabatnya.

"Pras udah jemput. Gue duluan nggak apa-apa? Dia bawa motor, padahal gue mau mampir ke apartemen lo." Ghianna tampak menyesal.

Sakura tersenyum semringah. "Kapan-kapan aja. Aku di Indonesia sekitar dua bulan. Nemenin lo malam pertama." Sakura tergelak begitu sehelai tisu melayang ke arahnya. Ia lalu melirik Melinda yang sepertinya hendak bersiap pulang juga, "Ikut gue, ya, Ca. Ntar gue anter sampai apartemen, tenang aja."

Sakura yang awalnya hendak menolak karena takut merepotkan, akhirnya mengangguk.

Mereka berjalan beriringan keluar dari ruang privat dengan Ghianna berjalan lebih dulu, disusul Melinda dan Sakura. Saat pintu terbuka, entah bagaimana caranya, seseorang menubruk Sakura yang berjalan paling akhir. Malangnya lagi, ternyata orang itu membawa minuman. Akibatnya, separuh kardigan yang dipakai menutupi kamisol wanita muda itu basah kuyup. Semua orang yang ada di situ menoleh kaget. Lebih kaget lagi saat pelaku yang menyebabkan kekacauan itu buru-buru menyeka bagian kardigan Sakura yang basah.

"Sori, sori, aku nggak tahu...." Hening sejenak karena pria itu langsung sadar siapa wanita yang tidak sengaja ia tabrak, Aca-nya.

Dengan kikuk, Radja melepaskan tangannya yang nyaris menyentuh dada Sakura yang sintal. Matanya bahkan terpaku ke arah sana selama dua detik sebelum ia tertawa dengan suara serak yang amat aneh. Gerak-geriknya membuat Ghianna menyikut keras tulang rusuk Melinda, penasaran ingin tahu apa yang terjadi dengan pasangan mantan tunangan paksa di depan mereka.

"Baju kamu basah. Aku punya jaket di mobil. Tu ... tunggu sebentar." Radja mengangkat kedua tangan di depan dada, memohon agar Sakura tidak marah.

Wanita cantik itu menggeleng pelan. Ia bahkan tidak tersenyum seperti awal perjumpaan mereka tadi dan dengan santai melepas kardigan basahnya, lalu menyampirkan benda itu di tangan dan berbalik meninggalkan Radja.

Pria itu tampak sangat terkejut. Pertama, karena Sakura tidak mengacuhkannya, bahkan tidak peduli dulu mereka adalah tunangan, nyaris menikah jika saja ia tidak berbuat berengsek. Kedua, demi Tuhan, baru pertama kali ia melihat wanita itu berbusana begitu seksi. Begitu kardigan itu terlepas, terpampanglah bagian yang sedari tadi ditutupi Sakura. Bagian belakang kamisol Sakura menampakkan punggungnya yang telanjang, hanya lilitan tali setipis lidi yang melingkar di leher dan sedikit di bagian punggung. Radja menelan ludah melihat penampilan wanita itu yang tampak amat mengundang.

Belum pernah selama mereka bersama, lebih kurang satu tahun tiga bulan, Sakura yang lugu berbusana seperti ini. Melihatnya saja, sesuatu dalam diri pria itu—karena pernah memiliki Sakura sebagai bagian hidupnya—tiba-tiba muncul dan ia merasa amat tidak suka wanita itu berpakaian seksi.

"Ca, tunggu bentar di sini. Aku ke mobil, ambil jaket buat kamu."

Ketika melihat Radja dengan panik berlari meninggalkan mereka bertiga, Melinda dan Ghianna berpandangan heran. Anehnya Sakura malah dengan santai melenggang lebih dulu meninggalkan kedua sahabatnya, tidak peduli tadi Melinda mengajaknya pulang.

"Lho, Ca ... mau ke mana? Kita jadi pulang bareng, kan?"

Sambil menggoyangkan rambutnya yang menutupi sebagian wajah, Sakura menggeleng sembari menelepon seseorang. "Maaf, Lin. Aku duluan pulang. Besok aja kita ketemu lagi. Males ada orang gila nanti ngejar aku. Kalau dia nyari, bilang aja aku ke neraka."

Melinda dan Ghianna bahkan tidak sempat membalas saat Sakura mencium pipi mereka satu per satu, lalu melesat meninggalkan kafe karena tidak ingin Radja mengejarnya lagi.

Pria malang itu hanya bisa menatap Melinda dan Ghianna yang masih terpaku di tempat ketika ia kembali dengan napas terengah-engah. Radja membawa jaket cokelat muda yang ia harap akan dikenakan Sakura. Tapi sekarang dia harus menemukan kenyataan bahwa Sakura sudah tidak ada lagi di sana. "Dia pergi?"

Melinda dan Ghianna mengangguk serempak, membuat Radja mengembuskan napas kasar dan memandangi jaket yang ia bawa dengan gusar. Namun, bukan itu yang dia sesalkan. Kalimat yang meluncur dari bibir Melinda-lah yang membuat emosinya bangkit, lalu berlari menuju pintu depan sambil memaki kasar dan berharap wanita yang meninggalkannya masih berada tidak jauh dari kafe.

"Bajunya kebuka kayak gitu. Gue yakin, dia nggak pakai beha."

Ghianna menjadi orang yang tertawa paling keras di antara mereka berdua.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top