Second Time
Second time
Pukul sembilan malam dan akhirnya ia memutuskan untuk pulang meski kafe masih terlihat ramai. Ia hanya ingin berendam dan menghilangkan kepenatan, berharap bisa melepas lelah dan membuka simpul keruwetan isi kepalanya yang diisi dengan senyum mematikan pria lain.
Dengan langkah gontai, Yaya berjalan menuju mobil sambil memikirkan buku yang ingin dibacanya malam ini. Ia mengingat beberapa buku yang dibelinya beberapa minggu lalu. Buku yang terlupakan karena pekerjaan yang menumpuk. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengalihkan pikiran. Namun, buku selalu menjadi andalannya. Ia menikmati menyelami kata demi kata yang membuatnya melupakan tumpukan pekerjaan atau kelakuan ajaib anak buahnya. Kepalanya dipenuhi dengan banyak pilihan yang membuatnya semakin bingung dan tak menyadari keadaan sekeliling. Hingga alarm mobil membuatnya terkejut dan menjerit hingga kunci di tangannya terlepas, jatuh hingga ke bawah kolong mobil yang beberapa saat lalu membuatnya terkejut.
“Aduh,” rutuknya sebelum berjongkok berusaha untuk meraih kunci. “Yaya goblok! Gitu aja kaget!”
“Ada masalah, Ya?” Terdengar suara penuh tanya yang beberapa saat lalu membuatnya melamun. Yaya mendongak dan ia menyadari posisi anehnya. Saat ini ia menungging berusaha meraih kunci mobil tepat di depan Ganin yang sudah menunduk ke arahnya.
Ia menatap penampilan Ganin yang terlihat menggoda di matanya. Celana jeans berwarna biru yang membungkus kaki panjang pria itu dengan pas, dipadu dengan kemeja putih membuat pikirannya kembali melayang tak tentu arah. Namun yang membuat pria itu terlihat semakin menggoda adalah senyum di bibirnya. “Ngapain di situ?” tanya Ganin lembut. Tanpa banyak kata, Ganin berjongkok mengikutinya dan meraih kunci setelah melihat ke bawah kolong mobil. Saat itulah ia bisa mencium aroma parfum yang memabukkan itu lagi memasuki hidungnya. Melumpuhkan inderanya.
Sebelum ia sempat menjawab atau bahkan berkedip, pria itu berdiri dan mengulurkan tangan, membuatnya terkejut. Tanpa ragu atau berpikir dua kali, Yaya menerima ulurkan tangan dan berdiri tegak meski kakinya terasa lemas.
“Makasih,” ucapnya pelan ketika menerima kunci yang membuatnya harus berjongkok. “Maaf ngrepoti, Mas In,” kata Yaya yang harus mendongak untuk melihat wajah Ganin. Ia bukan perempuan bertubuh mungil, tapi pria itu membuatnya merasa kecil.
“Enggak ngrepoti, kok,” kata Ganin yang justru terlihat bahagia saat ini. “Dengan senang hati aku bantuin kamu lagi.”
“Hah, maksud Mas Ganin?” tanya Yaya yang masih belum sepenuhnya menyadari dengan apa yang baru saja terjadi.
“Eh, éclair kamu enak, Ya. Besok ada lagi?”
“Hah?!” Ketika Yaya tersadar Ganin mengatakan tentang éclair buatannya, jaket yang beberapa saat lalu masih melekat di tubuh kekarnya, kini terulur padanya.
“Malam ini dingin dan baju kamu terbuka.”
Yaya bingung mendengarnya. “Hah! Maksudnya apa, sih?!” Yaya melihat arah yang pria itu tuju dan matanya hampir melompat keluar mendapati dua kancing teratas kemeja flannel nya terbuka. Ia meraih jaket yang Ganin ulurkan. Memakainya dengan cepat dan menghindari tatapan mata tajam tertuju padanya.
“Ya ampun, kenapa enggak bilang dari tadi!” bentaknya berusaha mengurangi rasa malu yang menggantung di atas kepalanya. “Harusnya kan bilang! Pria yang sopan pasti bilang kalau ngadepin situasi seperti ini!”
Hilang sudah semua kekaguman yang beberapa saat lalu dipikirkannya. Senyum menawan itu berubah menjadi menjengkelkan. Bahkan kerling mata jail yang beberapa saat lalu tak tampak, kini terlihat jelas.
“Aku enggak pernah bilang kalau aku pria yang sopan, kan, Ya?!” kata Ganin di sela kekehan yang saat ini membuatnya semakin malu.
