I am woman

I am woman

Yaya menghela napas panjang untuk mengurai sesak yang membuatnya tak bisa bernapas lega. Sesekali ia mengusap dada bagian kiri dan berharap bisa melegakan pernapasannya. Berusaha untuk menghalau bayangan yang melekat di kepalanya sejak beberapa jam yang lalu. Saat ini, penyesalan memenuhi hati, dan ia tak mampu untuk menahan kembali laju air matanya.

Yaya goblok! Kenapa punya ide bikin kejutan! umpatnya dalam hati menyadari kebodohannya. Keinginan impulsif yang muncul tadi pagi membuatnya kehilangan semuanya. Jika saja ia tak berbohong dan tidak mempercepat kedatangannya, ia tak akan melihat sesuatu yang membuat kakinya lemah dan jatuh terduduk di atas karpet tebal kamar hotel bintang lima tempat tunangannya berada. Ia kembali menghembuskan napas dan mengusap air mata sebelum menegakkan punggung ketika pesawat yang membawanya ke Surabaya sepenuhnya berhenti.

“Soraya.” Suara wanita yang sudah membantunya sejak di toilet hingga mendapatkan seat penerbangan  menuju Surabaya terdengar ketika ia keluar dari bandara dan menghirup udara malam yang terasa dingin. “Naik apa, Nak?”

“Saya nunggu taxi, Bu,” jawabnya berusaha untuk terlihat meyakinkan. Meski saat ini, ia belum memesan taxi karena tak tahu harus pergi ke mana malam ini. Ia tak mungkin pulang ke apartemen, karena kemungkinan Dipa pulang malam ini terlalu besar.

“Bareng kita saja,” kata wanita itu melingkarkan tangan di lengannya. “Jangan ditolak! Anak ibu udah hampir sampai.” Yaya berusaha untuk menolak tapi melihat gelengan pria yang berada di samping wanita itu seolah berkata, turuti saja, percuma kamu nolak.

“Baik, Bu.” Yaya merasa berhutang pada wanita baik hati bernama Rianti yang saat ini sibuk memberi perintah pada suaminya untuk menarik dua koper. Sesekali ia mendengar suara Rianti meminta suaminya untuk menghubungi anak lelakinya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi, saat ini, Yaya hanya mengikuti kemanapun Rianti membawanya.

“Uda itu paling males pulang ke Bandung.” Suara Rianti membuyarkan lamunannya. “Ini aja Ibu enggak bilang-bilang kalau mau ke Surabaya. Abis nengok cucu di Jakarta, langsung ke Surabaya. Ibu kabari dia juga waktu di bandara tadi.” Ia tak tahu harus berkata apa, mendengar cerita Rianti yang disampaikan dengan santai. Seolah keduanya adalah teman lama yang tak sengaja bertemu di bandara.

“Ntar ibu kenalin sama Uda, orangnya baik. Sopan banget sama perempuan … nah itu dia!” teriak Rianti tiba-tiba. Yaya mengikuti arah pandang Rianti dan langkahnya langsung terhenti ketika melihat pria dengan kemeja putih terlipat hingga siku dengan celana kain berwarna abu melangkah ke arah mereka berdua.

Ia memalingkan wajah dan mencoba untuk melepas lilitan tangan Rianti untuk mencari tempat untuk bersembunyi. Namun, hingga ia mendengar suara itu kembali, ia masih berdiri tak berkutik di samping wanita yang segera melepas lilitan tangannya dan memeluk pria yang tak melepas pandangan darinya.

“Anak nakal, kenapa enggak pulang-pulang ke Bandung! Masak iya Mama Papa yang harus ke sini buat tahu kabar kamu!” Yaya terkejut ketika Rianti mengendurkan pelukan dan memukul kepala pria yang jauh lebih tinggi dari badannya. “Kamu kebangetan Da, tega sama Mama!”

Kakinya terpaku di tempat, dan wajahnya tak mampu  untuk berpaling. Pemandangan di depannya membuatnya iri mengingat ia tak memiliki seseorang yang merindukannya seperti Rianti merindukan anak lelakinya. Bahkan ia bisa melihat air mata membasahi pipi wanita yang masih berusaha untuk memukul anak lelakinya.

“Yaya,” panggil Ganin—pria yang ia hindari sejak insiden kancing bulan lalu—menatapnya tajam. “Kamu ….”

“Kamu kenal sama Soraya? Ya ampun kebetulan banget. Mama tadi ketaemu di toilet, Da,” kata Rianti memandangnya dan Ganin bergantian. “Soraya kayak orang lagi shock gitu, diam aja mandengin kaca, sampai Mama deketin baru seperti tersadar gitu,” bisik wanita yang tak menyadari saat ini ia bisa mendengar suaranya.

“Hai, Mas,” sapanya berusaha untuk menyela cerita sedihnya di bandara. “Aku enggak tahu kalau ….”

