Bagian 1 • Kemarahan Bunda
"Ada waktu sebulan lebih seminggu sebelum keberangkatanmu ke Malaysia. Jadi, gimana kalau kita liburan dulu? Ke Bali misal?"
"Entahlah...." Gaza mematikan mesin mobil. Tak lalu meninggalkan kemudi, lelaki itu justru melesakkan punggungnya lebih dalam ke sandaran jok. Bukan untuk mendengar lebih jauh ocehan si penelepon, melainkan sejenak ia ingin melepas udara penat yang memadati ruang pikirnya.
Berkas-berkas persyaratan keberangkatannya dalam mengikuti students exchange saja belum ia lengkapi. Selain itu, ada banyak tanggung jawab yang harus ia urus sebelum keberangkatan—selain tugas kampusnya yang membukit, tentu saja—membuat ia urung memikirkan hal-hal lain. Terlebih itu rencana berlibur.
Akan tetapi, usulan Kaisar, teman satu fakultasnya pun perlu dipertimbangkan. Pasalnya, ia pun merasa ingin menumpahkan segala kepenatan yang ada dengan ber-refreshing sebentar.
"Ayolah, Za. Kita mungkin enggak bakal ketemu cukup lama."
Panjang, Gaza menarik napas. "Aku pikir-pikir dulu," putusnya.
"Mikirnya pakai jaringan 4G, ya? Jangan kelamaan."
"Hm ..." respon Gaza pendek.
Panggilan kemudian diputus oleh Kaisar di seberang sana. Gaza berniat untuk turun dari mobil, saat rasa tak nyaman menyerang bagian dadanya. Memejam sejenak guna menghalau nyeri, selagi berusaha menanam praduga positif dalam kepala.
Bukan apa-apa, sebagai mahasiswa kedokteran, Gaza cukup paham apa yang terjadi dengan tubuhnya belakangan ini. Tapi, ia terlalu enggan memikirkan hal negatif apa yang terjadi padanya. Lagi sakit itu tak terlalu sering mengganggu, hanya datang di saat pikirannya tengah ruwet dan penuh benang kusut.
Begitu sakit itu mereda, Gaza segera meninggalkan tempatnya. Sebelumnya, ia meminta Mang Dulah—satpam di rumahnya—untuk memasukkan mobil ke garasi. Lantas dengan lesu ia berjalan memasuki rumah mewah itu, tumpukan buku yang sengaja ia pinjam dari perpustakaan kampus turut menambah beban di tangannya.
"JADI, APA YANG BIKIN KALIAN SAMPAI BERANTEM, HAH?"
Gaza berniat melesat ke dalam kamarnya kala teriakan dari ruang tengah itu menusuk gendang telinga. Melupakan tujuan awalnya, si sulung kemudian melangkah guna memastikan keributan apa yang sedang terjadi di ruangan yang biasa dijadikan tempat berkumpul itu.
Semua anggota keluarganya tengah berada di sana. Mendapat sidang dari si ibu, Fatma. Hal biasa sebenarnya, sebab kerap keempat adiknya memang senang berulah. Namun, baru kali ini Fatma tampak begitu meledak-ledak.
"Muhyi tuh, Bun. Sok ikut campur urusan orang!" Alwin mendesis. Menatap runcing Muhyi yang kini duduk di hadapannya.
"Kamu pikir dengan bersikap sok ganteng, jadi playboy, dan suka mainin perasaan perempuan itu terlihat keren?" Muhyi melipat tangan di dada, berpose menantang. Selagi sorot matanya tak kalah tajam menatap si kakak di tempatnya.
"Alah, biasanya juga kamu anteng-anteng aja. Bilang aja iri karena cewek yang aku campakin itu cewek yang kamu sukai, kan?"
Tangan Muhyi kontan saja terkepal. "Laki-laki sejati itu, dia yang pandai memahami perasaan perempuan. Bukan yang bangga karena sudah mematahkan banyak hati perempuan."
