Bab 2

Hilang; kosong; hampa; tidak berbekas. Bila ada segudang kata yang dapat menggambarkan perasaan sedih dan tidak bernyawa, Trisha pasti akan menggunakannya. Hanya saja, mengatakan sejumlah deretan kata yang tidak kauketahui kapan akhirnya, sangatlah melelahkan.

Tidak jauh berbeda dengan orang-orang di pertambangan. Bedanya peluh membasahi mereka adalah apa yang orang lain lihat, tetapi Trisha berbeda. Bibir bisu adalah tanda kecewa yang seringkali luput diperhatikan orang-orang.

Kepalanya pening mendengar segala suara di luar maupun dalam otaknya. Coba dengarkan betapa berisik itu semua, niscaya kau takkan kuat merasakan kemelut ombak amarah. Entah kapan itu semua menjadi biasa saja, atau mungkin tidak akan pernah?

Trisha menulikan telinga, berusaha fokus pada benda persegi di gengaman tangan. Menggulir video, bertukar pesan dengan teman, apa saja untuk mengalihkan pikiran. Dan itu berhasil, perhatiannya tertuju pada kepingan kaca di depan pintu kamar. Detik itu juga ia melompat dari atas kasur dan bergegas menahan tangan seorang pria, yang tak lain adalah ayah Trisha.

Citra, Ibu Trisha bergetar di atas kaki yang dipaksa tetap tegak. Semuanya gemetar, Trisha menggertakkan giginya melihat itu semua.

Sekuat tenaga ia mengempaskan tangan ayah ke samping, semata-mata agar tidak terlihat lemah. Dia bukan gadis kecil dalam gendongan lagi, maka dibalasnya iris hitam terkejut itu bersama kilatan tajam dari Trisha.

"Udah puas?" Suaranya sedikit gemetar, tidak sesuai ekspektasi Trisha.

Ayah menegakkan punggung sembari menghujani Citra dengan mata memerah. Sebagai tameng, Trisha mengangkat dagu dan mundur sedikit, setengah berputar pada Ibu Trisha. Di sisi tubuh satu tangan terkepal, siap mendedikasikan diri menjadi anak durhaka.

Sekalipun batinnya gentar untuk melakukan perlawanan, sebagai satu-satunya orang yang bisa membela ibunya di rumah ini, maka Trisha harus melakukannya.

Kalau tidak ia, tidak ada lagi.

"Ibumu duluan yang mencari gara-gara." Suara dingin ayah merobek dinding Trisha, mencabik-cabik batin yang sudah rapuh itu. Di luar Trisha bisa terlihat biasa saja, tetapi di dalam serupa dengan ibunya di belakang sana: isak tangis mengeras dan membuat gusar bagi yang mendengarnya.

Menangis, menangis, dan menangis. Trisha tidak mau lemah makanya ia berusaha untuk tetap tegak. Sekuat tenaga ia menarik napas yang sempat tertahan, ternyata tetap tidak mudah.

Gadis itu menarik dalam satu tarikan napas dan membuangnya seperti mengenyahkan sesuatu yang membuatnya sakit. Tetapi sesuatu itu tepat di depan mata. Bagaimana cara ia menyingkirkan ayah?

Haruskah?

Trisha menjatuhkan pandangan ke lantai yang dingin. Pusing menderanya berkali-kali lipat dari sebelumnya. Cengkeraman tangan mengendur, ia takut pada gagasan ingin membunuh.

Kenapa ia begitu?

Trisha memejamkan mata, menahan diri, menahan air mata, menahan amarah. Kumohon menghilanglah.

"Ibumu duluan---"

"Pergi," lirih Trisha. Gila akan pikiran ingin membunuh. "Ayah pergi saja. Rumahnya sudah hancur," lanjutnya tanpa berani menatap mata pria yang membawanya ke dunia. Takut, takut sekali. Dia harus membawa ayah pergi.

"Tapi---"

"Ayah, pergi aja." Dengan putus asa Trisha mendongak. Ayah membeku, kemudian berbalik meninggalkan rumah.

