Bagian 2 • Badai Masalah di Pagi Hari
Selesai dengan segala persiapannya, Gaza keluar kamar dalam keadaan rapi. Sebelum ke kampus, ada hal penting yang harus ia lakukan hari ini. Sejak semalam, selepas ia mengambil sebuah keputusan besar, Gaza sadar bahwasanya bukan hanya keadaan rumah yang akan berubah. Namun, kehidupannya pun memang tidak akan sama lagi.
"Lah, Mas Gaza udah siap?" Muna tampak panik melihat kehadiran Gaza di dapur.
Anggukan ringan Gaza menjawab tanya salah satu asisten rumah tangga di kediamannya itu. Lirikan Muna ke arah meja makan yang tampak lenggang, membuat Gaza turut melirik ke arah yang sama. Laki-laki berkulit pucat itu langsung saja paham apa yang Muna pikirkan. Biasanya pagi-pagi sekali sarapan sudah tersaji.
"Tadi semuanya sibuk cari kaos kaki kesayangan Mas Fahim. Jadinya kelupaan bikin sarapan. Mas Gaza lagi buru-buru, kah?"
Dengan tenang Gaza menggeser salah satu kursi dan mendudukkan diri di sana. Gerakan santainya sama sekali tidak menunjukkan ia sedang terburu-buru sehingga Muna tampak lebih tenang.
"Sekarang kaos kakinya udah ketemu?" Terbiasa dimanja, Fahim jadi susah untuk mandiri. Adik bungsunya itu selalu mengandalkan para asisten rumah tangga bahkan untuk hal-hal remeh semacam mencari kaos kaki atau menyiapkan perlengkapan sekolah lainnya.
Muna mengangguk. "Ada di kolong tempat tidur, Mas."
Gaza menggumam kecil guna merespon jawaban terakhir Muna, selagi matanya berputar mengamati keadaan dapur. Urung membahas lebih jauh perihal kaos kaki Fahim. "Sekarang Bi Isah mana?" tanya Gaza.
"Biasanya Ibu yang nyiapin semua perlengkapan sekolah Mas Fahim. Karena semalam Ibu mendadak pergi, jadinya tugas Ibu dikerjain sama Bi Isah. Makanya sekarang, saya disuruh Bi Isah nyiapin sarapan," jelas Muna agak canggung. Sikap dan ekspresi Gaza memang kerap membuat semua asisten rumah merasa serba salah.
Tiada komentar apa pun yang meluncur dari lisan Gaza perihal cerita Muna. Namun, tatapnya menunjukkan bahwasanya ia tengah berpikir keras. Sebelumnya, ia memang tidak pernah peduli apa pun perihal adik-adiknya. Polah tingkah seperti apa pun yang adik-adiknya lakukan, selama itu tidak mengganggu dirinya, Gaza urung ambil pusing.
Akan tetapi, selepas kejadian semalam, Gaza sadar kalau ia tidak bisa lagi bersikap demikian. Terlebih kala sadar bahwa —
"ASTAGHFIRULLAH ... Mas Alwin sama Mas Muhyi ini apa-apaan, coba?! Banjir atuh, Mas, ini rumahnya. Ya Allah ..."
—semua keabnormalan adik-adiknya, memang perlu diperbaikinya.
...
Alwin benar-benar perlu ke kamar mandi, tapi Muhyi menyerobot masuk begitu saja. Kesal dengan tingkah si yang lebih muda, Alwin menyiram Muhyi dengan segelas air begitu Muhyi selesai dan keluar.
Akan tetapi, sungguh di luar perkiraan, Muhyi membalas Alwin dengan menyiram satu ember penuh air. Alhasil, selain dirinya yang basah kuyup, lantai yang dipijaknya pun demikian.
"Bener-bener ya ini bocah kualat! Udah nyerobot tempat orang, sekarang nyiram orang seenaknya." Amarah Alwin perlahan naik ke ubun-ubun.
"Rasain! Gitu, tuh, rasanya ditikung sodara sendiri. Aku ini bukan pedendam. Terkecuali sama makhluk bernama Alwin Adinata. Salah sendiri nyiram duluan." Muhyi melempar asal ember di tangannya. Menatap Alwin sengit kemudian.
"Oh, jadi masih baper soal gebetan kamu yang lebih milih aku? Makanya kamu kayak gini?" Tanya Alwin setengah mencibir. Menyeka wajahnya yang basah.
"Harus banget gitu, aku baper soal cewek? Sori, aku bukan kamu yang isi kepalanya cuma ada cewek."
"Alah, jadi cowok sok alim. Sok enggak peduli sama cewek. Sok jual mahal. Giliran gebetannya diembat, ngegas kayak motor nyelip tronton."
Bi Isah yang masih ada di antara pertengkaran hanya menatap bingung kedua bujang di hadapannya. Tak paham apa yang mereka ributkan sehingga harus membuat air berceceran ke mana-mana.
"Mulut kamu, tuh, tronton. Basyot doang isinya!"
"Daripada kamu mulut aja sok bijak, tapi sikap kamu minus. Dasar, munafik!"
Lantai yang Gaza pijaki basah begitu ia sampai di lokasi keributan. Muhyi dan Alwin berhenti berdebat kala netra mereka melihat kehadiran Gaza. Merasa tak ada yang bisa dilakukan, Bi Isah mengambil langkah untuk turun. Hendak mengambil lap pel untuk membersihkan kekacauan. Menyerahkan urusan Muhyi dan Alwin kepada kakak tertua mereka.