“Mbencekno!”[1] katanya sambil membuka pintu mobil dan membantingnya keras. Sebelum menyalakan mesin ia sempat melirik Ganin terlihat santai menyandar di mobil dengan tangan terlipat di dada dan tersenyum miring ke arahnya. “Mbencekno banget sih!” katanya sebelum berlalu meninggalkan pria yang sekali lagi melihat belahan dadanya.
Sepanjang jalan menuju apartemen, Yaya mengulang kejadian yang membuatnya malu dan berharap tidak akan pernah melihat Ganin kembali. Meski ia akui wajah ganteng di balik kacamata berbingkai hitam itu akan melekat di ingatannya. “Ya Tuhan, kenapa kancingku harus kebuka lagi, sih! Dua kali! Dua kali dia lihat dadaku. Ya Tuhan … godaan ini terlalu besar untukku.” Yaya kembali merutuki kebodohannya memakai kemeja dengan kancing yang terbuka sendiri. Ia mengingat binar itu kembali muncul di mata Ganin membuatnya mengerang karena jengkel. “Ya ampun … mana aroma parfumnya bikin meleleh. Tolong aku Tuhan!” teriaknya. “Kenapa setiap ketemu dia, selalu melibatkan dada terbuka. Sial banget sih aku!”
***
Aroma kopi menyapa ketika ia membuka pintu apartemen dan melihat Dipa. "Lho, kok Mas udah dirumah sih? Katanya lembur?" Yaya meletakkan tas di atas meja dan melipat tangan di depan dada.
Dipa menyeringai lebar. "Barusan sampai nih. Lihat aja baju juga belum ganti, masih males mandi."
Yaya memandang badan Dipa dari ujung kepala hingga kaki. Kemeja maroon dengan lengan ditekuk sampai siku dan boxer yang dia pakai membuatnya mengulum senyum. “Jadi kalau di kantor cuma pake boxer gini aja," godanya pura-pura marah, membuat wajah Dipa bersinar terang, seolah mendapatkan izin untuk melakukan berbagai hal pada tubuhnya.
Dipa berjalan dengan senyum menggoda tak lepas dari bibir yang selalu membuatnya lupa diri. "Oh tentu. Jadi kapanpun, di manapun, seperti apapun aku siap memasukkannya,” kata Dipa tepat di depan terlinganya dengan suara serak.
Sebelum ia melayangkan protes, tubuhnya melayang dan mendarat di atas meja makan dengan lembut. "Itu yang terjadi kalau kamu jadi sekretarisku," ucap Dipa sambil mencium ujung bibirnya. "Ngebayangin kamu telentang di atas meja … buat aku enggak bisa konsentrasi kerja."
"Bos mesum kamu Mas!" kata Yaya sambil melingkarkan tangan, mengusap bagian belakang kepala pria yang mulai sibuk membuat jejak basah mulai belakang telinga, rahang, leher dan tak lama lagi menuju belahan dadanya. "Rambutnya udah kepanjangan nih, waktunya potong," kata Yaya. Suara serak diwarnai gairah terdengar jelas dari suaranya saat ini.
"Sengaja. Biar kamu mudah kalau mau menarik kepalaku, setiap kali kamu enggak kuat menahan diri. Atau saat kamu enggak tahan sama lidahku …" Dipa memberi jeda setiap kata dengan mencium lehernya. Tangan yang mulai mengarah ke kancing kemejanya, tiba-tiba berhenti saat dia baru menyadari sesuatu. "Ini kok sudah kebuka?" Yaya menunduk dan kembali melihat kancing terbukanya. Seolah menjadi pengingat malam ini ada dua orang pria yang melihat dadanya. "Tunggu, ini jaket siapa?"
"Ya Tuhan. Ini kancing kenapa sih kok kebuka lagi!" rutuknya sambil menunduk mencoba memasang kancing tanpa melihat raut muka pria yang tak melepas lilitan tangannnya.
"Lagi?" tanya Dipa. Meski saat ini tangan pria itu memeluknya, tetapi ia bisa merasakan pria yang masih menatapnya tajam itu sedikit menarik diri.
Jantungnya berdetak kencang ketika melihat wajah Dipa mulai berubah. Dengan ragu dan suara bergetar ia menceritakan kejadian beberapa saat lalu. "Jadi gini ... tadi waktu mau pulang ada pelanggan yang bantu aku ambil kunciku yang jatuh ke kolong mobilnya."
"Apa hubungannya dengan jaket?"
