Empat Tunangan dan Tetangga

"Ma, serius? Aku masih kelas dua SMA, lho."

Sakura Pradasari hanya bisa terkejut dan berusaha protes pada suatu hari di pertengahan bulan Mei sepuluh tahun lalu ketika dirinya diberi tahu tentang pertunangan yang direncanakan orangtuanya. Ia sempat menolak, tetapi respons sang mama, Misato Fujita, tetap sama yaitu menjodohkan putri satu-satunya dengan anak sahabat suaminya, dari keluarga Ibrahim.

"Radja itu ganteng."

Raut kusut di wajah berjerawat Sakura kentara sekali terlihat. Gingsul uniknya malah tersembunyi seolah-olah enggan hadir dan mendukung suasana hati sang tuan sejak diberi tahu bahwa ia dijodohkan dengan pemuda satu sekolah, bahkan satu kelas dengannya, Radja Tanjung. Apa yang akan terjadi di sekolah kalau semua orang tahu? Apa yang akan mereka katakan saat pria paling tenar di angkatan mereka malah berjodoh dengan Sadako—julukan anak-anak kepadanya? Ia bisa menebak, Radja-lah orang yang paling dirugikan.

Lagi pula, dia tahu, hari ini tepat satu bulan, pria itu resmi berpacaran dengan Kathi. Tadi saat di sekolah, ada perayaan bagi-bagi cokelat gratis. Meski dia termasuk golongan jelata, Kathi yang baik hati tetap membagikan cemilan itu kepadanya. Sakura bahkan ingat bagaimana cerianya wajah Radja ketika itu. Senyumnya merekah menghiasi wajah tampan yang selalu hadir dalam mimpi Sakura. Dia sadar tidak seharusnya lancang memimpikan Radja yang notabene milik Kathi, tetapi dia tidak bisa melarang seseorang masuk ke pikiran saat dia sedang tertidur.

"Iya, Ma, tapi Aca jelek."

Misato tersenyum simpul sambil merapikan anak rambut yang keluar dari rambut kepang anak semata wayangnya itu. Dengan penuh kasih sayang, wanita yang rela mengabdikan hidup untuk menjadi istri seorang pria Indonesia itu itu mengusap pelan kepala Sakura.

"Jangan malu karena penampilan kamu, Aca-chan. Wajah cantik bisa dipoles make-up, tapi hati yang cantik sulit dicari. Anak Mama adalah pemilik hati yang paling cantik dan Radja akan beruntung bisa bertunangan dengan kamu."

Sayangnya, petuah Mama tidak berlaku di dunia nyata. Begitulah pikiran Sakura yang kala itu berusia tujuh belas tahun. Ia sudah bisa menebak reaksi pemuda itu saat tahu dengan siapa ia dijodohkan. Setelahnya, Radja yang ramah menjadi dingin dan ketus kepadanya. Walau sebelum ini Sakura jarang bertegur sapa dengan Radja, menghadapi kenyataan bahwa karena pertunangan ini mereka ternyata harus berinteraksi lebih sering, rasanya jadi amat menyakitkan.

Ini terasa menyakitkan karena Radja kentara sekali malu saat mereka bersama. Padahal, Sakura sudah cukup tahu diri. Ia berusaha menghilang saat mereka berada di sekolah. Ia melakukan apa pun asal tidak terlihat bersama, sesuatu yang ia tahu akan membuat suasana hati pemuda itu buruk sepanjang hari, kecuali bersama Kathi yang ia tahu bisa membangkitkan semangat Radja dalam hitungan detik.

Sakura amat paham. Begitu pula saat sadar bahwa Radja dan Kathi lebih suka menghilang usai jam sekolah, membuat Sakura yang seharusnya pulang bersama Radja hanya bisa menunggu hingga berjam-jam. Ia mengerti bahwa memang tidak pernah ada cerita seorang gadis buruk rupa bersanding dengan seorang pangeran berwajah tampan. Tidak pernah ada dan dia sadar diri.

***

Sakura tiba di apartemen menjelang pukul sembilan. Ketika masuk dan menemukan barang-barangnya masih berada dekat ruang tamu, ia menghela napas panjang. Ia tidak membawa barang terlalu banyak karena sebetulnya ia berniat segera pulang setelah resepsi pernikahan Ghianna yang akan berlangsung dua minggu lagi. Namun, entah kenapa ia berpikir untuk tinggal lebih lama. Apakah karena pria itu atau karena emosi memaksanya sejak berada di Jepang? Balas dendam. Hanya saja, untuk apa dia melakukannya?

