Bab 4

Nyatanya, hal remeh seperti dipinjamkan duit oleh teman adalah sesuatu yang sakral bagi Trisha. Dia tidak ingin hutang budi, lagipula kalau duitnya tidak ketinggalan, Trisha mampu membeli jajanan.

Maka keesokan harinya saat Candra asyik bermain game di ponsel pintarnya, Trisha muncul tanpa apa-apa. "Ini yang kemarin. Makasih udah ditalangin dulu." Candra bahkan belum melihatnya dua detik, gadis beraut datar itu sudah berbalik.

Bercampur bingung dan terkejut, Candra menghentikan permainannya usai menyembunyikan hero-nya di semak-semak. "Sebentar, ini buat apa?"

Langkah keempat Trisha berhenti, dia menoleh tidak percaya. Kamu seriusan nggak paham? Wajahnya mengatakan demikian.

"Jajanan aku kemarin, yang pinjam duitmu dulu," jelas Trisha.

Candra menatap uang yang tergeletak itu sebentar. "Nggak usah, aku traktir."

Alis Trisha menyatu samar. Itu omongan penenang. Trisha tetap tidak suka. "Nggak, kalau nggak mau terima, sumbangin aja ke kotak masjid." Punggungnya yang perlahan menjauh, Trisha berhenti di mejanya dan berkutat dengan buku.

Candra masih tidak mengerti, tetapi dimasukkannya uang itu ke saku celana dan memainkan permainan yang tertunda.

"Aaaa!" Candra menggebrak meja, terkejut. Anak laki-laki di belakangnya lebih terkejut lagi.

"Kenapa?"

"Aku mati!"

Trisha mendengar gegaduhan itu, serta merta merasa bersalah. Tadi beneran salah timing.

"Kamu tadi habis ngapain sama Candra?" Patricia bertanya, badannya sudah sepenuhnya menghadap Trisha.

"Ngapain apanya?" balas Trisha pura-pura tidak mengerti.

Gadis tomboy itu melihat ke belakang Trisha. Trisha yang penasaran pun ikut melihat. Arahnya tertuju ke Candra. Ia baru berbalik setelah kebingungan memukul kepala hingga ia pening memikirkan jawabannya.

Bukan sesuatu yang spesial sih, hanya saja pertanyaan Patricia terkesan mengintrogasi. Trisha jadi menangkap jangan mengatakan jawaban mengandung salah paham.

"Kenapa?" Patricia mengulang pertanyaan.

Trisha menghela napas pelan. "Kemarin di kantin aku pinjam uangnya dulu, terus hari ini baru kuganti."

Patrcia terdiam sejenak. Ekspresi jahil terlukis di wajahnya yang tembab. "Kenapa nggak pinjam uanhku dulu? Atau Grilda sama Esca, gitu?"

Nah kan. Trisha menghindari tatapan Patrcia. Sungguh reaksi yang kian memancing untuk menggodanya, tetapi sungguh, ia bahkan tidak tahu jawabannya. Semua spontan. Baik dia yang memanggil Candra dan meminjam uang.

Dikatakan seperti itu Patrcia tetap tidak percaya. Teman perempuannya sudah di ambang batas kekesalan, barulah gadis yang dihormati Trisha itu menganggukkan kepala. "Oke, oke. Aku percaya aja, deh," Patricia tetap jahil sampai akhir.

Trisha mencebik kesal. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang, lima menit sebelum bel pulang berbunyi. Seakan gelombang pemberitahuan masa depan telah berdentang lebih dulu, anak kelas mulai merapikan barang-barang. Tiga menit sebelum pulang, Trisha memutuskan merapikan perlengkapan.

"Trisha!" Yang dipanggil mendongak. Esca melambaikan tangan meminta atensi. "Cek WA!"

Kedua alis Trisha terangkat tertarik. Diambilnya lagi ponsel yang sudah masuk ke dalam tas, menutup resleting. Tampak dua pesan dari Esca. Isinya mengajak pulang sekolah ini mereka main.

Trisha menunjukkan pesan itu ke Patricia, dihadiahi satu anggukan setengah tidak peduli. Patricia bisa-bisa saja main, di rumah sedang tidak ada ibunya.

Ngomong-ngomong soal itu, bangunan hijau berhalaman pot-pot berisi bunga berpemilikan orang tua Patricia, berlokasi strategis. Ke luar rumah ada warung, di belokan nggak juga ada. Keluar RT tukang jualan seblak ada tiga, berjarak sepuluh hingga dua puluh meter saja per tempat.

Bila mengendarai motor, dalam waktu tujuh menit sudah berganti pemandangan kios-kios dan aneka pedagang kaki lima. Intinya, rumah Patricia itu tongkrongan-able.

"Mau beli apa?" Grilda turun dari motor. Trisha menyandarkan tangan di kepala motor, Esca menyetandarkan dan mulai mengeluarkan ponsel, dan Patricia yang mengajak Esca bicara.

"Aku kentang," jawab Esca, merapikan kerudung segi empat lewat spion.

Grilda beralih ke Trisha. Gadis itu mengangguk. "Sama, lima ribu aja."

"Esca berapa?"

