When life gives you lemons, make lemonade
Yaya memasang ear buds dan daftar lagu yang selalu ia dengarkan setiap kali membutuhkan pengalihan pikiran mengisi ruang dengarnya. Seketika ia merasa siap untuk melupakan semuanya dan seolah mendapatkan suntikan tenaga, Yaya bernyanyi sekuat tenaga menggoyangkan badan mengikuti irama lagu sambil memasak. Membiarkan musik membuatnya lupa pada semua masalahnya. Menyanyi sekuat tenaga, sebagai upaya menurunkan tingkat stress yang mengancam jiwanya.
Ia terus menggerakkan badan dan terus bernyanyi meski beberapa nada terdengar salah. Saat ini yang ia butuhkan adalah melepaskan diri. Membebaskan diri dari semuanya sebelum menghadapi dan menyelesaikan masalah pada saatnya ia sudah siap.
Untuk sesaat, Yaya tak inign memikirkan kelangsungan pertunangannya. Ia tak ingin memikirkan Dipa atau dua orang asing yang berbagi momen pribadi bersama tunangannya. Menjauhkan pikiran tentang apa kata orang atau anggapan keluarga Dipa jika pada akhirnya pertunangan mereka dibatalkan. Mengizinkan dirinya untuk bersikap egois, ia kembali menyanyi dan menggoyangkan badan sebebas yang ia bisa.
Lagu Whitney Houston yang terbukti sulit dinyanyikan oleh penyanyi profesional pun tak membuat Yaya takut. Ia bernyanyi sekuat tenaga, larut dalam lirik yang membuatnya mengingat Dipa. Hingga tak ia sadari air matanya kembali meleleh, tapi dengan cepat ia menghapus dan kembali bernyanyi. Namun, ketika ia membalik badan, napasnya terhenti dan panas bisa ia rasakan muncul dari dalam tubuhnya naik hingga ke pipi. Matanya membelalak dan bibirnya membulat tak mampu untuk berkata apa-apa.
Yaya terpaku ketika mendapati Ganin menyandar di dinding dan menyilangkan tangan di depan dada dengan mata tertuju hanya padanya. Tidak ada senyum di bibir pria yang terlihat santai, berbeda dengan Ganin yang meninggalkannya tadi pagi. Pria itu sudah melepas jas yang kini berada di atas meja dapur. Lengan kemejanya ditekuk hingga ke siku memperlihatnya lengan kokoh yang pernah memeluk pinggangnya erat. Kacamata masih setia bertengger di hidung mancung Ganin, dan mata tajam itu membuatnya tak bisa berkutik.
"Whitney houston pasti bangga mendengar lagunya dinyanyikan salah satu diva Indonesia dengan penuh perasaan," kata Ganin terlihat menahan diri untuk tidak menertawakannya. Tak tampak seriai penuh ejekan di wajah pria yang masih menatapnya. Bahkan saat ini wajah di depannya terlihat lega dan bahagia.
"Udah berapa lama Mas In di situ?" tanyanya sambil mencari sesuatu untuk menutupi tubuh separuh telanjangnya. "Maaf, aku kira Mas In masih lama ... jadi—" Kalimat di ujung lidah terhenti ketika Ganin mengulurkan jas miliknya.
"Pakai!" kata Ganin sebelum melewatinya dan melihat apa yang dikerjakannya di atas kompor. Yaya terlalu gugup dengan kehadiran pria yang membuat jantungnya berdetak tak beraturan. Aroma parfum yang tertinggal ketika Ganin melewatinya, membuat Yaya harus mengigit bibir sebelum ia mengatakan sesuatu.
Ia merasa telanjang saat ini dan Ganin tak terlihat keberatan justru membuatnya semakin salah tingkah. Yaya masih terdiam mencengkeram jas tanpa tahu harus melakukan apa. Terlebih lagi ketika lengan telanjangnya hanya berjarak beberapa centi dari pria yang menguarkan aroma parfum menggoda indera penciumannya.
"Baunya enak, Ya. Bikin lapar," bisik Ganin tepat di depan telinganya. Tubuhnya bergetar mendapati kedekatan mereka, dan ia harus menahan diri ketika Ganin meraih jas yang masih ia cengkeram dan membentangkan, menantinya untuk memasukkan lengan satu persatu. "Kalau boleh jujur, aku cemburu sama jas milikku sendiri saat ini," kata Ganin ketika ia sudah memasukkan kedua lengannya ke dalam jas yang memeluk tubuhnya. Yaya menarik napas dalam aroma tubuh Ganin yang menempel.
Napasnya tiba-tiba memendek ketika membayangkan Ganin mengecup belakang kepala sebelum turun hingga leher dan pundaknya. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak membayangkan jari lentik itu menyapu pelan lengannya hingga ke tulang selangka sebelum turun ke belahan dadanya.