Sudah bertahun-tahun lewat, barangkali Radja sudah menikah dan punya anak meskipun Sakura agak sedikit benci dengan cara pria itu memandangi dirinya ketika berada di kafe. Apa selama ini Kathi kurang memberi dia servis sehingga Radja bisa-bisanya menatap Sakura dengan pandangan amat rakus? Apakah belahan dadanya tadi begitu rendah hingga pria itu berharap bisa mengintip isinya? Padahal, dia menutupi aset berharganya itu dengan kardigan. Walau tidak mengenakan dalaman, orang tidak akan terlalu curiga. Warna kamisolnya gelap dan menyamarkan semuanya.

Sakura berjalan pelan menuju balkon kamar apartemen yang ditutupi tirai panjang. Ia belum terlalu hafal isi gedung ini. Semua urusan memesan dan menyewa ia lakukan sebelum tiba di Jakarta melalui interaksi daring. Dari situs penyewaan dan ulasan beberapa orang, apartemen yang didiaminya sekarang memiliki penilaian baik. Ternyata dia tidak salah pilih. Bahkan, dia bisa melihat pemandangan malam Jakarta secara langsung dari kamarnya. Luar biasa.

Balkonnya juga luas dan terdapat bangku bila ia ingin bersantai sambil membaca buku atau mendengarkan musik. Mizuki pasti akan senang saat dia berkunjung, pikir Sakura. Pria itu suka pemandangan kota saat malam. Biasanya, mereka menghabiskan waktu bersama sambil memandangi suasana Jepang saat malam dengan lampu ruangan yang padam, duduk berdua dan bercengkerama.

Suara batuk dari kamar sebelah menyadarkan Sakura bahwa tetangganya tampak akan keluar dan ikut menongkrong di balkon seperti dirinya saat ini. Seperti biasa, ia mulai panik. Orang asing selalu membuatnya gugup dan ia takut tidak bisa membalas obrolan tetangganya. Padahal, sebenarnya tidak. Entah mengapa dia sedikit cemas dan berpikir sebaiknya dia masuk saja. Masih ada waktu esok atau lusa untuk berkenalan. Lagi pula, ini sudah malam dan Sakura masih mengenakan pakaian tadi. Siapa tahu, tetangganya itu kurang suka melihatnya seperti ini.

Baru saja ia hendak melangkah kembali ke kamar, suara pintu kaca geser tetangganya berbunyi. Sakura bergegas mempercepat langkah.

Namun, tetangganya sudah berada di luar dan berbicara dengan suara pelan, "Kamar sebelah udah ada orangnya."

Sakura yang tertangkap basah hendak kabur tidak bisa mengelak saat suara ramah menyapanya. Alangkah tidak sopan kalau ia tetap masuk sementara si penyapa tadi masih berada di luar.

Ia mengabaikan pakaiannya yang tampak tidak sopan dan berusaha menutupi punggungnya yang terbuka dengan rambut. Sakura tersenyum membalas sapaan tetangga sebelahnya. Sedetik kemudian, ia menyesal berada di sana dan memaki dalam hati kenapa tidak berlari saja ketika pintu itu terbuka. Ia berada dalam masalah gawat saat ini. Tetangga sebelah kamarnya adalah pria berengsek yang pernah menghancurkan hidupnya dan sempat menjadi alasan dirinya untuk balas dendam.

Pria itu tampak sama terkejutnya seperti Sakura. Ia memandangi mantan tunangannya seakan-akan bertemu kekasih yang amat ia rindukan.

Sakura menyesal memilih apartemen ini sebagai tempat tinggalnya. Ia menyesal setelah tahu tetangga sebelahnya adalah Radja Tanjung Ibrahim, mantan tunangan berengsek yang baru saja ia tinggalkan di kafe. Meski berharap tidak bertemu lagi, Tuhan punya cara yang aneh dan tidak terduga.

Pria berengsek itu tersenyum lebar hingga wajah tampannya kentara sekali amat bahagia dengan keberuntungannya malam ini.

"Nggak masuk angin kamu pakai baju kayak gitu, Ca?"

Sakura menggeleng. Tanpa ragu ia membalas senyum Radja dengan seringai sinis penuh kebencian. "No, aku lagi nungguin langganan datang. Malam ini mau party sampai pagi."

Wajah semringah Radja mendadak kaku, terutama setelah Sakura meninggalkannya sendiri dan membanting pintu dengan amat keras.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top