PROLOG
Ketukan riuh harmoni menguasai udara, goresan pensil di kertas putih lalu bernoda. Cahaya memasuki melalui pintu yang terbuka dan ventilasi berlapiskan biru, membuat bayang-bayang biru di beberapa bagian kelas yang tersiram cahayanya.
Dengung baling-baling kipas angin bercampur suara anak-anak yang suka cita, senyum dan tingkahnya yang polos terkesan bak manusia tanpa dosa.
Tetapi, yakinkah itu?
Seseorang yang lain baru saja menangisi seorang yang lain. Bu guru sontak berdiri dan melerai. Hari itu bertambah satu kericuhan lain.
Mereka adalah anak kelas empat SD. Masih sepatutnya menangis untuk hal kecil dan bertingkah kekanak-kanakan. Begitu pula dengan tugas ini.
"Ck," lagi-lagi gadis kecil itu berdecak. Jemari mungilnya kembali menghapus dan menghalau sisa-sisa penghapus menjauhi area tulis. Apa gunanya menulis semua ini? gerutunya dalam hati.
Dahi si gadis kecil berkerut tajam, bibir merah muda mengerucut menggemaskan. Sederet tulisan pendek berbentuk dua paragraf terpampang jelas. Ini sudah lima belas menit sejak perintah Bu guru dilantangkan: ceritakan masa liburan sekolahmu.
Saat ia mengangkat wajah, teman-teman sekelas terlihat tidak kesulitan sama sekali. Menulis dengan wajah tersenyum lima jari dan sibuk dengan memori masing-masing. Sedari tadi gadis kecil juga begitu, dia mencari semua data ingatannya sejauh dan sebanyak yang ia bisa. Tapi mentok-mentok ke pengalaman yang sudah-sudah: kampung. Satu-satunya destinasi terbaiknya adalah Dufan.
Barangkali ada tempat yang jauh lebih baik dari itu, tetapi dia masih terlampau kecil untuk mengingat.
Si gadis kecil kembali menggerutu kala memikirkan gagasan itu, ia menoleh ke samping melihat teman perempuannya---sebangku---mulai mengaksara kembali. "Kamu nulis apa?" tanyanya, dengan mata mulai mengabsen tiap kata.
"Tulis liburan ke kampung," balas temannya, bertepatan si gadis kecil menemukan garis besar cerita. "Kamu nggak nulis?"
Jeda sejenak. Di balik raut wajah yang tertekuk itu, tersimpan pergulatan besar hanya untuk menjawab satu pertanyaan. "Masih dipikirin."
"Ohhh." Demikian respon teman sebelahnya.
Lagi, netranya menubruk lembaran berparagraf dua itu. Ujung pensil yang tajam membuatnya gatal ingin cepat-cepat menulis, sebaliknya tidak ada yang bisa ditulis.
Entah sejak kapan gadis kecip tidak menyukai entitas hari libur kecuali tidak masuk sekolah itu sendiri. Kemungkinan besar, ia akan tahu kehadiran esoknya akan ditanya-tanyai seperti ini.
Tidak bisakah para guru berdamai sejenak, dan tidak menyuruh apa-apa yang berakhir iri dengan liburan orang lain?
Pada akhirnya, gadis kecil menceritakan dengan gabungan dari pengalaman sebelumnya, sambil harap-harap cemas tidak ada seorang pun yang menyadari kebohongan ceritanya.
Cerita teman sebangkunya tadi itu bukan hal yang menarik sih. Gadis kecil juga sering pulang kampung, walau tanpa ayahnya. Dia tetap ke sana, meski di perjalanan dipenuhi muntahan yang merengut segala macam isi pencernaan; dia tetap ke sana.
Sebab itu satu-satunya yang ia punya.
Selain kampung dan sepotong ingatan di Dunia Fantasi, apalagi yang membuatnya bahagia?
Dulu semua baik-baik saja. Tenang seperti daun yang jatuh dari pohonnya; air yang mengalir, dan bukan sambaran petir.
"Ayahmu enggak ada?" teman sebangku tiba-tiba bertanya. Manik jelaga itu membeo membaca isi paragraf si gadis kecil.
Hanya bisa termangu, ia menatap balik tulisannya yang acak kadut itu. Ketika sesuatu pecah dalam dirinya, gadis kecil tahu itu berarti ia sedang tidak baik-baik saja.
Pertanyaan menjejak dalam kepalanya yang mungil, tatkala ia menyadari sesuatu. Benar juga ya, kenapa ayah tidak pernah bersamaku saat liburan ke sana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top