Birru dan Fahim muncul bersamaan beberapa detik setelah Gaza. Birru masih dalam keadaan kusut khas bangun tidur. Berbanding terbalik dengan Fahim yang sudah siap dengan seragam lengkapnya—yang semua persiapannya disiapkan oleh Bi Isah dan asisten rumah yang lain.
"Bunda pergi dari rumah. Jadi hari ini, perihal surat panggilan dari sekolah, saya yang akan mendatanginya. Ke depannya juga selama Bunda tidak ada, segala urusan di rumah ini menjadi tanggung jawab saya."
Seluruh netra kontan terfokus ke arah Gaza tatkala Kalimat itu sempurna tertutur. Bingung. Tak percaya.
Walaupun Gaza anak tertua, tetapi kehadirannya di rumah nyaris seperti tak ada. Dia pendiam, cuek, tiada pernah peduli dengan apa pun yang adik-adiknya lakukan. Gaza hanya hidup untuk dirinya sendiri, untuk dunianya sendiri. Setelah masuk universitas eksistensi dirinya di rumah terasa makin lenyap.
"Biasanya juga cuek-cuek aja. Kenapa sekarang bersikap sok peduli?" Itu suara Birru. Si nomor dua yang selalu terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan terhadap si sulung.
Gaza tahu, keputusannya untuk mengambil alih segala urusan yang ada bukan perkara enteng. Terlebih lagi, hubungannya dengan keempat saudaranya tak cukup dekat selama ini. Mereka pernah sangat dekat sebenarnya, ketika masih kanak-kanak dulu. Hanya, makin mereka tumbuh dewas, ada jarak yang terbentang antara dirinya dan adik-adiknya. Ada tembok kokoh yang terbangun antara mereka, sulit ditembus dan dirobohkan.
Sebab itu, Gaza tidak menyesal sudah mengambil keputusan ini. Gaza tidak menyesal menyuruh Fatma pergi guna menenangkan diri. Ia berharap cara ini bisa menghapus jarak yang ada. Sebelum ada jarak lain yang memisahkan, setidaknya hati dan jiwa mereka pernah terhubung.
"Bunda pergi ke mana, Mas?"
...
"Astaghfirullah!"
Tumpukan buku-buku dalam genggaman itu nyaris saja lepas, seandainya Gaza tak cepat menguasai diri dan menggenggamnya lebih erat. Kendati pun ekspresi datarnya tak menunjukan apa pun, tetapi keberadaan wanita yang kini tengah duduk di bawah kaki meja akuarium sana membuat Gaza benar-benar terkejut.
"Bunda ngapain duduk di sana?" Meletakan tumpukan buku-buku di atas meja, Gaza lantas berjongkok di hadapan Fatma.
Menjelang tengah malam, di mana waktu benar-benar dikuasai senyap dan tenang, Gaza berniat untuk menyelesaikan setumpuk tugas kuliahnya malam tadi. Ruang keluarga biasanya menjadi tempat favoritnya. Ruangan itu berada di area paling belakang rumah, menghadap ke arah kebun bunga milik Fatma. Suasananya sejuk dan mendamaikan. Gaza sangat suka berkencan dengan buku-buku di tengah malam di tempat itu.
Akan tetapi, tampaknya ia harus kembali menunda tugas-tugasnya.
"Bunda baik-baik aja, kan?"
Wajah yang semula terbenam di balik lutut itu kemudian tampak. Bekas linangan air mata di wajah lelahnya cukup membuat Gaza paham apa yang jadi alasan wanita itu terduduk lesu di tempat yang tak seharusnya.
"Sebenarnya ada apa, sih, Bun?" Gaza merasa kalau permasalahan yang ada bukan hanya masalah adik-adiknya.
Tanya Gaza dijawab dengan dekapan. Fatma merasa kesedihannya tak bisa lagi digambarkan dengan kata-kata. Ia merasa lelah dan putus asa. Sebuah pohon yang kokoh dan kuat pun, jika diterpa angin dan badai yang sangat besar berulang kali mungkin akan tumbang.
"Bunda merasa kalau Bunda bukan Ibu yang baik untuk keluarga ini. Bunda gagal membahagiakan kalian, sampai-sampai semuanya menjadi seperti ini."
Gaza memejam, lantas menghela napas panjang. Detik selanjutnya, mahasiswa fakultas kedokteran itu menuntun Fatma untuk bangkit dan duduk di tempat yang lebih nyaman.
"Bunda tunggu di sini."
Fatma melihat Gaza melangkah menuju keluar ruangan. Entah apa yang hendak si sulung lakukan, Fatma tak terlalu peduli. Sampai beberapa menit kemudian, kembalinya Gaza dengan koper besar di tangan membuat kerut bingung di kening wanita itu kontan bermunculan.
"Bunda pergi aja!"
"Apa maksud kamu?" Bingung, Fatma menatap Gaza yang kini menuntun ia untuk mengambil alih koper hitam di tangan si anak.
"Ke rumah Bibi di Semarang atau ke rumah Dede sama Nine di Istanbul. Ke mana pun itu, lakukan apa pun yang membuat Bunda bahagia dan jangan kembali sebelum akhir bulan yang akan datang."
Panjang, Fatma menarik napas dalam. Gaza adalah makhluk yang sulit ditebak. Siapa pun, tidak ada yang bisa membaca hal apa yang ada dalam pikiran anaknya itu. Namun, apa pun yang Gaza pikiran kali ini, Fatma tak bisa menerimanya begitu saja.
"Bunda enggak bisa, Gaza? Kenapa pula Bunda harus pergi?"
"Karena kali ini, Bunda hanya perlu percaya sama aku."
....
.Bersambung
Bandung, 11 Nopember 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top