"Sama." Esca membenarkan letak spion seperti semula, berbalik menghadap Grilda.

Panas menyengat memanggang aspal. Ranting pohon tidak cukup menghalau. Pedagang kentang goreng berjarak lima meter dari tempat mereka berdiri. Dari sini, terlihat Patricia memandang seberang, jatuh ke takoyaki memanas di teflon berlubang.

"Aku mau takoyaki aja. Ada yang mau?" tanya Patricia, memasukkan kunci motor besarnya ke saku celana cargo.

Hening sejenak. Maka Patricia menyeberangi jalan yang lumayan sepi itu, sedangkan Grilda memesankan kentang milik Trisha, Esca, dan dirinya sendiri.

Tiba-tiba Trisha kepikiran minuman. Dia lupa kalau mereka belum ada minum. "Des, beli minum yuk?"

Esca mendongak. "Mau apa?"

"Cari-cari dulu. Kalau nggak ada, es teh aja." Kunci motor diputar, deru knalpot terdengar.

"Mau ke mana?" Grilda berseru.

"Beli es. Kamu mau apa?" Di seberang sana Grilda berpikir. Matanya menerawang, kedua tangan di pinggang. Lama memutuskan, ia akhirnya menggeleng.

Trisha mengangguk. Esca sudah menanyakan hal serupa pada Patricia, dia mau. Usai mendapatkan permintaan pesanan, Esca dan Trisha berangkat menggunakan motor Trisha. Kendaraan Patricia sudah dibawa oleh empunya. Tentu saja, motor sebesar itu mau ditinggal sendirian sama saja memberi kesempatan orang jahat.

Angin sepoi-sepoi terasa sejuk di sepanjang jalan, mereka dipayungi ranting penuh dedaunan lebat yang beberapa bagiannya menyelimuti sebagian kecil titik-titik jalan. Kios-kios tidak sepenuhnya terisi, masih kosong. Walaupun bukan lagi daerah baru, sudah empat tahun sejak dibangun, daerah sini masih saja seperti itu.

Begitu banyak makanan dan minuman mahal. Trisha jadi sangsi, dia rasa es teh sudah lebih dari cukup. Bulan ini boros, dia harus irit.

Patricia dan Esca memilih hal berbeda. Gadis yang diboncengnya menunjuki kios minuman, yang biasa ditutup gelasnya dengan plastik bergambar.

Turun dari sana, disambut mbak penjual cantik, Esca memilih lewat menu. "Black oreo dua, satunya pakai cheese, satu lagi pakai boba." Diam sejenak, Esca beralih ke Trisha yang sudah melihatnya lebih dulu. Tatapannya mengkode, Trisha paham, dia memejamkan mata da menggeleng pelan. "Udah itu aja," tutupnya sembari berjalan menghampiri di pembonceng.

Trisha memutar kunci motor dan penutupnya. Dia menunjuk bangku besi depan kios, memberitahu dia akan ke sana. Esca mengikuti, dua bokong mendarat mulus.

Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Trisha memandang lurus, pohon palen berdiri dan berdaun lebat, menyita perhatian. Dua-tiga kendaraan melintas dan menghilang di belokan. Tidak ada angin yang berembus, udara terasa panas.

Merasa bosan, Trisha mengambil ponsel di saku rok. Terdapat puluhan pesan dan belasan panggilan, jantung terasa keluar dari rongga dada. Pupil mata Trisha melebar, segera ia membuka layar kunci dan mengabsen tiap-tiap pesan dari orang yang berbeda-beda. Isi ruang pesan ibu dan pamannya mempunyai inti yang sama: cepat pulang, bapakmu kecelakaan.

Mungkin itu karma, tetapi darah yang berdesir cepat melalui pembuluh venanya berkata lain. Semua rasa emosi bercampur aduk. Dia tidak sedih, jiwanya tertawa, otaknya meminta untuk menangis sebatas agar ia terlihat manusia. Trisha memutuskan mengikuti perintah otak.

Bertepatan dengan pembayaran yang selesai dilakukan dan tangan Esca menenteng dua gelas minuman, ia berjalan cepat ke motor, memutarnya. "Aku harus pulang." Intonasi suara Trisha cepat, Esca menaiki motor. Tanpa menunggu lama digasnya dan kios tertinggal di belakang sana.

"Kenapa?" Keterkejutan mewarnai pertanyaan Esca.

"Ayahku kecelakaan," Trisha menjawab terburu-buru, terlihat panik. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah dia panik atau apa? Dia tidak mengerti emosinya sendiri.

Keterkejutan Esca bertambah. Dia mengatakan sesuatu yang mirip duka, menyuruhnya menyetir lebih cepat, dan semacam hal lain yang tidak didengarkan Trisha.

Serangkaian penjelasan jatuh ke Esca. Ditinggalkannya gadis itu di teras rumah Patricia, kedua teman mereka telah sampai. Ada di dalam, tetapi Trisha tidak memiliki waktu lagi. "Kentangnya buat Grilda aja. Maaf nggak bisa beliin dia es, gitu."

Esca mengangguk.

Itu terakhir kali Esca melihat Trisha. Sepenuhnya gadis itu telah berubah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top