Trisha menghela lega.

Dia berhasil menyelamatkan keduanya. Ibu dari ayah; dan ayah darinya.

**

Trisha menyusuri lorong sekolah. Dari kejauhan dapat dilihatnya sekumpulan gadis remaja tengah duduk di bangku depan kelas MIPA 4. Tak lain dan tak bukan adalah teman-teman Trisha.

Melihat itu, Trisha sontak memacu langkah lebih cepat. Senyum sumringah terbit.

"Hai Trisha!" sapa Grilda. Dia seorang gadis mungil dengan raut muka lembut, ramah, dan hangat. Jiwa Grilda persis anak kecil, agak berbeda dengan para gadis di kelas mereka yang tegas, dingin, dan aura dewasa yang kental.

Grilda itu penyejuk. Senyumnya menular ke Trisha. "Hai Ilda!" Itulah nama kecilnya.

Kini Trisha sudah sampai di tengah-tengah para gadis. Satu per satu menyapanya. Memberikan kesan haru tersendiri bagi Trisha. Dia benar-benar senang karena di sekolah mempunyai teman yang baik-baik.

Meski matahari di atas sana belum condong bahkan seperempatnya, sinar telah menembus kabut yang menyelubungi sekolah. Bergerombol anak sekolah memasuki lorong-lorong panjang dan menghilang di balik pintu kelas masing-masing.

"... iya, katanya dia suka sama Sakha."

Sepotong pembicaraan yang tak sengaja didengar itu menarik atensi Trisha. Lirikan matanya menemukan seorang gadis kurus berkerudung, di puncak kepala terlihat rambut yang menyembul. Adalah Sheila, tipe anak hits di kelas.

"Bener, aku juga tahu itu dari temen yang kemarin dateng bawa kotak itu ke rumahku. Tahu kan?" ujar Dhina, segera dibalas anggukan serius Sheila. "Nah, di situ ..."

Alis Trisha terangkat keheranan. Darimana mereka mendapatkan segelintir informasi tidak penting itu? Trisha benar-benar tidak mengerti. Dialihkannya atensi ke arah lain, manik obsidiannya berhenti pada jelaga kecoklatan Grilda yang berkilau dibayangi cahaya matahari.

Sudut bibir gadis mungil itu terangkat geli seraya melirik Dhina dan Sheila tipis-tipis. Trisha tergelak dalam hati. Rupanya yang mencuri dengar tidak hanya dirinya.

Trisha mengulum tawa, sedangkan Grilda tampak lebih berusaha keras menahannya. Tubuh si gadis limbung ke depan, mengamit lengan Trisha. "Ayo ke kelas, Sa."

Anggukan penuh semangat Trisha membawanya menuju ruang kelas yang terang, tetapi suram. Kusam karena lama ditinggalkan, debu dan airosol menyatu hingga sulit dibedakan dengan mata telanjang. Dua-tiga orang menyapu lantai selagi beberapa dari mereka yang piket hari ini, sibuk membersihkan jendela, kursi, meja, dan papan tulis.

Tidak hanya mengusir debu dan sarang laba-laba, tetapi hewan itu juga. Trisha mesti menahan raut jijik dan teriakannya kala laba-laba melintas. Meski sudah satu semester bersama teman sekelas, ia masih belum tahu apakah mereka akan setega itu mececoki Trisha dengan hewan yang tidak ia suka---takuti.

Tiba-tiba saja sudut matanya menangkap pergerakan yang lain. Jantung Trisha nyaris copot sewaktu menemukan seekor laba-laba yang lebih besar daripada anakan yang lain, melintasi lantai putih kotor. Menaiki kaki meja. Memperhatikan seluk beluk tubuh tipis dan ringkih laba-laba, Trisha bergidik ngeri hingga tanpa sadar menarik pelan lengan.

Grilda mendongak mendapati gerakan tiba-tiba itu. "Kenapa?" tanyanya.

