Prolog

Yuhuuuuuu ... pasti kaget, karena ujug-ujug muncul cerita dengan judul yang sama. Aku memutuskan untuk ngerevisi di balik bayangan, biar enggak terlalu menohok tapi tetap enak di baca. Mungkin enggak bakalan memenuhi persyaratan 21+, tapi  buatku ini udah cukup ++. Whahaha .....
Anyway ... enggak usah bingung ama cerita yang lama, karena bakalan banyak yang berbeda. 

Seperti yang pernah aku info, enggak bakalan selesai di sini, ya teman-teman. Aku pengen lempar ke KK dan ebook. 

Happy reading, awal perjalanan cerita Ganin-Yaya

Lope lope


Prolog


Yaya harus mengedipkan mata beberapa kali untuk memfokuskan pandangannya. Kepalanya terasa berputar. dadanya terasa sesak, membuatnya susah untuk bernapas. Bahkan saat ini, ia mengusap dada seolah itu bisa membuatnya kembali bernapas normal. Mencoba untuk mengatur napas, ia menghalau Dipa yang mengulurkan tangan ke arahnya.


"Sayang ... kamu enggak apa-apa?" Mendengar panggilan sayang dari bibir pria yang saat ini memandangnya dengan sorot mata kuatir membuatnya ingin berteriak. "Sayang ... aku bantu berdiri." Saat itulah ia tersadar dan berdiri setelah menepis uluran tangan Dipa untuk kedua kalinya.


"Minggir!" hardiknya ketika Dipa menghalangi langkahnya. Ia tak ingin menghabiskan sedetik lebih lama lagi di dalam kamar yang membuat semua mimpinya hancur berantakan. Meski langkahnya terasa goyah, Yaya ingin ingin segera keluar dan meninggalkan mimpi buruk itu untuk selamanya. "Minggir, Mas! Aku mau keluar." Teriaknya lagi tanpa peduli ada dua pasang mata yang memandangnya saat ini.


"Enggak! Kamu enggak cukup kuat untuk berjalan, Say—"


"Jangan penah memanggilku Sayang lagi! Minggir!" ia menghapus kasar pipi yang terasa basah. "Tolong, minggir. Kalau masih ada sedikit saja rasa sayang kamu untukku, please, minggir dan biarin aku keluar dari sini. Kamu dan ...." Yaya menunjuk dua orang yang berada tak jauh dari Dipa. "Mereka bisa meneruskan apapun yang harus kamu selesaikan."


"Ya—"


"Mas! Aku mau keluar, sekarang!" teriaknya tepat di depan wajah pria yang selama dua tahun lebih berada di sampingnya. Menjaga, melindungi dan mencintainya. Namun, saat ini, ia tak ingin berada di tempat yang sama. Bahkan ia merasa tak mau menghirup udara yang sama dengan Dipa—tunangannya.


"Aku enggak bakalan biarin kamu keluar sendiri. Kamu enggak dalam keadaan baik-baik saja, dan aku kuatir!" kata tegas Dipa setelah mencengkeram lengan atasnya.


Yaya berusaha menghentakkan tapi cengkeraman itu jauh lebih kencang. "Kamu kuatir?" dengusnya. "Kata orang yang beberapa saat lalu sibuk memuaskan perempuan lain. Kuatir katamu? Lepasin aku, Mas!"


Kilatan marah Dipa membuatnya siap untuk menghadapi apapun saat ini. ia merasa siap untuk menghadapi badai sekalipun. "Ya—"


"Wan, lepasin dia. Kamu nyakitin calon istrimu," kata pria yang sejak tadi hanya diam memandang interaksinya dan Dipa. "Wan ... kamu dan Yaya butuh waktu. Tenangkan kepala kalian sebelum duduk untuk bicara."


Dipa mengalihkan pandangan darinya, dan Yaya menggunakan kesempatan itu untuk menarik tangan dan segera menuju pintu. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan Dipa dan semua yang terjadi di kamar hotel itu. Ia tak tahu bagaimana bisa berada di dalam taxi menuju bandara saat ini, karena beberapa saat lalu, ia sibuk menekan tombol lift dan berdoa semoga Dipa tidak mengikuti langkahnya.


