Bab 3
Patricia menutup buku dan menaruh pulpen sembarangan. Sembari bersandar pada kursi, termangu memikirkan entah apa Trisha tidak tahu seraya menatap lurus papan tulis.
Saat ini sedang pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran paling santai, gurunya juga ramah. Namanya Pak Agung. Pria paruh baya itu tengah mengobrol bersama anak laki-laki. Gelak tawa memenuhi deretan meja dekat pintu. Di samping tempatnya para gadis merumpi, tetapi Trisha dan ketiga temannya tidak termasuk. Mereka ada di barisan ketiga, kelompok kedua paling kalem di kelas ini.
Yang pertama adalah barisan keempat, ada di pojokan kelas dengan jendela yang pemandangannya hanyalah ranting pohon tak terurus. Di luar adalah kebun. Rumor yang beredar di sana berisi kumpulan cerita horor receh yang dijamin bisa menakuti anak-anak SD, tetapi mereka adalah anak SMA. Jadi itu tidak berlaku.
Plastik beradu dengan kayu saat Trisha meletakkan pulpen sedikit keras, ia menghembusan napas panjang. "Akhirnya kelar juga." Kedua bahu merosot, pipi menyentuh meja.
"Kamu nulisnya banyak amat, Sa," ujar Patricia, memandangi sepotong tulisan Trisha yang tak terhalangi kepalanya.
"Ini sedang," jawab Trisha, memejamkan mata menikmati angin kipas. "Sekalian buat catatan."
Patricia terkekeh. "Dasar rajin. Semoga nular ke aku."
Menanggapi ucapan itu, senyum jahil Trisha terbit. Matanya memicing menggoda selagi ia duduk tegak dan menggeser buku ke depan Patricia. "Silahkan dicatat, pren."
Patricia tergelak. "Nggak, nggak usah. Nggak jadi," tolaknya halus, membuat Trisha ikut tertawa.
Belum berhenti tawa itu, seseorang menepuk pundak Patricia. Gadis itu menoleh, menemukan Esca.
"Ayo." Esca berjalan pelan, di sampingnya ada Grilda yang langsung menyapa Trisha.
"Kemana?" Pertanyaannya demikian, sedangkan si empunya mengatensikan ke luar kelas.
"Kamar mandi."
Maksudnya, kamar mandi berkedok ke kantin.
Trisha yang pertama kali menyahut, bangkit memutari meja. Berdiri di depan Grilda. "Ayo," ujarnya, beralih ke Patricia.
Gadis keren itu akhirnya berdiri. Mereka izin ke kamar mandi menemani Esca.
Pukul sembilan pagi. Kabut telah sepenuhnya menghilang, pintu-pintu kelas yang menampilkan meja guru: beberapa kosong, beberapa tidak. Jendela berisi siluet gelap isi ruangan. Sinar matahari yang menyilaukan mata mengaburkan sekeliling dalam warna kuning terang tak terlihat.
Mereka melipir dalam naungan atap sekolah, berjalan di lorong. Trisha mencuri-curi pandang ke jendela, tiga-empat orang ia kenal, beberapa berkontak mata.
Menemui pertigaan, Patricia berbelok ke kiri. Dari sini udara lebih sejuk karena bangunan kelas membelakangi matahari. Sekolah membentuk barisan kotak.
Esca dan Patricia sedang membicarakan sesuatu yang tidak Trisha mengerti. Gadis itu sendiri berbincang dengan Grilda. Terlalu asyik hingga menabrak pilar.
"Aduh." Keseimbangan tubuh Trisha limbung. Untung saja tangannya segera dipegangi Grilda dan satu lagi berpegangan pada pilar lain, jadi dia tidak jatuh.
Suara tertawa yang tertahan membuat Trisha mendongak. Air mukanya seketika keruh. "Diem deh, Des."
"Ya habisnya tembok segede itu masa nggak kelihatan?" Esca masih terus mengejek.
Trisha merengut tak suka. Diamitnya lengan Grilda dan meninggalkan dua gadis itu di belakang.
"Idih ngambek," itu Esca.
"Aturan kamu timpuk dia dulu, Sa," itu Patricia. Esca balas berceloteh.
"Ide bagus, akan kulakukan nanti," jawab Trisha penuh semangat. Dia menoleh ke belakang dan memberikan tatapan menghunus yang amat sangat tajam ke Esca. Yang diberi tidak merespon.
Kantin berisi banyak jajanan. Ada bakso, mie ayam, nasi goreng, nasi uduk, risol, makanan kemasan, dan minuman dingin. Begitu banyak jajanan.
Orang lain yang datang sebelum mereka baru saja keluar. Kantin lenggang tersisa mereka berempat. Kesemuanya mencar mencari makanan dan minuman. Trisha memutuskan membeli minuman kemasan kopi dan roti isi kopi pula. Diserahkannya pada ibu kantin, segera terbungkuslah dengan plastik hitam.
Trisha mengambil duit di saku, menemukan ketiadaan di sana. Ia mengecek saku yang lain, hanya ada ponsel pintar keluaran tahun lalu.
Darahnya berdesir lebih cepat. Jantung memompa darah, degupnya sampai ke telinga. Trisha berusaha agar tidak panik. Ia membuka casing ponsel, tidak ada apa-apa di sana.
Nah lihat, ibu kantin mulai melihatnya curiga.
Derap langkah kaki mendekati tempatnya berdiri, Trisha mendongak. Terlihatlah segerombolan anak laki-laki kelasnya.
"Candra!" Trisha berseru.
Seorang cowok jangkung menoleh, mengangkat dagu. Trisha sontak mengibaskan tangannya, menyuruh ke sini.
Candra tampak bingung, tetapi mengiakan. Teman-temannya pergi membeli makanan. Terdengar mereka mengobrol dengan temannya Trisha juga.
"Apa?" tanya Candra begitu jarak sebatas satu langkah saja.
"Minjem duit doang. Lupa bawa." Muka Trisha pias diselubungi kepanikan.
Candra mengerjap-ngerjap. Memberikan duitnya. "Nih."
"Oke, makasih ya! Sebentar." Trisha memberikan uang dan begitu mendapat kembalian, diberikannya pada Candra.
"Nggak usah, buat kamu aja." Trisha memastikan telinganya tidak salah dengar. Lelaki jangkung itu mengangguk takzim."Buat kamu aja."
Itu bukan jawaban yang memberi penjelasan. Belum sempat Trisha merespon, Candra sudah berlalu pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top