"Hah?" Trisha menoleh kaget. "Nggak, nggak kenapa-kenapa."

Kelopak mata Grilda menutup tipis. "Yang bener?"

"Iya."

Iris Grilda memicing curiga. Pasalnya bukan hanya lengan yang ditarik, kaki Trisha pun ikut berjinjit sedikit. Langkah seperti menghindari sesuatu. Grilda terus memperhatikan hingga menemukan biang keroknya.

"Kamu takut laba-laba?"

Pijakan Trisha berhenti. Ia menoleh terkejut.

Kepolosan muka Grilda beralih antara Trisha dan remaja laba-laba yang berjalan menjauh dari mereka. Merayap melalui celah-celah anak kursi dan meja. Sunyi yang menggelapi keduanya memberi kesimpulan bahwa asumsi Grilda benar.

Tidak butuh waktu lama untuk gadis itu menyingkirkan laba-laba yang kerap melintas depan mereka.

Perlakuan kecil itu berhasil menghangatkan hati Trisha. Dia tersenyum lebar ke Grilda. "Makasih ya, Gril."

Gadis cantik dan imut itu mengangguk.

Keduanya berhenti di meja paling depan. Trisha meletakkan tas birunya. Baru berjalan ke kursi Grilda, yang ada paling belakang. Namun, belum ada lima langkah Trisha sudah berhenti. Membuat Grilda melihat penuh tanya.

"Di luar aja yuk? Lebih adem di luar," Trisha berkata. Murid berpakaian putih abu-abu berlalu-lalang, terdengar samar-samar obrolan teman kelas yang di luar.

Grilda mengikuti pandangan Trisha, berpikir sejenak lantas mengangguk setuju.

Di sana bertambah satu anggota baru. Seorang perempuan kurus berkerudung dengan ekspresi wajah keras, tegas; tipikal perempuan dewasa. Dalam artian tidak menye-menye.

Adalah Aldesca, biasa dipanggil Desca atau Ecca. Senyum menawan dan menular, berbanding terbalik kala ia diam saja. Harus Trisha akui bahwa Esca sangatlah cantik. Di pipinya ada bekas jerawat-jerawat kecil yang memudar, pipi tirus, alis lumayan tebal, bibir tipis agak gelap dan kulit putih. Tinggi badan normal, berat badan kurus dan anehnya ramping. Dia benar-benar terlihat keren.

Dibandingkan dengan Grilda yang sealis Esca, kulit Grilda lebih gelap sedikit. Wajahnya manis seperti anak SMP, belum menunjukkan tanda SMA sama sekali. Tingkahnya pun sama. Bukan kekanak-kanakan yang menjengkelkan, Grilda menyenangkan karena dia jauh dari sifat propokator dan segala sifat yang membuat Trisha mesti waspada pada manusia.

Kelasnya dipenuhi manusia-manusia seperti itu. Hanya Grilda, Esca, dan satu teman perempuan paling tinggi dengan air muka lebih tegas dari Echa; bernama Patricia. Surai hitam lebat bergelombang itu tidak pernah bosan untuk dipandang. Satu penggambaran baik dan keseluruhan dari Patricia adalah Merida, dalam film Brave.

Merekalah orang terpercaya Trisha. Empat sekawan. Mau nambah orang? Boleh-boleh saja, asalkan dapat dipercaya.

Begitu keduanya bersitatap, Esca langsung menghampiri Trisha dan melingkarkan tangan di seputar bahu. "Temenin ke kelas, yuk," lugasnya, tanpa menunggu jawaban, Esca menarik Trisha ikut serta menemani langkahnya.

"Ehh," bukan hanya Trisha yang memekik, Grilda juga. Tangannya ingin menggapai Trisha, tetapi genggamannya mengenai udara kosong.

Trisha tertawa canggung. "Sebentar," ujarnya, kemudian menyerah mengikuti Esca.

Yahh, penilaiannya tentang penampilan Esca memang tidak salah. Trisha hanya kaget dengan tingkah seenak jidatnya saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top