“Ayo Da, kita anterin Soraya dulu baru kita pulang ke rumah kamu. Mama udah enggak sabar mau inspeksi di sana! Jangan sampai Mama nemu koleksi baju tidur pacar-pacar kamu, ya!” Tanpa menunggunya ataupun Ganin yang masih terlihat bingung menjawab, Rianti menyeret suaminya menuju mobil tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Soraya, ayo! Uda cepetan! Mama udah capek ini!”

Keduanya kembali saling pandang sebelum melangkah. “Mas In,” panggilnya. “Bisa anterin aku ke kafe aja.” Pintanya tak ingin Rianti bisa mendengarnya.

“Ini udah malam, Ya! Aku anter ke rumah kamu aja!” kakinya berhenti tak mampu  untuk melangkah mendengar kata rumah. “Kenapa?” tanya Ganin yang melihatnya terdiam. “Ayo!”

“Aku enggak punya rumah,” katanya gugup. “Maksudku, ada rumah … tapi aku enggak bisa pulang ke sana,” katanya setelah melihat kening Ganin mengernyit dan bibirnya bersiap untuk bertanya. “Makanya anterin ke kafe aja, ntar aku bisa minta Ananta untuk jemput.”

Kenyataan tentang rumah, seolah menamparnya. Ia tak hanya kehilangan calon suami, tapi juga rumah tempatnya pulang selama selama dua minggu setelah ia menjual apartemennya. Dalam waktu dekat ia akan segera melangsungkan pernikahan dengan pria yang terbukti tak bisa menjaga kesetiaannya.

 Yaya tak bisa memikirkan apapun saat ini, tapi mendengar kata rumah meluncur dari bibir Ganin, Yaya tak bisa menghindar lebih lama lagi untuk kembali memikirkan masalahnya. “Nih,” kata Ganin menyodorkan keycard padanya. “Lantai paling atas.” Yaya terdiam tak mampu untuk berkata. Ia tak tahu apa yang Ganin inginkan dengan menyodorkan keycard padanya. “Ya, ambil! Kamu pulang ke apartemenku dulu.”

“Hah! Buat apa aku pulang ke apartemen kamu, Mas!” katanya berusaha untuk berbisik. “Lagian Mama kamu bakalan bingung lihat aku pulang ke apartemenmu.”

“Ya, mereka pulang ke rumah, bukan apartemenku!” Yaya masih menolak untuk meraih keycard di tangan Ganin. Hingga pria itu menarik dan meletakkan keycard dalam genggamannya. “Kamu bisa pakai apartemenku selama yang kamu mau, dan ini nomerku,” kata Ganin yang sudah mengeluarkan satu lembar kartu nama. “Sebelum Mama tahu!”

“Uda ayo!” teriak Rianti memecah kecanggungan keduanya. “Kalian kenapa, sih?”

Yaya terpaksa mengikuti Ganin dan membuka pintu penumpang hampir bersamaan dengan Ganin masuk di balik kemudi. “Seat belt, Ya!” perintah Ganin tak lama setelah ia mendengar suara klik dari sabuk pengaman pria itu.

Perjalanan dari bandara menuju apartemen yang terletak di tengah kota Surabaya tidak memerlukan waktu lama malam ini, dan itu membuat Yaya semakin gugup. “Anterin Soraya dulu Da, kasihan dia pasti pengen bisa langsung tidur!” perintah Rianti membuatnya melirik Ganin dengan perasaan tak menentu. “Soraya tinggal di mana?”

“Di ….” Ia tak tahu di mana letak apartemen Ganin yang dengan terpaksa ia terima. Namun, saat ini ia tak tahu apa yang harus ia jawab mengingat sikap Rianti yang baik padanya, Yaya tak sanggup harus berbohong padanya. “Sebenarnya—”

“Yaya tinggal di apartemen deket mall yang waktu itu Mama pergi sama Uda. Masih inget?” kata Ganin menyela jawabannya. “Mama pasti lupa, ntar lihat aja lah.”

Yaya menggigit bibir ketika merasakan lirikan Ganin, dan tanpa suara ia berkata terima kasih ke arah pria yang mengangguk samar padanya. “Yaya masih simpan nomerku, kan?” tanya Ganin berpura-pura ketika mobil sepenuhnya berhenti di depan apartemen mewah di tengah kota. “Kabari kalau ada apa-apa.”

“Masih, Mas,” katanya pelan tak ingin siapapun mendengar kegugupannya. “Ibu, Bapak, makasih. Saya enggak tahu gimana balas semua kebaikan Ibu dan Bapak hari ini, sampai saya bisa pulang ke Surabaya,” kata Yaya setelah memutar badan menghadap kedua orang tua Ganin. “Kalau boleh, kapan-kapan saya pengen ajak Ibu Bapak makan siang.”