"Mbak-nya enggak apa-apa?"


"Enggak apa-apa, Pak. Makasih," jawabnya lelah tanpa mengalihkan pandangan dari kaca jendela. Air mata masih mengalir membasahi pipinya, dan ia tak berusaha untuk mengapusnya. Ia tak peduli meski nanti menjadi pusat perhatian semua orang. Yaya tak peduli meski saat ini terlihat menyedihkan. Dunianya hancur berantakan. Dalam semalam, ia kehilangan tunangan. Pria yang selama ini selalu menemani, menjaga, mencintainya.


Yaya menghabiskan beberapa menit di dalam toilet tak lama setelah taxi berhenti, ia berusaha untuk menghentikan laju air matanya. Sekian menit ia terdiam di depan kaca dan manatap pantulan wajah yang terlihat menyedihkan. Mata membengkak dan memerah. Hidungnya pun terlihat memerah. Rambut ikal panjangnya berantakan, beberapa helai terlepas dari ikatannya. Wajahnya terlihat pucat, tapi ia tak memiliki keinginan untuk sekedar mengulas bedak dan lipstik agar terlihat lebih normal.


"Sayang, kamu enggak apa-apa?" Usapan lembut di lengan membuatnya tersentak dan menyadari wanita dengan sorot mata paling lembut yang pernah dilihatnya berdiri memandangnya kuatir. "Kamu enggak apa-apa?"


Yaya tak mampu menolak ketika tubuhnya ditarik masuk ke dalam pelukan hangat orang asing itu. Ia tak mampu untuk berpikir tentang bahaya yang mungkin akan terjadi, karena ketika merasakan usapan lembut dan bisikan di telinga, air matanya kembali mengalir deras. Bahkan saat ini ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan seseorang yang menawarkan perlindungan dan kenyamanan.


"Ibu enggak tahu masalah kamu apa. tapi Ibu tahu, kamu kuat dan bisa hadapi itu semua."


"Ibu yakin?" tanyanya setelah menarik badan. "Karena saat ini saya enggak yakin sama apapun. Rasanya ...."


"Kamu kuat," kata wanita yang saat ini sibuk mengusap lembut pipinya. "Kita adalah makhluk Tuhan yang paling kuat. Nangis itu bukan berarti enggak kuat atau enggak mampu untuk ngadepin masalah, kan?" Yaya masih terdiam tak mampu untuk berkata apa-apa. "Kamu kuat. Kamu berharga. Kamu cukup!"


Deringan ponsel mengejutkan mereka berdua, dan mendatangkan senyum di bibir keduanya. Yaya mundur dan mencuci wajah sambil berusaha untuk menguatkan hati. Lamat-lamat ia mendengar jawaban wanita berambut pendek yang tak melepas pandangan darinya, "Sabar dong Pa. Mama bentar lagi keluar, pesawat juga masih lama, kan! tunggu sambil ngopi sana!"


"Maaf sudah nahan Ibu terlalu lama, saya enggak apa-apa, kok." Yaya berusaha meyakinkan wanita baik yang sudah membantunya untuk menguasai diri.


"Yakin?" tanya wanita yang hingga saat ini terlihat tak ingin meninggalkannya sendiri. "Ibu bisa temeni sampai kamu kuat. Pesawat ke Surabaya juga masih lama kok."


"Ibu mau ke Surabaya?" tanya Yaya.


"Iya. Pengen nengok anak laki-laki Ibu di sana. namamu siapa?" tanya wanita yang semakin terlihat tak ingin meninggalkannya.


Yaya mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan wanita yang sudah membuatnya kuat meski belum pernah mengenalnya. "Saya Soraya, Bu," kata Yaya yang sudah merasa lebih baik. "Saya enggak tahu kalau tadi enggak ada Ibu—"


"Hust, enggak boleh bilang gitu. Ibu senang bisa bantu kamu. Ayo," ajak wanita itu seolah memastikan ia keluar dari toilet dan tidak berusaha untuk melakukan sebuah kebodohan apapun. "Kenalan sama suami Ibu, yuk."




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top