"Ya!" Suara Ganin yang terdengar serak membuatnya tersadar dari lamunannya dan segera berlari menuju kamar sebelum menutupnya keras. Dengan napas yang masih memburu, ia menyandarkan punggung dan jatuh terduduk dengan napas memburu.
"Ya ampun, kenapa aku malah ngebayangin laki-laki lain bikin aku terangsang! Murahan banget, sih! Tadi aja nangis-nangis keinget Dipa 'makan' perempuan lain, lha kok sekarang kamu pengen 'dimakan' Mas In, sih!" Yaya memarahi diri sendiri, mengingat bayangan yang ada di kepalanya beberapa saat lalu. Bahkan saat ini ia bisa merasakan kelembapan di antara kedua paha membuatnya tidak nyaman.
Ketukan lembut di pintu kamar terdengar setelah beberapa saat ia sibuk memarahi diri sendiri. Panggilan Ganin yang terdengar kuatir tak kunjung membuatnya ingin beranjak dari lantai tempatnya duduk setelah menutup pintu. "Ya! Kalau kamu enggak buka pintu, aku bakalan dobrak pintu sialan ini!"
"Bentar!" teriaknya sebelum berdiri dan mengganti baju. Ia tak ingin membiarkan Ganin memenuhi pikirannya, pria yang saat ini berada di balik pintu membuat kulitnya meremang. Yaya harus menghentikan bayangan sentuhan dan ciuman di tubuhnya sebelum ia berubah menjadi perempuan tak tahu diri karena merayu pria yang membantunya.
"Kenapa?" tanya Ganin ketika ia membuka pintu. "Kamu lari seperti ngelihat hantu."
Yaya tersenyum kikuk dan berjalan melewati Ganin menuju dapur untuk mengecek panci yang mendidih di atas kompor. "Moga-moga kamu doyan makan pedes, ya, Mas," katanya tanpa menengok ke arah Ganin yang berdiri tak jauh darinya. Ia tak memiliki keberanian untuk melihat pria yang kembali menyandar di lemari, melipat tangan di depan dada dan melihat setiap gerakannya. Yaya hanya meliriknya sesekali dan segera kembali menatap panci yang di aduknya.
"Kamu masak asam padeh?" Heran yang terdengar di suara Ganin membuatnya harus mengulum senyum. "Gimana kamu bisa tahu kalau aku suka asam padeh?" Yaya mengedikkan pundak dan mencoba untuk tetap terlihat sibuk.
****
Beberapa saat lalu Ganin disambut dengan cobaan hidup terbesarnya. Tubuh indah Yaya berbalut tank top dan celana yang tidak berhasil menutupi apapun itu meliuk liuk dengan gerakan menggoda menyambut kedatangannya. Membuat dirinya berdenyut dan harus mengatupkan rahang untuk menahan diri untuk tidak melakukan apapun kecuali menyandar di dinding, menunggu hingga perempuan berkulit kuning langsat itu menyadari kehadirannya. Suara sumbang yang terkadang tedengar seperti cicitan itu tak membuat telinganya mendengung karena ia terlalu sibuk melahap setiap jengkal tubuh indah Yaya.
Ganin menyadari ketertarikan mereka sejak pertemuan pertama mereka. Ketika ia melingkarkan tangan di pinggang ramping Yaya, ia bisa melihat dari cara perempuan itu memandangnya. Rasa tertarik itu bukan hanya ada padanya, karena ia tahu Yaya pun merasakannya. Saat ini, rasa tertarik itu melesat semakin tinggi dan membuatnya harus menahan diri.
Aroma masakan yang ada di atas kompor mengalihkan pikiran dan ia menyadari makanan terakhirnya adalah ketika lunch meeting bersama Seno juga beberapa orang di salah satu resto mereka. Ganin tak bisa menahan diri, saat memandang Yaya yang terlihat nyaman bergerak di dapur, bayangan perempuan itu menyambutnya setiap hari membuat hatinya bergetar.
Saat itulah Yaya membalik badan dan terdiam memandangnya. Senyum di bibirnya langsung menghilang dan ia yakin saat ini, perempuan itu bisa melihat lapar yang terpancar di wajahnya. Ganin bahkan sengaja membuat Yaya merasakan apa yang dirasakannya saat ini, hingga perempuan itu lari masuk ke dalam kamar dan membanting pintu, meninggalkan dirinya di tengah dapur dengan senyum di bibir.
"Kenapa harus sembunyi?" tanyanya pada Yaya yang tak berhenti bergerak, seolah menghindari untuk bertatap muka dengannya. Ganin tak bisa menahan rasa kecewa ketika Yaya keluar dari kamar dengan baju yang berbeda beberapa saat lalu. Tak ada lagi baju kekurangan bahan seperti ia lihat.