"Jadi kalian berantem sampai saling tonjok itu hanya karena cewek?" Di tempatnya, Birru ikut nimbrung. Berdecak malas. Melihat Muhyi dan Alwin berdebat itu bukan hal asing. Namun, jika sampai baku hantam seperti yang Fatma ceritakan, itu baru pertama kalinya.
"Kamu juga, Birru! Apa dengan bolos, merokok, dan kumpul dengan anak-anak genk motor itu terlihat keren?" Meniru kata-kata Muhyi, Fatma melempar bom kemarahannya kepada Birru
Sungguh! Fatma tidak bisa lagi menahan emosinya kini. Ini adalah surat panggilan ke enam—entah ke tujuh—dalam satu bulan ini. Semuanya berisi laporan kenakalan putra-putranya. Parahnya, kali ini ia dapat tiga surat panggilan sekaligus.
"Bundaaaa, udah dong! Istighfar! Jangan marah-marah terus. Nan...."
"Gimana Bunda enggak marah-marah?!" Cepat, Fatma memutus kalimat Fahim. "Kamu juga sama saja, Fahim! Bunda tahu IQ kamu tuh enggak terlalu bagus, kamu enggak begitu pintar. Tapi, bukan berarti mencontek saat ulangan itu dibenarkan."
Jujur saja Fahim terkejut sebab ia pun dapat ledakan bom kemarahan sang Bunda. Fahim adalah yang paling dimanja, yang sefatal apa pun kesalahannya, ia selalu berhasil lolos dari sidang. Namun kali ini, api kemarahan dalam diri Fatma berkobar-kobar, siap membakar habis apa pun yang menyentuhnya. Seketika Fahim menciut dan tak berani lagi menyuarakan apa pun.
"Pokoknya, sekali lagi saja Bunda dapat surat panggilan dari sekolah kalian, Bunda bakal laporin semua ini sama Ayah kalian!"
Menahan diri untuk tak bersikap impulsif adalah pilihan Gaza. Laki-laki 19 tahun itu masih berdiri di ambang pintu sana, memerhatikan segala sesuatunya dalam bungkam. Sampai kemudian...
"Bunda selalu bilang hal yang sama setiap kali kita berulah. Tapi faktanya, sebulan ini Ayah enggak pernah pulang, kan? Itu bisa jadi karena Bunda cuma omong kosong aja, atau karena Ayah memang sudah enggak peduli sama kita! Bener kan, Bun?"
...bagaimana terpojoknya Fatma begitu kalimat Birru itu terurai eksplisit, Gaza melangkah dan berjalan mendekat ke tempat persidangan.
"Ada apa ini?" Pertanyaan ringan itu berhasil mengalihkan seluruh atensi.
Fatma merasa kehadiran Gaza adalah anugerah. Karena demi apa pun itu, Fatma tidak bisa menjelaskan apa pun yang jadi jawaban pertanyaan Birru saat ini.
"Kamu urusin tuh adik-adik kamu! Siapa tahu kalau sama kamu mereka bisa lebih nurut." Fatma beranjak, meninggalkan tempat sidang yang masih dirambati aura panas penuh amarah, bahkan saat yang membawa atmosfer kemarahan itu tak lagi di sana.
"Kalian harus minta maaf sama Bunda. Kalau enggak...."
"Kalau enggak, mau apa emangnya?" Tatap penuh antipati Birru layangkan ke arah si yang paling tua. "Urus aja urusan kamu sendiri. Biasanya juga kayak gitu, kan?" sambungannya kemudian.
Hela napas lelah Gaza mengudara. Alwin dan Muhyi masih saling melempar tatap menusuk, sorot keduanya sama-sama dilingkupi aura permusuhan kini. Fahim tampak terpaku di tempatnya, mungkin masih terluka dengan kata-kata yang Fatma tujukan padanya.
"Oke! Kalau sampai malam nanti kalian enggak minta maaf sama Bunda, jangan nyesel kalau hidup kalian satu bulan ke depan enggak akan pernah sama lagi."
....
Bersambung
Dimulai ulang.
Bandung, 24 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top