"Nah … waktu aku sudah dapat kunci, dia ngeliat aku agak gemetar karena kedinginan. Jadi dia minjemin jaketnya. Kemeja yang ini nggak ada lenganya, Mas." Suaranya masih terdengar bergetar, meski ia tak tahu apakah karena melihat cara Dipa memandangnya atau mengingat Ganin.
"Lagi. Kamu tadi bilang kebuka lagi?"
"Oh itu.” Yaya terdiam sesaat. “Aku malu banget Mas. Selama aku berusaha ambil kunci di kolongnya kan nunduk, posisi agak nungging gitu kan? Ternyata selama itu kancing kemejaku kebuka dan aku nggak sadar itu." Yaya merasakan tekanan jari Dipa dan kancing kemejanya pun terbuka kembali. "Nah, kan. Emang waktunya pensiun nih, kemeja."
"Jadi … belahan ini sudah dilihat orang. Dua kali?" Yaya menutup wajah karena malu dan mengangguk.
"Jadi sekarang ada lelaki lain yang nggak bisa tidur karena sudah melihat kesayanganku." Yaya masih menutup wajah dengan tangan, menolak untuk melihat Dipa yang berada tepat di depannya. Ia bisa merasakan hembusan napas tepat di ceruk lehernya.
"Mas," kata Yaya dengan napas pendek. Ia mengigit bibir bawah dan menutup erat mata meski Dipa sudah menarik tangannya.
"Bisa jadi lelaki itu sekarang sedang memuaskan dirinya sendiri dengan bayangin bisa sentuh ini," kata Dipa sambil membelai dadanya. "Ngebayangin bisa melakukan seperti ini." Yaya menarik napas ketika merasakan lidah Dipa menyapu belahan dadanya. "Berharap bisa seperti ini." Yaya kembali menarik napas kasar ketika merasakan lidah hangat Dipa menyapu pelan puncak yang sudah mengeras semenjak tadi. "Dan juga seperti ini." Pekikan tak bisa ia tahan ketika merasakan hisapan kuat diikuti gigitan kecil yang pasti meninggalkan bekas. "Dan juga ingin melakukan ini." Yaya kembali merasakan hisapan kuat di tempat Dipa membuat kissmark terakhir kali.
“Mas,” ucapnya sambil melepas jaket dan juga kemeja yang saat ini membuatnya merasa terjebak. Yaya telentang di atas meja makan dengan dada terbuka yang membuat Dipa semakin bersemangat.
Tidak ada belaian lembut dan ciuman dalam yang Yaya dapatkan malam ini. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari cara Dipa memujanya. Terlihat dari sorot mata yang seakan membuatnya terbakar. “Mas ….” desahnya ketika Dipa membuka lebar kaki dan menariknya mendekat hingga ke ujung meja. Membuatnya hanya berjarak beberapa centi dari bibir pria yang saat ini hanya tertuju pada pangkal pahanya. Yaya tak bisa berpikir, pikiran tentang Ganin melihat dadanya pun menghilang seiring sapuan lidah Dipa yang membuatnya menjerit. Tanpa mempedulikan suaranya akan terdengar hingga ke ujung lorong, Yaya meneriakkan nama Dipa berulang kali.
“Mas, kamu kenapa?” tanyanya dengan napas yang terengah, tapi bukan jawaban yang diterimanya, karena dalam satu gerakan Dipa membalik badannya hingga ia tengkurap di atas meja makan dengan bagian belakang terangkat agar memudahkan Dipa untuk masuk memenuhi dirinya. Pertanyaan dan keheranan yang ada di ujung lidah menghilang ketika merasakan belaian di sepanjang punggungnya. “Mas ….”
Rasa penuh itu membuatnya mendesah semakin keras. "Lagi!" Yaya memintanya menghentak lebih keras lagi, lagi dan lagi, hingga ia tak bisa berpikir. Tak lama kemudian geraman puas keluar dari bibir mereka berdua dan Dipa memeluk perutnya erat.
Setelah menunggu beberapa saat, Dipa mengangkat tubuh telanjangnya dan melangkah ke sofa di depan televisi. "Wow … kamu kenapa, Mas?" tanyanya sambil membelai dada bidang Dipa yang terlihat basah seperti dirinya. “Aku enggak protes, sih … kamu jadi lebih wow aja,” katanya sambil mengulum senyum mengingat beberapa saat lalu, meja makan kembali menjadi tempat mereka melepas dahaga.
[1] Menjengkelkan.
Happy reading guys
Kita manis-manis dulu sebelum masuk bab Yaya menangis darah 😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top