Ketika Yaya mengangkat kepala, dan pandangan mereka bertemu, Ganin bisa melihat kabut gairah yang saat ini muncul di mata perempuan itu. Tangannya tak berhenti mencengkeram serbet di tangan hingga buku jarinya memutih. "Mas ... kamu enggak lihat kalau aku tadi hampir telanjang?" tanya Yaya dengan suara pelan.
"Llihat, kok. Terus?" tanyanya dengan suara yang tak kalah pelan. "Emang kenapa? Ada masalah?"
tiba-tiba Yaya mendorong tubuhnya dan berhasil melewatinya sebelum berjalan menuju lemari berisi gelas. "Enggak sopan, kan! Perempuan di rumah pria asing cuma pakai tank top sama celana pendek yang enggak nutupi apa-apa," katanya berusaha meraih gelas yang terlalu tinggi untuknya.
Ia berdiri dibelakang Yaya dan mengulurkan tangan meraih gelas. "Asal kamu tahu, aku enggak keberatan meski kamu telanjang saat ini." Ganin menyerahkan gelas pada Yaya, dan tawanya pecah ketika Yaya memutar tubuh. Perempuan itu berkacak pinggang dan melotot tajam padanya. Bahkan saat ini Yaya terlihat tidak menyadari sudah membuatnya semakin terangsang.
"Kamu menang banyak, dong, Mas!" kata Yaya ketus sebelum kembali sibuk dengan masakannya. "Diam di situ dulu, aku mau selesaikan ini dulu."
Ganin duduk di bar stool dan membiarkan Yaya sibuk di dapurnya. Perempuan yang selalu terlihat mencepol rambut di atas kepalanya itu bergerak luwes seolah-olah apa yang di lakukan di dapur apartemennya adalah sesuatu yang wajar. Kenyamanan Yaya berada di dapur miliknya membuat Ganin semakin yakin sesuatu di antara mereka berdua.
"Kamu kenapa, Ya?" Pertanyaan itu membuat gerakan tangan Yaya berhenti. "Sepanjang jalan menuju rumah, Mama enggak berhenti menceritakan pertemuan pertama kalian berdua."
"Ibu cerita sama Mas In?" tanya Yaya tanpa mengangkat kepala, membuatnya merasa menjadi pria brengsek karena membayangkan berbagai hal kotor untuk dilakukan bersama Yaya ketika perempuan itu terlihat sedang memiliki masalah besar.
"Mama hanya cerita kalau kamu kelihatan ada masalah besar." Ganin terdiam sesaat menanti reaksi Yaya. "Aku sadar kita enggak sedekat itu, tapi aku pengen kamu tahu kalau aku di sini. Kapanpun kamu siap untuk bercerita, aku akan mendengarkanmu. Kapanpun, di manapun. I'm all yours." Janji yang tak pernah ia ucapkan kecuali pada kedua saudara perempuannya, kini meluncur dengan mudah dari bibirnya untuk seorang Yaya yang baru dikenalnya sebulan silam.
Yaya mengedikkan pundak dan kembali memasak. "Moga-moga kamu laper, Mas. Sepertinya aku masak terlalu banyak." Ia tahu saat ini perempuan itu menghindarinya, dan Ganin tahu tak bisa memaksa Yaya untuk bercerita. Namun, setelah janji yang diucapkannya beberapa saat lalu, ia tak akan bisa mundur dan berpura-pura tidak ada sesuatu di antara mereka berdua.
Dua puluh menit kemudian, Yaya meletakkan piring makan di depannya. Semangkuk asam padeh daging dan sepiring nasi hangat menerbitkan air liur dan membuat perutnya berbunyi nyaring. "Laper, Mas?" tanya Yaya terdengar menahan geli.
Tanpa mengalihkan pandangan dari piring makan yang menggoda selera, ia menjawab. "Lumayan, terakhir makan tadi siang. Aroma asam padeh kamu bikin aku ngiler, Ya."
"Ya udah ... makan, dari pada kamu pingsan," kata Yaya yang sudah duduk di sampingnya setelah meletakkan gelas air putih di depannya. "Makan, Mas. Moga-moga enak, karena kalau lagi galau gini aku selalu masak untuk ngalihin pikiran, takutnya malah kacau rasanya," kata Yaya terdengar menahan diri. "Makan sebelum pingsan!" perintah perempuan itu lagi.
"Kalau aku pingsan, kamu bisa kasih aku pernapasan buatan, kan, Ya!" katanya sebelum mengangkat kepala dan menemukan mata Yaya membelalak. "Aku pasti langsung 'bangun', Ya," katanya ambigu membuat perempuan itu tersipu dan menundukkan kepala.
Kelupaan mau publish hari Sabtu.
Yang pengen baca duluan, bisa dolan ke KK.
Thank youuuuu
Love, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top