“Sama-sama, Soraya. Telepon Uda aja, ya, dan inget, semua pasti baik-baik saja!” Mendengar semangat dan keyakinan dari orang asing yang membuatnya mampu berdiri bisa sedikit melegakan hati. Meski saat ini, pikirannya masih penuh dengan Dipa.

“Ya, hubungi aku!” kata Ganin tegas dan tak bisa dibantah sesaat sebelum ia membuka pintu mobil.

“Iya, Mas. makasih,” jawabnya pelan. Yaya bertahan di depan lobby menunggu mobil SUV itu berlalu, tapi hingga beberapa saat ia berdiri seperti orang bodoh, mobil Ganin tak kunjung berlalu. Saat itulah ia memutuskan membalik badan setelah kembali melambaikan tangan ke arah Rianti.

Langkah kakinya pelan dan ragu  menuju lift pribadi yang Ganin katakan. Masih dengan pikiran yang tak tentu arah, ia membiarkan lift membawanya ke lantai apartemen Ganin dan bibirnya terbuka menganga melihat kemewahan tempat tinggal pria yang membuatnya malu bulan lalu.

“Ya ampun … kerja apa dia sampai tinggal di apartemen semewah ini?” tanya Yaya tak berani bergerak setelah membuka pintu menuju ruang tengah yang menjadi satu dengan dapur dan ruang makan.

Memutuskan untuk masuk ke ruangan yang terlihat seperti ruang tidur tamu, Yaya segera menjatuhkan tubuh ke atas ranjang dan mendesah lelah. Dalam gelap, ia menatap jendela dengan pemandangan kota Surabaya dan membiarkan pikirannya melayang sejauh hampir delapan ratus kilometer.

“Mas, aku aru bisa nyusul lusa,” katanya ketika Dipa menjawab teleponnya di dering ketiga.

“Beneran baru bisa lusa?” tanya Dipa yang segera ia jawab dengan kekehan karena tak ingin tunangannya itu tahu bahwa saat ini, ia sudah berada di lobby hotel tempatnya menginap.

“Iya lusa. Jangan lupa pesan sama recepsionis hari ini, jadi sewaktu-waktu aku ke sana enggak perlu repotin kamu lagi,” perintahnya karena Dipa terkadang lupa untuk melakukan sesuatu ketika pikirannya teralihkan oleh sesuatu.

“Yakin lusa?” tanya Dipa yang terdengar berbeda di telinganya. Yaya tak bisa melewatkan helaan napas terdengar lega ketika ia mengatakan tentang pekerjaan yang tak bisa ia tinggal hingga lusa. “Sayang, aku harus balik kerja dulu,” katanya terdengar aneh. “Aku udah titip pesan kalau istriku nyusul, kamu tinggal ambil kunci di bawah.” Dipa memutus sambungan sebelum ia berkata apapun.

Dengan senyum yang tak lepas dari bibir, Yaya menunggu satu hingga dua jam sebelum ia meminta kunci kamar Dipa dan melangkah dengan langkah ringan. Ia tak sabar menanti melihat wajah terkejut tunangannya ketika mendapatinya berada di kamar hotel nanti malam.

Namun, ketika Yaya membuka pintu kamar hotel, ia berharap receptionis di bawah menolak untuk memberinya kunci beberapa saat lalu, karena saat ini ia tak bisa mempercayai matanya sendiri. Kakinya goyah dan ia jatuh terduduk dengan mulut terbuka menatap tiga orang tanpa sehelai benang di tubuh mereka.

Ia melihat Dipa berjongkok. lengannya menahan paha perempuan yang berada di atas pangkuan lelaki lain. Hatinya semakin hancur melihat kepala tunangannya berada di antara paha sang perempuan yang terlihat menikmati tangan lelaki lain memijat, memutar dan menarik putingnya. Yaya menjerit tak percaya. Ia seolah melangkah ke dalam setting film dewasa dan berharap semua ini hanya mimpi. Saat itulah dunianya hancur berantakan.

Yaya mengusap kasar wajahnya yang kembali basah ketika teringat mimpi buruknya beberapa jam lalu. Namun, ia bisa mendengar nasehat Rianti terngiang di telinganya dan seketika ia mendengar lagu yang beberapa hari lalu masuk ke ruang dengarnya.

I am woman, I am fearless
I am sexy, I'm divine
I'm unbeatable, I'm creative
Honey, you can get in line
I am feminine, I am masculine
I am anything I want
I can teach you, I can love you
If you got it goin' on

Ada bagian kecil yang mungkin terlalu vulgar, meski sebenarnya buanyak cerita lain yang jauh lebih detail. Tapi aku tetap harus minta maaf atas ketidaknyamanan detail Dipa di atas. Hanya pengen melengkapi alasan di balik semua pilihan yangYaya ambil setelah kejadian.

Anyway ... Thanks yang sudah sabar menanti cerita Yaya-Ganin.
Happy reading guys
Love you all
😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top